Opini

Opini: Temuan BPK 2024, Alarm Sistemik Korupsi Struktural Indonesia

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wilhelmus Mustari Adam

Oleh: Wilhelmus Mustari Adam,SE.,M.Acc
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik Universitas Brawijaya, Malang

POS-KUPANG.COM - Indonesia kembali dihadapkan pada realitas pahit tentang kondisi tata kelola keuangan negara. 

Data Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 1 BPK RI Tahun 2024 mengungkap fakta mengkhawatirkan: dari 738 Laporan Hasil Pemeriksaan, ditemukan 9.910 temuan dengan total 16.518 permasalahan senilai Rp12,64 triliun, serta 28.417 rekomendasi. 

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm sistemik yang menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia telah mengakar secara struktural dalam birokrasi pemerintahan.

Selanjutnya, data publikasi ini juga mengetengahkan rincian persoalan pengelolaan keuangan yang dilakukan pada masing-masing entitas pengelola. 

Pemerintah pusat terdapat 2.525 permasalahan senilai Rp6,323 triliun, pemerintah daerah terdapat 13.383 permasalahan dengan nilai Rp3,567 triliun, serta BUMN dan badan lainnya terdapat 593 permasalahan dengan nilai Rp2,756 triliun.

Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi melalui penindakan hukum, data BPK ini justru memperlihatkan bahwa akar masalah korupsi tidak terletak pada individu semata, tetapi pada sistem yang memungkinkan penyimpangan terjadi secara massif dan berkelanjutan. 

Temuan ini menjadi cermin buram kondisi tata kelola yang menuntut perhatian serius dari seluruh stakeholder.

Ketidakpatuhan Sistemik: Pintu Gerbang Korupsi Struktural

Temuan paling mengkhawatirkan adalah dominasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mencapai 56,7 persen dari total permasalahan (9.364 kasus) dengan nilai Rp11,09 triliun. 

Angka ini mengungkap realitas bahwa sebagian besar birokrat tidak menjalankan tugasnya sesuai aturan yang berlaku. 

Ketidakpatuhan ini bukan kesalahan teknis semata, melainkan indikasi lemahnya budaya kepatuhan (compliance culture) di jajaran pemerintahan.

Ketika aturan diabaikan secara sistemik, tercipta ruang abu-abu yang menjadi lahan subur bagi praktik korupsi. 

Pejabat yang terbiasa mengabaikan regulasi akan dengan mudah melangkah lebih jauh ke wilayah penyalahgunaan wewenang, adverse selection, moral hazard, dan korupsi. 

Inilah yang dimaksud dengan korupsi struktural, ketika sistem itu sendiri memfasilitasi terjadinya penyimpangan.

Halaman
1234

Berita Terkini