Wawancara Eksklusif

Wawancara Eksklusif Sudirman Said: Saya Enggak Punya Masalah dengan Anies

Editor: Alfons Nedabang
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sudirman Said

Saya juga ditanya kenapa enggak memikirkan kembali ke Jawa Tengah. Ya, dengan guyon saya mengatakan kan sudah pernah mencoba di Jawa Tengah. Dan menurut saya Jawa Tengah itu biarkan diurus orang yang punya basis politik kuat di sana, itu satu.

Nah, Jakarta mengapa menjadi tantangan menarik? Karena menurut Undang-undang nomor 2 tahun 2024, Jakarta akan mengalami perubahan besar. Dari yang semula Ibu Kota Negara, nanti kalau PP atau Perpresnya keluar akan menjadi kota yang bukan lagi Ibu Kota. Tapi punya status yang luar biasa tuh. Jadi pusat ekonomi, pusat bisnis, pusat jasa, pusat kebudayaan dan jangan lupa bahwa pada tahun 2045 setelah 100 tahun Merdeka, 70 persen warga kita akan tinggal di kota.

Karena itu kalau Jakarta bisa didorong menjadi role model, menjadi satu pattern bagaimana kota dibangun saya kira kan baik.

Nah apa yang mau dikerjakan, Pertama saya menyampaikan dua prinsip dulu untuk bisa mengerjakan kota Jakarta dengan baik. Nomor satu, karena perubahan besar itu akan membutuhkan konsentrasi penuh maka sebaiknya pemimpin ke depan mau siapapun itu, sebaiknya pemimpin yang bisa fokus mengurus Jakarta dan tidak meletakkannya sebagai semacam stepping stone untuk panjatan agenda politik berikutnya. Mengapa begitu? Karena memang tantangannya begitu besar. Harus ditangani dengan fokus.

Yang kedua, karena transisi dari ibu kota menjadi kota yang bukan lagi ibu kota adalah memerlukan penjabaran, koordinasi penuh dengan pemerintah pusat. Ada 15 kewenangan khusus yang diberikan kepada kota Jakarta nanti, itu kan memerlukan tektokan dengan pemerintah pusat. Karena itu siapapun yang ke depan akan jadi gubernur, sebaiknya juga orang yang tidak punya masalah atau tidak berseberangan dengan pemerintah pusat. Jadi dua aspek itu akan menjadi modal untuk bisa mengurus kota ke depan.

Nah, kalau saya ditanya apa yang akan dilakukan? Saya kira banyak sekali tantangannya. Yang konvensional, yang sering diucapkan tentu, kita ini barusan hujan kan, hujan sejam aja udah genangan di mana-mana. Memang itu masalah menahun yang tidak ada quick fix, tidak ada cara memperbaiki yang cepat lah. Harus ada konsistensi kebijakan gitu.

Kita rangkai seluruh yang pernah dikerjakan, nanti kita tetap pelan-pelan. Kemudian yang kedua, kemacetan itu juga. Hal yang juga tidak bisa diselesaikan dengan cepat tapi harus dicari jalan keluarnya.

Paling menarik perhatian saya adalah soal kesenjangan. Jakarta ini kan tempat manusia-manusia paling kaya, perusahan besar orang paling hebat pada di Jakarta tapi juga paling menderita juga di sini.

Saya sering jalan ke kampung-kampung itu. Di tempat tempat itu air aja susah. Mungkin orang di sekitar kita mendapatkan air dengan gampang. Tapi di Warakas, Tambora, Kebon Melati, tempat-tempat kumuh itu tergantung pada air pikulan yang harganya 8 kali lipat dari air keran.

Itu sesuatu yang menantang, tetapi bagaimana menata kampung kumuh? Itu juga merupakan hal yang bisa jadikan sebagai pendobrak yang bisa tidak saja menggulirkan kegiatan ekonomi tapi juga lapangan kerja, menghasilkan perkampungan yang lebih sehat.

Saya bayangkan misalnya kampung-kampung kumuh yang sangat padat kalau kita ajak bersama sama dengan warga kita naikkan dengan satu lantai menyisakan ruang hijau, tempat beribadah tempat untuk hajatan, bermain anak anak saya kira itu akan menjadi lingkungan yang lebih sehat. Itu kembali memerlukan konsentrasi penuh dan fokus tantangan-tantangan tadi.

Kualitas udara menurut Anda menjadi fokus apa gimana?

Itu menata kampung, menata transportasi energi bagian dari ujungnya adalah kualitas udara lebih baik. Dulu kan kita pernah dapat satu angka polusi yang tinggi salah satu kita besar yang paling tinggi, betul bahwa sumber polusi datang dari kiri kanan, tapi namanya udara enggak punya KTP kan enggak bisa distop karena kamu datang dari batang atau Cirebon enggak boleh bergeser, nah itu memerlukan koordinasi dengan kiri kanan.

Nah, di sinilah barangkali konsep aglomerasi dituangkan di UUD itu menjadi penting. Nah mengapa berpikir untuk menawarkan diri untuk ke Jakarta? Karena rasa punya pengalaman bagaimana menata Aceh ketika selesai tsunami, itu juga sangat luar biasa kompleks. Kita bekerja dengan 72,882 lembaga internasional awal-awal sesuatu yang sangat dinamis. Tapi akhirnya memberikan hal yang baik.

Itu juga Jakarta akan begitu ada aspek manajemen, ada aspek koordinasi dengan pemerintah ada aspek pusat ada aspek kolaborasi dengan tiga pilar, bisnis pemerintah dan masyarakat sipil. Nah ini hal ini tantangan menurut saya cukup besar ditangani. (tribun network/mam)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Berita Terkini