Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Tari Rahmaniar Ismail
POS-KUPANG.COM, KUPANG- Masih ingat syair lagu 'Sekuat Hatimu', lagu yang dipopulerkan Last Child dan diciptakan Virgoun.
Lagu yang dirilis pada 1 Januari 2012 ini menjadi salah satu singel Last Child dari album mereka berjudul Our Biggest Thing Ever.
Lagu 'Sekuat Hatimu' mengandung makna penyesalan akan kesuraman dan kegagalan masa remaja.
Kondisi ini setidaknya dirasakan bocah dengan nama lengkap Api Linome (12) seorang anak yang sudah tak lagi duduk di bangku sekolah.
Baca juga: Kisah Inspiratif Obet Nobrihas, 14 Tahun Pantang Menyerah Bercucuran Keringat Jual Kelapa Muda
Mimpi masa kecilnya menjadi Polisi telah kandas sebelum menggapai ujung pengharapannya.
Mimpi indahnya untuk kelak bisa mengenakan seragam gagah, bertugas menjaga keamanan dan berwibawa di mata masyarakat sirna.
Saban hari Api Linome berjibaku di antara deretan pedagang dan tumpukan barang di Pasar Inpres Naikoten Kota Kupang.
Seorang bocah yang harusnya duduk di bangku pendidikan dengan memegang buku tulis dan pinsil, kini sibuk mengangkat karung dan mengantar dagangan dari satu lapak ke lapak lain.
Wajahnya serius, tubuhnya mungil, namun langkahnya cepat.
Catatan perjalanan hidupnya berkata lain. Perceraian orang tuanya menjadi titik awal dari runtuhnya impian itu.
Baca juga: Kisah Inspiratif Sharifudin: Nelayan Teripang Pantai Oesapa yang Gigih Hadapi Risiko
Ayahnya kini tinggal di Kalimantan, sang ibu menetap di Kefamenanu, Ibu kota Kabupaten TTU.
Api, anak ketiga dari lima bersaudara, memilih tinggal bersama tantenya di Kampung Alor, Kota Kupang.
"Saya tidak ikut mama. Saya kerja saja di sini, bisa beli baju sendiri, apa pun yang saya mau," ujarnya saat diwawancarai POS-KUPANG. COM, Senin (14/7/2025).
Tantenya bekerja sebagai penenun, penghasilan tidak menentu.
Untuk bertahan, Api mulai bekerja sebagai pengangkut barang di pasar sejak usianya 10 tahun.
Dari pukul 07.00 pagi WITA hingga tengah malam, ia bekerja tanpa pilih-pilih barang karung cabai, beras, hingga barang belanja para pembeli, semua ia angkut demi Rp50 ribu sehari.
Baca juga: Kisah Inspiratif, Shana Fatina Sediakan Air Bersih Bagi Warga di Pesisir Manggarai Barat NTT
Uang yang digunakan untuk kebutuhan pribadinya, dan sedikit ia sisihkan untuk neneknya Unu, yang buta dan tinggal di Ayotupas.
“Capek, tapi saya harus punya uang, supaya bisa tabung. Uangnya nanti kalau sudah besar mau jadi pedagang saja,” ucapnya.
Mimpinya jadi polisi telah pupus, berganti dengan harapan sederhana berdagang sayur agar tak harus capek mengangkat barang terus-menerus.
Di pasar, Api tidak sendiri. Ia bersahabat dengan Steven, bocah seusianya yang juga putus sekolah dan bekerja sebagai kuli pasar.
Keduanya sering tidur di sudut pasar pada malam hari, beralaskan karung bekas, menunggu matahari esok untuk kembali bekerja.
“Kalau hari Sabtu dan Minggu, itu ramai. Kami kerja terus. Kalau lapar, baru pulang atau beli makan dari uang yang ada,” ujarnya.
Baca juga: Sosok Asnat Pindu Jawa, Sarjana Peternakan Politani Kupang yang Memilih Jalur Berbeda
Meski keras, Api tak pernah mengeluh. Hidup membuatnya belajar dewasa terlalu cepat.
Ia tak pernah berkomunikasi lagi dengan orang tuanya, hanya nenek Unu yang menjadi tempatnya pulang.
Sementara itu ongkos dari Kupang ke Ayotupas, Rp100.000 pulang pergi.
"Kalau sudah kumpul uang, saya pulang jenguk Unu,” katanya.
Api sempat bersekolah di Kupang hingga kelas satu SD, namun keterbatasan biaya dan situasi keluarga membuatnya harus berhenti.
Ia lalu kembali ke kampung, mencoba melanjutkan, tapi lagi-lagi harus berhenti karena tidak ada biaya dan perceraian orang tuanya.
Kini, ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali membuka buku.
Baca juga: Sosok Sr. Marieta Ose Melburan, SSpS, Biarawati Katolik yang Berkarya untuk Penyandang Disabilitas
“Kadang rindu sekolah,” ujarnya lirih, “tapi sekarang saya kerja saja.”
Kini, cita-citanya telah berubah. Ia tak ingin lagi jadi polisi, karena itu menurutnya butuh sekolah dan uang.
Ia ingin jadi pedagang sayur agar punya kios sendiri, menjual sayur, tak perlu memanggul berat tiap hari.
“Biasanya orang kasih seikhlasnya, tidak menentu,” katanya tentang penghasilannya.
Tapi bagi Api, tak ada yang lebih penting selain bertahan hidup dan terus berjuang.
Setiap karung yang ia angkut, setiap malam yang ia lalui di pasar, adalah bentuk keteguhan seorang anak yang seharusnya masih bermain, namun sudah berhadapan dengan kerasnya hidup.
Di matanya, masa depan mungkin tak berwujud seragam polisi, tapi ia yakin, selama ia bisa bekerja, ia bisa berubah meski mimpi itu harus berubah. (Iar)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS