Pejuang kemanusiaan seperti Ibu Sumarsih bukannya tidak pernah menghadapi keputusasaan. Bagi mereka keputusasaan justeru menjadi katalisator perjuangan, mendorong mereka untuk mengevaluasi taktik perjuangan, membentuk aliansi baru, dan mengeksplorasi jalan alternatif untuk terus bertahan melakukan perlawanan.
Ketangguhan mereka dapat didorong oleh komitmen yang mendalam terhadap nilai-nilai inti seperti martabat, kebebasan, dan keadilan.
Sesama Warga sebagai Tantangan
Tantangan bagi para pejuang kemanusiaan, secara konkret bagi Ibu Sumarsih, kelompok peduli keadilan, kaum cendekia, dan bijak-pandai bukan terutama penguasa yang berlagak seperti kafilah terus berlalu dan tutup telinga terhadap gonggongan anjing, melainkan tembok ideologis sesama warga yang selain ignorant, juga telah dijadikan tameng atau perisai penyokong sikap “malas tahu” dan ugal-ugalan penguasa.
Melalui bantuan sosial misalnya atau melalui reklame yang disampaikan secara repetitif tentang makan siang gratis, susu gratis, hilirisasi nikel, dan janji-janji muluk lain, penguasa memanipulasi dukungan publik untuk melipatgandakan kekuasaan.
Di hadapan sesama warga sebagai bumper penguasa itu, perjuangan para peduli keadilan menjadi nama lain dari istilah perang saudara.
Terhadap tantangan ini, anjuran agar dicanangkan edukasi masyarakat sipil tentang masalah sosial yang riil, termasuk tentang bentuk-bentuk ketidakadilan yang dilakukan penguasa memang terasa masuk akal. Upaya ini misalnya dapat dilakukan dengan penyebaran informasi yang akurat melalui media-media kredibel, pengorganisasian akar rumput, dan upaya penjangkauan masyarakat.
Logikanya, peningkatan kesadaran dan pemikiran kritis warga dapat membantu warga itu sendiri untuk menyadari manipulasi ideologis atas diri mereka, sekaligus mereka dibantu untuk membuat keputusan secara tepat.
Akan tetapi, pada saat sebagian terbesar pemikiran dan sikap warga sudah sangat ideologis, mungkinkah langkah itu terwujud? Bukankah semakin terbukanya individu terhadap akses informasi, semakin kecil pula kepercayaannya terhadap informasi lain di luar yang disukai atau yang dinginkannya.
Anjuran yang sama mustahilnya dengan itu adalah mobilisasi protes warga terhadap penguasa. Dengan mengorganisasi protes, unjuk rasa, dan bentuk-bentuk aksi kolektif lainnya, individu-individu dapat menunjukkan kekuatan ketidakpuasan mereka dan menuntut pertanggungjawaban penguasa.
Idealnya gerakan tradisional seperti ini dapat menjadi platform bagi suara-suara yang terpinggirkan untuk didengar dan memperkuat tuntutan keadilan dan perubahan.
Namun, mungkinkah langkah ini terwujud ketika di belakang penguasa berbaris warga lain dengan jumlah lebih banyak? Dalam kasus tertentu, terdapat hadiah makan gratis bagi para demonstran berbayar untuk menghadapi aksi protes warga.
Menjaga Integritas Moral
Walaupun kadar kemustahilan tidak lebih kecil daripada dua anjuran terdahulu, strategi perlawanan non-kekerasan, seperti pembangkangan sipil, boikot, dan pemogokan, dapat menjadi alat perjuangan. Dengan menolak untuk bekerja sama dengan kebijakan dan praktik-praktik yang tidak adil, individu-individu dapat mengganggu status quo dan memaksa penguasa untuk berubah.
Perlawanan tanpa kekerasan dapat membantu menjaga integritas moral dan memperluas basis dukungan untuk perjuangan. Selain “Aksi Kamisan” Ibu Sumarsih, gerakan “Kampus Menggugat” seperti digalakkan sejumlah dosen UGM pada 12 Maret 2024 dapat dijadikan bentuk konkret dari anjuran ini.