Kasus Korupsi

Tom Lembong dan Charles Sitorus Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Importasi Gula di Kemenda

Editor: Agustinus Sape
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tom Lembong beserta istri dan anaknya bersilaturahmi ke kediaman Anies Baswedan, Rabu (10/4/2024), di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung menetapkan bekas Menteri Perdagangan Tom Lembong sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan 2015-2016.

Kejaksaan Agung menyebutkan, proses penyidikan kasus tersebut sudah dilakukan sejak Oktober 2023 dan tidak ada kaitannya dengan politik.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar, dalam jumpa pers, Selasa (29/10/2024), menyampaikan, setelah memeriksa 90 saksi, penyidik Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka dalam perkara dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan 2015-2016.

Dua tersangka itu adalah bekas Menteri Perdagangan di era Presiden Joko Widodo, TTL atau Tom Lembong, dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia 2015-2016 berinisial CS atau Charles Sitorus.

”Pada hari ini, penyidik pada Jampidsus menetapkan status saksi dua orang menjadi tersangka karena telah memenuhi alat bukti bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi,” kata Abdul.

Hanya gula putih dan BUMN

Menurut Abdul, Menteri Perdagangan Tom Lembong memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP dan gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih. Hal itu dilakukan untuk menstabilkan harga gula di masyarakat karena gula langka dan harganya pun tinggi.

Padahal, sesuai dengan keputusan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian Nomor 257 Tahun 2004, yang diperbolehkan mengimpor gula kristal putih dalam rangka stabilisasi harga adalah badan usaha milik negara (BUMN). Akan tetapi, berdasarkan persetujuan impor yang telah dikeluarkan tersangka TTL, impor gula tersebut dilakukan oleh PT AP.

”Dan impor gula kristal tersebut tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri,” terang Abdul.

Pada 28 Desember 2015 dilakukan rapat koordinasi di bidang perekonomian yang dihadiri oleh kementerian di bawah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang membahas bahwa pada 2016, Indonesia kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.

Pada November-Desember 2015, CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia memerintahkan staf senior manajer bahan pokok PT PPI bernama P untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula. Padahal, dalam rangka pemenuhan stok dan stabilisasi harga seharusnya diimpor adalah gula impor putih secara langsung dan yang boleh melakukan impor tersebut hanya BUMN.

Sementara, kedelapan perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih sebenarnya izin industrinya adalah produsen gula kristal rafinasi yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi. Setelah kedelapan perusahaan tersebut mengimpor dan mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, PT PPI diduga seolah-olah membeli gula tersebut.

Padahal, gula tersebut dijual oleh delapan perusahaan swasta tersebut ke pasaran atau masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengan harga Rp 16.000 per kg. Harga itu lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) Rp 13.000 per kg dan yang pada saat itu tidak dilakukan operasi pasar.

”Dari pengadaan dan pengolahan itu, PT PPI mendapatkan fee sebesar Rp 105 per kilogram. Kerugian negara akibat perbuatan importasi gula yang tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, negara dirugikan kurang lebih Rp 400 miliar,” ujarnya.

Kasusnya masih dikembangkan

Halaman
12

Berita Terkini