Opini

Opini: Pergeseran Voting Behaviour dalam Pilkada Serentak 2024 di NTT

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Br. Pio Hayon, SVD.

Oleh: Br. Pio Hayon, SVD
Dosen STPM Santa Ursula Ende, Flores, NTT

POS-KUPANG.COM - Pilkada serentak 2024 menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara bersamaan di berbagai provinsi dan kabupaten/kota. 

Sejumlah 270 daerah yang menyelenggarakan pemilihan menunjukkan bahwa
pilkada kali ini tidak hanya menentukan pemimpin lokal, tetapi juga memiliki dampak signifikan pada peta politik nasional. 

Pilkada serentak ini bisa menjadi momen penting dalam memahami perubahan perilaku pemilih pada tingkat nasional.

Dengan mengadopsi perspektif Roth Dieter seorang berkebangsaan Jerman yang ahli dalam bidang ilmu politik ini, kita dapat menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan pemilih dan dinamika yang muncul di tengah masyarakat. 

Merujuk pada konteks lokal, Pilkada serentak 2024 di Nusa Tenggara Timur (NTT) membawa juga dinamika baru dalam perilaku pemilih ( voting behaviour) dalam konteks polilitik Indonesia.

Perilaku politik itu bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri. Perilaku politik seseorang sangat dipengaruhi faktor internal dan eksternal. 

Faktor-faktor tersebut dapat berupa kekadaan alam, kebudayaan masyarakat setempat, tingkat pendidikan, dan lain-lain.

Pendekatan Perilaku Pemilih “Voting Behavior” dalam Konteks NTT 

Bicara tentang perilaku pemilih tidak terlepas dari perilaku politik sebagai satu kesatuan dalam kehidupan suatu bangsa. 

Perilaku politik (political behavior) dinyatakan sebagai suatu telaah mengenai tindakan manusia dalam situasi politik. 

Perilaku politik juga sering dikaitkan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. 

Adapun yang melakukan kegiatan politik adalah pemerintah dan masyarakat sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Pada hakikatnya seorang individu atau masyarakat, setelah memiliki sikap politik terhadap suatu obyek politik, melakukan tindakan politik. Tindakan ini disebut perilaku politik. 

Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi, dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi, dan sebagainya. 

Seseorang juga memiliki persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi tentang sesuatu, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu.

Salah satu perilaku politik yang khas dan gampang terlihat adalah perilaku pemilih dalam pemilihan umum. 

Dalam Pemilu, perilaku pemilih akan terlihat dalam memberikan suara sebagai bentuk partisipasi dalam demokratis.

Dalam konteks Pemilu, perilaku pemilih dapat kita kategorikan dalam tiga pendekatan pola perilaku menurut pandangan Roth Dieter, antara lain the columbia study, the michigan model, dan rational choise (Roth, 2008). 

Pertama, the columbia study (pendekatan sosiologis). Pendekatan ini berfokus pada pengaruh faktor sosial, seperti identitas etnis, agama, kelas, dan latar belakang budaya dan wilayah tertentu, dalam menentukan perilaku pemilih. 

Di NTT, keragaman budaya dan etnis sangat memengaruhi pilihan politik. 

Data Survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 70 persen pemilih di NTT lebih cenderung memilih calon berdasarkan kesamaan etnis atau asal daerah. 

Misalnya, di Kabupaten Manggarai, calon dari suku lokal meraih dukungan hingga 80 persen. Ini menunjukkan kekuatan identitas sosial dalam pemilihan.

Kedua, the michigan model (pendekatan psikologis). Pendekatan ini menekankan faktor psikologis termasuk afiliasi partai dan sikap individu terhadap calon. 

Di NTT, banyak pemilih menunjukkan loyalitas terhadap partai politik yang diwariskan dari generasi sebelumnya.

Menurut survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, sekitar 65 persen pemilih di NTT memiliki afiliasi partai yang kuat. Contoh nyata terlihat di Kabupaten Sikka. 

Calon dari Partai Golkar meraih 75 persen suara berkat loyalitas pemilih yang telah terbangun selama bertahun-tahun.

Ketiga, rational choice theory (pendekatan rasional). Pendekatan ini menilai bahwa pemilih membuat keputusan berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat dan biaya. 

Di NTT, pemilih makin mempertimbangkan kebijakan dan program konkret yang ditawarkan oleh calon.

Data hasil survei menunjukkan bahwa 60 persen pemilih muda di NTT memilih calon berdasarkan program yang menjanjikan peningkatan akses pendidikan dan kesehatan. 

Di Kota Kupang contohnya, calon yang menjanjikan perbaikan layanan kesehatan dengan program yang jelas mendapatkan dukungan lebih dari 70 persen.

Maka dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa tiga pendekatan (sosiologis, psikologis, dan rasional) menunjukkan bahwa selain perilaku pemilih di NTT dipengaruhi oleh faktor sosial dan identitas, tetapi juga menunjukkan perkembangan menuju pertimbangan rasional dalam
pengambilan keputusan. 

Data yang ada mencerminkan kompleksitas perilaku pemilih di NTT, di mana identitas sosial dan loyalitas partai tetap kuat, sekalipun ada tren positif menuju pemilih yang lebih kritis dan mampu memilih tanpa ada tekanan dari faktor-faktor lainnya.

Pergeseran Identitas Pemilih dan Isu-isu Lokal

Dalam Pilkada 2024, terlihat adanya pergeseran dari politik identitas tradisional menuju politik berbasis isu. 

Pemilih muda, yang makin terpapar banyak informasi melalui media sosial, menunjukkan ketertarikan lebih besar terhadap calon yang dapat menawarkan program-program inovatif. 

Hal ini sejalan dengan penelitian Roth Dieter yang menyatakan bahwa pemilih muda cenderung lebih kritis dan tidak terikat pada tradisi politik keluarga. 

Media sosial memainkan peran kunci dalam memengaruhi perilaku pemilih. Berdasarkan survei yang dilakukan menjelang Pilkada 2024, sekitar 70 persen pemilih muda mengaku mendapatkan informasi politik melalui media sosial. 

Ini menandakan pergeseran cara pemilih berinteraksi dengan calon dan isu-isu politik. 

Calon yang aktif di platform digital cenderung lebih dikenal dan memiliki peluang lebih besar untuk meraih suara. Untuk itu, isu-isu lokal seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan masalah lingkungan menjadi makin penting.

Dalam Pilkada 2024, pemilih cenderung memilih calon yang memiliki solusi konkret untuk isu-isu tersebut. 

Misalnya, di Kabupaten Alor, calon yang menjanjikan program peningkatan akses air bersih dan pendidikan memperoleh dukungan lebih dari 65 persen. 

Ini menunjukkan bahwa pemilih makin mengutamakan calon yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Pahami Dinamika Perilaku Pemilih

Pergeseran voting behaviour di NTT dalam Pilkada serentak 2024 mencerminkan evolusi pemilih yang lebih kritis dan berfokus pada isu. 

Dalam perspektif Roth Dieter, pemilih tidak hanya terikat pada identitas sosial tradisional, tetapi juga berkembang menjadi individu yang lebih sadar akan hak dan tanggung jawab politiknya. 

Kecenderungan pada pendekatan rasional dari perilaku pemilih sudah mulai tampak jelas dalam pilkada serentak tahun ini.

Kesadaran baru ini sekaligus memberi gambaran akan partisipasi politik masyarakat sudah mulai berkembang secara lebih rasional walaupun tak bisa dipungkiri bahwa pendekatan sosiologis atau pola perilaku pemilih secara tradisional itu masih tetap ada.

Namun data hasil pilkada kali ini menunjukkan bahwa kesadaran politik yang meningkat dan penggunaan media sosial telah mengubah cara pemilih dalam memilih calon. 

Dengan demikian, calon yang ingin meraih suara harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini, menawarkan visi dan program yang sesuai dengan aspirasi masyarakat NTT. 

Ke depan, pemahaman tentang perilaku pemilih yang dinamis ini akan sangat penting bagi keberhasilan setiap calon dalam kontestasi politik. *

Berita Terkini