Salah satu perilaku politik yang khas dan gampang terlihat adalah perilaku pemilih dalam pemilihan umum.
Dalam Pemilu, perilaku pemilih akan terlihat dalam memberikan suara sebagai bentuk partisipasi dalam demokratis.
Dalam konteks Pemilu, perilaku pemilih dapat kita kategorikan dalam tiga pendekatan pola perilaku menurut pandangan Roth Dieter, antara lain the columbia study, the michigan model, dan rational choise (Roth, 2008).
Pertama, the columbia study (pendekatan sosiologis). Pendekatan ini berfokus pada pengaruh faktor sosial, seperti identitas etnis, agama, kelas, dan latar belakang budaya dan wilayah tertentu, dalam menentukan perilaku pemilih.
Di NTT, keragaman budaya dan etnis sangat memengaruhi pilihan politik.
Data Survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 70 persen pemilih di NTT lebih cenderung memilih calon berdasarkan kesamaan etnis atau asal daerah.
Misalnya, di Kabupaten Manggarai, calon dari suku lokal meraih dukungan hingga 80 persen. Ini menunjukkan kekuatan identitas sosial dalam pemilihan.
Kedua, the michigan model (pendekatan psikologis). Pendekatan ini menekankan faktor psikologis termasuk afiliasi partai dan sikap individu terhadap calon.
Di NTT, banyak pemilih menunjukkan loyalitas terhadap partai politik yang diwariskan dari generasi sebelumnya.
Menurut survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, sekitar 65 persen pemilih di NTT memiliki afiliasi partai yang kuat. Contoh nyata terlihat di Kabupaten Sikka.
Calon dari Partai Golkar meraih 75 persen suara berkat loyalitas pemilih yang telah terbangun selama bertahun-tahun.
Ketiga, rational choice theory (pendekatan rasional). Pendekatan ini menilai bahwa pemilih membuat keputusan berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat dan biaya.
Di NTT, pemilih makin mempertimbangkan kebijakan dan program konkret yang ditawarkan oleh calon.
Data hasil survei menunjukkan bahwa 60 persen pemilih muda di NTT memilih calon berdasarkan program yang menjanjikan peningkatan akses pendidikan dan kesehatan.
Di Kota Kupang contohnya, calon yang menjanjikan perbaikan layanan kesehatan dengan program yang jelas mendapatkan dukungan lebih dari 70 persen.