Oleh: Wilhelmus Mustari,SE.,M.Acc
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Data publikasi ICW (2024) menempatkan sektor perbankan di Indonesia meraih urutan keempat jumlah kasus korupsi dari 25 sektor yang menjadi fokus pemantauan.
Adapun hasil temuan ini mengurai obyek korupsi terjadi pada bank umum (45 persen), bank BUMD (43 persen), dan industri keuangan lainnya (12 persen).
Bank NTT, sebagai salah satu bank BUMD tidak lepas dari berbagai sorotan publik dalam waktu belakangan ini.
Rangkaian skandal keuangan yang melanda Bank NTT sepanjang tahun 2024 dan bahkan sebelumnya, telah mengungkap kegagalan sistemik dan lemahnya fungsi pengawasan perbankan Indonesia.
Misalnya, dugaan korupsi pembelian Medium Term Notes (MTN) senilai Rp50 miliar; kredit fiktif PT Budimas Pundinusa sebesar Rp 100 miliar; kredit macet cabang Surabaya senilai Rp126,5 miliar;
Dugaan tindak pidana perbankan (Tipibank) pada bank NTT yang ditangani OJK, di mana pencairan kredit tidak sesuai tujuan; dugaan kasus korupsi dana KUR Bank NTT cabang Soe; serta kasus lainnya, yang secara kolektif menunjukkan disfungsi serius dalam peran dewan komisaris sebagai organ pengawas tertinggi bank.
Bank NTT, sebenarnya telah memiliki infrastruktur pengendalian internal yang relative komprehensif, termasuk fraud detection system, aplikasi profil risiko cabang, lost event database, dan jaringan risk control officers di seluruh unit operasional (Laporan tahunan bank NTT, 2024).
Namun, keberadaan sistem canggih ini tidak mampu mencegah kerugian ratusan miliar rupiah yang seharusnya dapat dideteksi sejak dini oleh pengawasan dewan komisaris.
Anatomi Kegagalan Dewan Komisaris
1. Lemahnya Oversight terhadap Keputusan Strategis
Kasus pembelian MTN PT SNP Finance tanpa due diligence yang memadai merupakan manifestasi paling jelas dari kegagalan pengawasan komisaris.
Transaksi investasi senilai Rp50 miliar yang berujung pada kerugian Rp60,5 miliar seharusnya tidak pernah terjadi jika dewan komisaris menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik dan optimal.
Dalam struktur tata kelola perbankan, keputusan investasi dengan risiko tinggi dan nominal besar wajib mendapat persetujuan atau setidaknya pengawasan ketat dari komisaris.
Fakta bahwa transaksi ini lolos tanpa due diligence mengindikasikan ketidakpahaman komisaris terhadap kompleksitas instrumen keuangan atau kelalaian dalam menjalankan fiduciary duty mereka.
2. Kegagalan Fungsi Komite-Komite Komisaris