Oleh: Yohanes Orong
Dosen IFTK Ledalero Flores,mahasiswa S3 PBI Universitas Negeri Malang (UM)
POS-KUPANG.COM - Tidak terlalu lama setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres pada pilpres 2024 masih akan terus mengganggu memori sebagian pejuang demokrasi di Indonesia, muncul lagi putusan baru; kali ini dari Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan Partai Gerindra soal syarat usia minimal calon kepala daerah.
Publik mafhum putusan MA merupakan bagian dari upaya memuluskan langkah politik Kaesang Pengerab (adik Gibran) dalam pilkada 2024.
Tajuk Rencana Kompas, 3 Juni 2024 mencatat dua putusan itu memiliki keterkaitan dengan keluarga Presiden Jokowi. Pada dua paragraf akhir Tajuk Rencana itu tertulis kesan apatisme atau ketidakpedulian masyarakat Indonesia terhadap setiap keputusan dari lembaga hukum dan pemerintah berkaitan dengan nasib bangsa.
Kompas memakai istilah “sakarepmu”, kata dalam bahasa Jawa yang berarti “terserah kamu”. Akan tetapi, warga yang bersikap “sakarepmu” terhadap pemimpin mereka yang dinilai imun terhadap kritik publik barangkali tidak lebih banyak daripada jumlah warga yang menganggap keputusan-keputusan seperti itu sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertanyaan yang hendak dijawab melalui esai ini adalah mengapa Sebagian (mungkin terbesar) warga Indonesia bersikap mati-matian membela keputusan yang ganjil seperti itu, juga masih akan terus membela keganjilan-keganjilan lainnya seperti rencana program tabungan perumahan rakyat (taperna)?
Tidak sedikit opini pada beberapa koran nasional seputar masalah politik di tanah air setelah pemilu dapat dibaca sebagai refleksi akademik sarat makna.
Namun, secerah apa pun refleksi-refleksi itu, tetap ada skeptisisme mengenai daya ubah opini-opini tersebut terhadap pendewaan sebagian terbesar warga terhadap penguasa, juga terutama terhadap sukarnya mengubah sikap “malas tahu” penguasa yang diuntungkan oleh pendewaan dan glorifikasi warga.
Akan tetapi, apakah dengan itu sikap kritis dan upaya pencerahan masyarakat mati?
Pertanyaan eksistensial ini seyogianya menggugah kesadaran siapa pun, walaupun tidak untuk kaum ignorant yaitu mereka yang merasa Indonesia baik-baik saja.
Ignorant dalam bahasa Inggris bisa berarti foolish atau dumb, yaitu orang tolol atau dungu. Kelompok ini sulit diberi tahu, apalagi melalui diseminasi gagasan atau opini.
Lebih kurang keburukannya dibandingkan dengan kaum ignorant adalah mereka yang karena putus asa menjadi apatis, menarik diri, dan kehilangan motivasi untuk melanjutkan perjuangan.
Termasuk dalam kelompok terakhir ini barangkali sebagian masyarakat Nusa Tenggara Timur yang sangat kecewa dengan pengunduran diri caleg DPR RI Partai Nasdem, Ratu Ngadu Bonu Wulla setelah dinyatakan terpilih. Pengunduran diri sang caleg melukai martabat dan harga diri masyarakat NTT.
Berbeda dengan dua kelompok tersebut di atas, sekelompok individu yang lain menghadapi tantangan dengan tetap menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Kita sebut contoh paling aktual untuk kategori ini ialah Ibu Maria Katarina Sumarsih yang tidak pernah berputus asa selama 17 tahun menggelar “aksi kamisan” di depan Istana Negara menuntut keadilan kepada pemerintah atas kematian anaknya, Bernardus Realino Norma Irmawan dalam kasus Semanggi-1998.
Jumlah aksi Ibu Sumarsih yang terekam media sampai awal tahun ini adalah 805 kali. Tentu saja cucuran air mata dan keringat kepedihan sang pejuang kemanusiaan melampaui angka itu dan sejatinya tidak pernah dapat dihitung.