Oleh: Viktus Murin
POS-KUPANG.COM - Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Senin 3 Juni 2024, pagi-pagi benar, suasana hati saya berubah muram, setelah memperoleh kabar duka perihal berpulangnya Nikolaus Frans, Ketua GMNI Cabang Kupang periode 1993-1996. Saya pribadi selalu menyapa almarhum Niko Frans dengan sapaan "Kak Niko". Beliau lebih tua tujuh tahun dari saya.
Saat berita lelayu atau kabar duka itu mendarat di layar ponsel, serta-merta saya ingin menelpon sahabat saya Dion DB Putra, Pemimpin Redaksi POS KUPANG.
Namun, sesaat sesudahnya saya mengurungkan keinginan itu, sebab saya sungguh yakin bila Dion menjawab panggilan telpon saya, pasti saya kesulitan untuk berkata-kata. Sangat mungkin hanya akan terdengar suara tangis dari saya, karena ketidakmampuan saya berkata-kata.
Kami bertiga; almarhum Kak Niko, Dion, dan saya memang memiliki relasi persahabatan yang unik, yang tidak terjelaskan sebatas dan atau dengan kata-kata. Sisi-sisi kecil keunikan persahabatan kami bertiga telah ditulis dengan apik oleh Dion, dalam catatan kenangan bertajuk "Selamat Jalan Lawo" di Pos Kupang online @kupangmyribunnews.com, Senin,3 Juni 2024
Baca juga: Selamat Jalan Lawo
Serta-merta saya mengurungkan keinginan untuk menelpon Dion. "Sonde apa-apa, nanti beta chating WA sa dengan Osi," begitu hati saya berbisik. Saya biasa menyapa Dion dengan "No Osi", merujuk pada nama inisialnya di redaksi Pos Kupang, saat dahulu kami masih sama-sama berkutat di dapur redaksi Pos Kupang semenjak mula Desember 1992.
Sapaan "No" merujuk pada ungkapan khas bahasa Nagi Larantuka, sebuah sapaan terhalus untuk orang laki-laki. Dion berasal dari Ende, saya dari Lembata, tetapi kami menemukan harmoni rasa saat sama-sama saling menyapa dengan panggilan "No". Dion sering menyapa saya dengan "No Vik", pun merujuk pada inisial saya di redaksi Pos Kupang.
Senin pagi itu, dua pesan WA masuk, satu dari adik rasa sekandung saya Christo Korohama di Nagi Larantuka. Satu pesan lainnya muncul dari Pendeta Paul Bolla, yang juga teman seprofesi, sesama wartawan Pos Kupang dahulu. Saya pun menelpon balik Christo maupun Om Pendeta, selain untuk memastikan kebenaran informasi yang telah ramai beredar di medsos, juga untuk saling menguatkan dalam doa sebab kita telah kehilangan lagi seorang tokoh politik NTT yang berkarakter.
Sesudahnya, saya menelpon senior GMNI di Jakarta, Silvester Mbete (Bung Sil). Beliau adalah tokoh kunci terbitnya SK Presidium GMNI untuk pembentukan Caretaker GMNI Kupang tahun 1989 silam. Bung Sil adalah putra NTT pertama yang menjadi Presidium GMNI dari basis cabang Jakarta. SK Caretaker yang menunjuk Bung Frans Lebu Raya sebagai Ketua CT GMNI Kupang terbit pada era kepemimpinan Ketua Pesidium GMNI, Kristya Kartika.
"Pagi Kae Sil. Kae sudah dengar berita duka,"? tanya saya agak tergesa-gesa. Dari balik ponsel, nada suara Bung Sil terdengar pelan melemah dan terasa memuat beban kesedihan. "Iya ade, sahabat juang kita Bung Niko sudah pergi. Meninggal dunia di Rumah Sakit Islam Jakarta. Sedang dibahas persiapan untuk pemberangkatan jenazah ke Kupang," jawab Kae Sil. Kami pun saling menguatkan, saling menopang spirit, saling berbagi rasa mengenang stasi-stasi perjuangan di masa sulit dahulu. Tak berapa lama sesudahnya, saya terisak sesenggukan di telpon, sebab sedih yang sangat datang melanda. "Maaf Kae, saya sedih sekali Kak Niko pergi, padahal belum lama juga Kak Frans meninggalkan kita. Saya juga sedih ingat Kae Sil yang sekarang sudah sendirian setelah kepergian Kaka Nona beberapa waktu lalu." Bung Sil menjawab lekas. "Iya Ade, sudah begitu adanya rencana TUHAN. Terima kasih, kita bisa saling menguatkan dan mendoakan," kali ini suara Bung Sil terdengar lebih tegar.
Tak lupa saya pun menelpon adik Isto Haukilo, yunior di GMNI Kupang, yang saat ini sedang mengemban tugas formal organisatorisnya sebagai Ketua DPD GMNI NTT. Kepada Isto, saya sarankan agar nanti setelah lepas masa duka GMNI di NTT pasca kepergian Kak Niko, agar menginisiasi suatu pertemuan menyeluruh komunitas GMNI.
Perlu saling bertemu dan bertutur dari hati ke hati, mengenai agenda kolektif yang bisa ditempuh untuk kebaikan NTT, sebagai apresiasi kolektif atas "legacy ideologi" yang ditinggalkan duo Frans (Frans Lebu Raya dan Nikolaus Frans).
Dari 1992, ke 2022
Terlalu banyak hal dan atau pengalaman yang patut dikenang mengenai Kak Niko, namun tentu saja itu tak bisa ditulis semuanya dalam catatan kenangan ini. Saya hanya memagari beberapa momen untuk diungkapkan di sini, dengan cara membawa ingatan saya bergerak dalam alur mundur ke tahun 1992 sampai dengan tahun 1996, tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, tahun 2011, tahun 2015, tahun 2018, dan tahun 2022.
Di tahun 1992, tiga tahun setelah GMNI Kupang eksis secara formal, sejak SK Caretaker terbit tahun 1989, GMNI Kupang mencatat "prestasi" perdana di pentas nasional yakni dengan menjadi cabang peserta Kongres GMNI di Batu-Malang, Jawa Timur.
Kebijakan organisatoris DPC GMNI Kupang yang saat itu dipimpin Frans Lebu Raya sebagai Ketua, dan Nikolaus Frans sebagai Sekretaris pun menetapkan Delegasi GMNI Kupang untuk berangkat menuju Kongres Malang.
Formasi delegasi terdiri dari enam orang yakni Frans Lebu Raya, Nikolaus Frans, Tory Ata, Lexi Saudale, Yohanes Jua, dan Viktus Murin. Puji TUHAN, di arena Kongres Malang, GMNI cukup berhasil menampilkan performance pemikiran dan skill teknis persidangan.
Bertalian dengan delegasi Kongres Malang ini, saya waktu itu dalam hati kecil kaget sekaligus surprise, mengapa nama saya masuk juga dalam delegasi DPC Kupang. Status saya di lingkungan GMNI Kupang waktu itu hanya sebagai anggota biasa.
Nama saya tidak berada dalam struktur inti kepengurusan DPC Kupang. Beberapa tahun kemudian setelah Kongres GMNI Malang berlalu, baru saya mendengar cerita bahwa nama saya masuk dalam delegasi Cabang Kupang ke Kongres Malang waktu itu, sesungguhnya atas usulan Kak Niko.
Seharusnya setiap DPC mengirimkan lima nama; tiga nama untuk menjadi peserta, dan dua nama menjadi peninjau. Sedangkan GMNI Kupang memutuskan mengirimkan enam nama ke Kongres Malang. Argumentasi yang dibangun Kak Niko waktu itu bahwa sebagai cabang baru, kader-kader GMNI Kupang harus menimba pengalaman nasional di forum organisasi sebesar Kongres. Perihal satu nama yang melebihi batasan jumlah anggota delegasi, itu nanti bisa disiasati.
DPC GMNI Kupang, lebih khusus Frans Lebu Raya selaku Ketua dan Nikolaus Frans sebagai Sekretaris, akan meyakinkan Presidium GMNI, khususnya Ketua Presidium GMNI Kristya Kartika agar satu nama dari delegasi Kupang bisa "disisipkan" dalam keanggotaan panitia nasional Kongres GMNI. Setelah ikut diyakinkan oleh Bung Silvester Mbete (Anggota Presidium GMNI), maka Ketua Presidium GMNI Kristya Kartika menggunakan otoritasnya memberikan dispensasi kepada Cabang Kupang. Terjadilah kemudian seperti apa yang diharapkan. Dalam arena Kongres Malang; tiga nama yang menjadi Peserta (punya hak suara dan hak bicara) adalah Frans Lebu Raya, Nikolaus Frans, dan Lexi Saudale.
Sedangkan dua nama yang menjadi Peninjau (hanya punya hak bicara) adalah Tory Ata dan Viktus Murin. Sedangkan nama Yohanes Jua waktu itu, oleh karena otoritas Mas Kristya Kartika selaku Ketua Presidium GMNI, bisa diterima sebagai nama tambahan dalam satu seksi kepanitiaan nasional Kongres.
Sekembalinya kami ke Kupang setelah mengikuti Kongres GMNI di Malang, hanya berhitung bulan, muncul informasi penerimaan calon-calon wartawan yang akan diseleksi menjadi wartawan untuk "harian" Pos Kupang yang sedang dipersiapkan penerbitannya.
Idealisme saya sebagai aktivis mahasiswa pun menggelora, dan dengan antusias saya ikut mendaftar untuk mengikuti test calon wartawan. Saya pribadi merasakan adanya kohesi idealisme yang kuat antara aktivis dan profesi wartawan.
Puji TUHAN, ujian seleksi dengan bobot tinggi di bawah bimbingan dua wartawan kawakan waktu itu (Valens G.Doy; "Om Valdo" dan Damyan Godho; "Om Damy"), berhasil kami lewati. Dari hampir 100 orang peserta test waktu itu, kalau tidak keliru, ada 21 orang yang dinyatakan lulus.
Dua nama di antaranya adalah Dion DB Putra, dan saya Viktus Murin. Kami sama-sama pegiat organisasi mahasiswa ekstra-universiter; Dion di PMKRI Kupang, saya di GMNI Kupang.
Melintasi perjalanan waktu, pada tahun 1993 GMNI Kupang melakukan Konferensi Cabang (Konfercab). Kalau tidak keliru ingat, waktu itu Konfercab berlangsung di aula Paroki Santo Yoseph Naikoten. Dalam Konfercab ini, Kak Niko terpilih sebagai Ketua GMNI Kupang periode 1993-1996 menggantikan senior Frans yang sudah mengakhiri masa pengabdiannya selama empat tahun sejak menjabat Ketua Caretaker, dan kemudian menjadi Ketua defenitif GMNI Cabang Kupang (1989 sampai 1993).
Masa empat tahun kepemimpinan senior Frans ini, sungguh masa yang penuh dengan rintangan duri dan semak belukar perjuangan. Namun, ketenangan dan kebajikan seorang Frans Lebu Raya telah mampu melewati semua rintangan itu, dan membuat kuku-kuku organisasi GMNI Kupang mulai tertancap dengan kokoh.
Beberapa saat seusai persidangan Konfercab 1993, Kak Niko selaku Ketua terpilih sekaligus Ketua Formatur memanggil saya. Kami berbicara empat mata. Kira-kira begin gambaran isi pembicaraannya. "Ade Vik, saya sudah berbicara dengan Pak Frans saat sebelum Konfercab," begitu suara Kak Niko membuka pembicaraan. Saya terdiam, dan dalam sikap takzim menunggu perkataan lanjutan dari Kak Niko.
"Jadi begini Vik, saya sudah beritahu ke Pak Frans, saya akan lanjutkan tugas Pak Frans sebagai Ketua dengan satu syarat. Syaratnya kalau sekretaris cabangnya Viktus."
Saya masih tetap terdiam di hadapan Kak Niko, sembari berusaha menyembunyikan keterkejutan saya jauh ke dalam bilik hati. Sebab, saya sungguh menyadari masih ada kader-kader lain yang lebih mampu menjadi Sekretaris DPC. Sekelebatan waktu, kesenyapan pun hadir di hadapan kami bedua.
Namun, saya memberanikan diri menanggapi perkataan Kak Niko. "Maaf Kak Niko, kalau boleh tahu, dengan syarat dari Kak Niko itu apa tanggapan senior Frans?" Masih dengan raut wajah serius namun terlihat ada senyum kecil, Kak Niko pun menjawab. "Pak Frans cuma bilang, nanti lu panggil Viktus ko besong dua bicara su".
Menyimak perkataan Kak Niko, saya spontan membayangkan, jika saya menolak menerima tugas ini, maka secara sadar saya merusak psikologi Kak Niko. Padahal dia sedang akan melanjutkan panggilan tugas yang berat sebagai nahkoda GMNI Kupang menggantikan senior Frans.
Dalam diam saya berusaha memastikan disposisi batin saya; bahwa "tidaklah baik menolak kepercayaan yang telah diberikan, dan lebih buruk lagi menolak tanggungjawab perjuangan ideologi". Maka, tetap dalam sikap takzim kepada Ketua Terpilih GMNI Kupang, saya pun berkata kepada Kak Niko. "Terima kasih banyak atas kepercayaan dari Kak Niko. Kalau Kak Niko yakin saya bisa membantu Kak Niko dalam memimpin organisasi, maka saya siap."
Mendengar jawaban saya, Kak Niko menepuk-nepuk pundak saya, sembari setengah merangkul dan memeluk saya, lalu berujar singkat: "Terima kasih Ade Vik. Merdeka!" (*)
Viktus Murin, adalah Sekretaris DPC GMNI Kupang (1993-1996), Ketua Komite Kaderisasi Presidium GMNI (1996-1999), Sekjen Presidium GMNI (1999-2002), Wartawan Pos Kupang (1992-1995), Tenaga Ahli Menpora RI (2004-2009). Kini menjadi Tenaga Ahli Ketua MPR RI, DR.H.Bambang Soesatyo, SE, SH, MBA.(*)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS