Kolonialisme data
Kesepakatan DFFT merupakan cermin relasi kuasa global. Ini adalah wajah baru kolonialisme.
Bukan dengan senjata, tetapi dengan server dan algoritma. Yang dijarah bukan emas atau mangan, melainkan data prilaku digital warga.
Beberapa negara Global Selatan sudah sadar. India membatasi aliran data lintas negara. Brasil memiliki LGPD (Lei Geral de Proteção de Dados) dan badan pengawas independen.
Afrika Selatan menjalankan POPIA (Protection of Personal Information Act) dengan standar tinggi. Mereka sadar: data adalah sumber daya strategis yang tak boleh diserahkan cuma-cuma.
Indonesia justru melenggang enteng menyerahkan kedaulatannya. Tak ubahnya zaman kolonial: negeri ini kembali jadi penyedia bahan mentah.
Bukan nikel, bukan kopi, tapi data. Inilah upeti digital untuk Amerika.
Kesepakatan DFFT harus ditinjau ulang. Pemerintah mesti memastikan regulasi yang menguntungkan kedua belah pihak. Jaminan akan hak dan martabat warga pemilik data juga harus jelas.
Lebih dari itu, berhentilah memandang data sebagai komoditas semata. Data adalah hak rakyat.
Menyerahkannya tanpa kontrol dan tanpa persetujuan rakyat apalagi tanpa kejelasan perlindungan, sama dengan menggadaikan martabat rakyat. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News