Opini

Opini: Upeti Digital untuk Amerika

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ferdinandus Jehalut

Oleh: Ferdinandus Jehalut
Direktur Ranaka Institute dan Dosen Komunikasi Politik, FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang.

POS-KUPANG.COM - Indonesia baru saja meneken kesepakatan Data Free Flow with Trust (DFFT) dengan Amerika Serikat (AS). 

Pemerintah menyebutnya lompatan strategis menuju ekonomi digital global. Namun, publik pantas curiga. DFFT justru menandai babak baru kolonialisme digital.

Kebijakan ini lahir di tengah sorotan publik atas bobroknya tata kelola data nasional. 

Bukannya membenah diri, pemerintah justru gegabah menyerahkan data warga ke negara jantung raksasa digital global. 

Semua dilakukan dalam senyap, tanpa deliberasi publik. Padahal itu menyangkut hak asasi warga.

Pemerintah kita memang sepertinya berawatak culas. Bayangkan, lima tahun terakhir, data pribadi warga Indonesia dijarah terus-menerus. 

Indonesia seperti “surga” bagi pembobol data digital. Nyaris tak ada instansi penting yang luput. 

BPJS Kesehatan, KPU, Kementerian Kesehatan, bahkan Kominfo, semuanya menjadi korban. 

Juni 2024, Pusat Data Nasional lumpuh karena serangan ransomware. Layanan publik macet total. Namun, tidak ada pertanggunjawaban terbuka dari negara. Para pejabat cuci tangan.

Alih-alih mawas diri serta meningkatkan keamanan digital, negara justru membuka pintu selebar-lebarnya untuk transfer data lintas negara. 

Dalihnya, investasi digital. Faktanya, negara gagal membaca geopolitik data. Kedaulatan digital digadaikan dengan sukarela.

Kepercayaan tanpa proteksi

DFFT digagas Jepang di forum G20 tahun 2019. Intinya: arus bebas data dengan prinsip kepercayaan. 

Masalahnya, Amerika Serikat, mitra utama Indonesia dalam DFFT, belum memiliki undang-undang perlindungan data federal yang rigid. 

Sistemnya lentur, parsial, dan lemah dibandingkan GDPR (General Data Protection Regulation) milik Uni Eropa.

Bahkan, UU USA PATRIOT ACT (Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism) dan FISA Act (Foreign Intelligence Surveillance) memungkinkan aparat AS mengakses data global atas nama keamanan nasional. 

Dalih tersebut kerap jadi pembenaran praktik kolonialisme digital. Faktor ini menjadi salah satu pemicu Uni Eropa membatalkan perjanjian Privacy Shield dengan AS pada 2020. 

Uni Eropa menilai negeri Paman Sam tidak bisa menjamin hak privasi warga Eropa. Sementara Indonesia? Justru membuka keran lebih lebar.

Tahun 2013, Edward Snowden membongkar program rahasia pengawasan massal yang dijalankan NSA (National Security Agency) dan GCHQ (Government Communications Headquarters). 

Melalui PRISM, mereka menyedot data dari Google, Facebook, hingga Microsoft. Bahkan memata-matai pemimpin negara sahabat. Dunia gempar. 

Snowden diburu sebagai pengkhianat, padahal ia memperjuangkan hak warga atas privasi (Younger, 2020).

Indonesia kini justru memilih menyerahkan data warganya secara sadar ke AS. Melalui kesepakatan resmi, pemerintah melakukannya tanpa beban. Upeti digital ini menandai era baru kolonialisme data.

Negara sebagai kurir data

Kita murka saat tambang diekspor mentah. Tapi kita diam saat data rakyat diserahkan begitu saja ke luar negeri. Data dikumpulkan tanpa transparansi. Dikirim tanpa kontrol. Dimonetisasi tanpa keadilan.

Padahal data adalah komoditas strategis. Ia lebih dari sekadar angka: ia kekuasaan. Siapa menguasai data, menguasai masa depan. 

Di tangan perusahaan digital, data adalah tambang baru yang harganya sangat mahal. Sementara di tangan pemimpin otoriter, data jadi senjata pengawasan (surveillance) yang manjur.

Ironisnya, negara yang seharusnya jadi pelindung justru berperan sebagai kurir. Data warga diangkut ke luar negeri, tanpa sistem perlindungan yang kokoh. 

Padahal, UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi sudah jelas. “Pemindahan data hanya diperbolehkan jika negara tujuan memiliki tingkat perlindungan yang setara.” 

Jika tidak, maka harus ada perjanjian antar-negara dan jaminan pengawasan. Kesepakatan DFFT ini justru terkesan gegabah dan berpotensi menjadi celah legal bagi pelanggaran privasi warga.

Kolonialisme data

Kesepakatan DFFT merupakan cermin relasi kuasa global. Ini adalah wajah baru kolonialisme. 

Bukan dengan senjata, tetapi dengan server dan algoritma. Yang dijarah bukan emas atau mangan, melainkan data prilaku digital warga.

Beberapa negara Global Selatan sudah sadar. India membatasi aliran data lintas negara. Brasil memiliki LGPD (Lei Geral de Proteção de Dados) dan badan pengawas independen. 

Afrika Selatan menjalankan POPIA (Protection of Personal Information Act) dengan standar tinggi. Mereka sadar: data adalah sumber daya strategis yang tak boleh diserahkan cuma-cuma.

Indonesia justru melenggang enteng menyerahkan kedaulatannya. Tak ubahnya zaman kolonial: negeri ini kembali jadi penyedia bahan mentah. 

Bukan nikel, bukan kopi, tapi data. Inilah upeti digital untuk Amerika.

Kesepakatan DFFT harus ditinjau ulang. Pemerintah mesti memastikan regulasi yang menguntungkan kedua belah pihak. Jaminan akan hak dan martabat warga pemilik data juga harus jelas.

Lebih dari itu, berhentilah memandang data sebagai komoditas semata. Data adalah hak rakyat. 

Menyerahkannya tanpa kontrol dan tanpa persetujuan rakyat apalagi tanpa kejelasan perlindungan, sama dengan menggadaikan martabat rakyat. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkini