Jika Dibiarkan, 2045 Akan Tetap Suram
Dengan laju penurunan stunting sekitar 1–1,5 persen per tahun seperti lima tahun terakhir, maka pada tahun 2030 prevalensinya diperkirakan masih sekitar 28 persen, dan pada 2045 mungkin baru menyentuh angka 20–22 persen — nyaris stagnan, dan tetap dua kali lipat lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.
Itu berarti satu dari lima anak di NTT pada usia 100 tahun Indonesia Merdeka masih mengalami kerusakan otak akibat kekurangan gizi saat bayi.
Apa artinya merdeka, kalau otak anak-anak kita tidak sempat tumbuh optimal sejak lahir?
Terlambat dan Salah Sasaran
Masalahnya bukan tak ada program. Masalahnya: salah sasaran usia.
Banyak program gizi baru menyasar anak usia 2–5 tahun, padahal kerusakan akibat stunting terjadi sebelum usia dua tahun, bahkan sejak dalam kandungan.
Di masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), lebih dari satu juta koneksi saraf otak terbentuk setiap detik. Gizi buruk di masa ini tidak bisa diperbaiki oleh intervensi di kemudian hari.
Sayangnya, anggaran dan kebijakan masih fokus pada PAUD, pelatihan remaja, atau pemberian makanan tambahan di usia prasekolah. Akibatnya, biaya intervensi makin mahal, tapi hasilnya makin kecil.
Pelajaran dari Heckman: Investasi Dini, Imbal Hasil Maksimal
James J. Heckman, ekonom peraih Nobel, membuktikan bahwa investasi paling menguntungkan dalam pembangunan manusia ada pada usia dini.
Jika kita berikan Rp1 juta untuk ibu hamil, hasilnya akan jauh lebih besar dibanding jika diberikan saat anak sudah SD (butuh Rp3,3 juta untuk hasil yang sama), atau saat anak dewasa (butuh Rp10 juta dalam bentuk pelatihan kerja).
> Investasi Rp10 juta pada ibu hamil = Investasi Rp100 juta pada usia mahasiswa.
Kalkulasi ini berlaku universal, termasuk di NTT. Karena potensi otak manusia dibentuk di awal, bukan dikejar di belakang.
Saatnya NTT Fokus Total ke 1.000 HPK