Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE.,MM.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar - Bali
POS-KUPANG.COM - Harga cabai kembali menjadi sorotan, karena harganya melejit cukup tinggi. Dalam beberapa hari terakhir, lonjakan harga cabai yang signifikan membuat masyarakat semakin tertekan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata harga cabai merah di tingkat konsumen nasional naik sebesar 30 persen dalam triwulan terakhir.
Di Bali, kenaikan ini bahkan mencapai 50 persen, jauh melampaui rata-rata nasional.
Baca juga: Harga Cabai Merah di Pasar Inpres Kupang Masih Meroket Pasca Lebaran
Fenomena ini tidak hanya berdampak pada konsumsi rumah tangga, tetapi juga menambah beban bagi pelaku usaha kecil di sektor kuliner.
Di pasar-pasar tradisional Denpasar, harga cabai merah kini menyentuh Rp100.000 per kilogram. Padahal, pada awal tahun, harganya masih berada di kisaran Rp40.000 hingga Rp50.000 per kilogram.
Kenaikan harga ini dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari cuaca ekstrem yang merusak hasil panen hingga meningkatnya biaya distribusi akibat harga bahan bakar yang juga mengalami kenaikan.
Selain itu, musim hujan yang berkepanjangan turut memengaruhi kualitas dan kuantitas cabai yang dihasilkan oleh petani.
Tidak hanya cabai, harga sayur-mayur lainnya juga turut merangkak naik. Bawang merah, yang menjadi salah satu bahan pokok utama dalam masakan Indonesia, kini dijual dengan harga rata-rata Rp50.000 per kilogram, naik dari sebelumnya Rp30.000.
Harga tomat juga mengalami peningkatan hingga 40 persen di beberapa wilayah, termasuk Bali.
Kenaikan ini menimbulkan efek domino terhadap harga-harga kebutuhan lain di pasar, mengingat cabai dan sayur-mayur adalah komponen utama dalam banyak menu makanan masyarakat.
Dampaknya sangat terasa di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Bagi mereka yang memiliki penghasilan tetap, kenaikan harga bahan pokok seperti ini berarti harus mengorbankan pengeluaran di sektor lain.
Demikian juga bagi pekerja harian dengan pendapatan yang tidak pasti, lonjakan harga ini menjadi beban yang sulit ditanggung. Bahkan, beberapa rumah tangga memilih untuk mengurangi konsumsi cabai dan beralih ke alternatif bumbu lain yang lebih terjangkau.
Di sisi yang sama, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor kuliner juga harus menghadapi dilema. Mereka kesulitan menaikkan harga jual makanan karena khawatir kehilangan pelanggan, sementara biaya produksi terus meningkat.
Beberapa pedagang nasi campur di Bali mengaku harus mengurangi porsi cabai dalam sambal untuk menekan biaya operasional. Hal ini tentu saja memengaruhi kualitas dan cita rasa makanan yang dijual.