Berita Timor Tengah Utara

Gereja untuk Kaum Miskin

Penulis: Dionisius Rebon
Editor: Eflin Rote
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Frater Herman Ginting, OFMConv (baju putih) bersama Warga Dusun Banopo bernama Blasius dan anaknya saat sedang membersihkan lahan pertanian di wilayah Dusun Banopo, Desa Tublopo, Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, Selasa, 19 Desember 2023.

Hingga detik ini, Blasius tidak pernah meminjam uang dari lembaga keuangan. Nasihat Frater Herman selalu dijadikan pegangan. Hal ini terbukti merubah hidupnya.

Dalam sebulan, Blasius bisa memperoleh Rp. 4.000.000 hingga Rp. 5.000.000 bahkan lebih dari hasil kebun itu. Selain membiayai kebutuhan rumah tangga, hasil kebun tersebut dimanfaatkan untuk membiayai pendidikan anak-anak dan menabung.

Blasius juga tidak pernah menerima sumbangan BLT, PKH dan beberapa jenis bantuan pemerintah lainnya. Hal inilah yang mendorong dirinya bekerja keras membiayai kebutuhan keluarga di kebun sayur.

Hidup dan Bangkit bersama Orang Miskin

Di sela-sela kesibukan memperhatikan aktivitas para petani dan berbincang-bincang dengan Blasius, penulis dikagetkan oleh kehadiran seorang pria berperawakan sederhana dengan Dialek Batak kental. Nada suaranya tegas. Ia menawarkan sebatang rokok kepada penulis. 

Rupanya pria tersebut adalah seorang biarawan. Tak pernah terbersit di pikiran bahwa pria yang di hadapan penulis adalah seorang biarawan.

Raut wajahnya tak menampakkan sedikitpun raut seorang biarawan. Pertama kali hadir di kebun itu, penulis mengira yang bersangkutan adalah petani Dusun Banopo. Namanya, Frater Herman Ginting OFMConv.

Penampilannya sangat sederhana tanpa alas kaki. Mengenakan celana pendek yang sudah usang dipadu baju putih. Tumit telapak kakinya pecah-pecah karena setiap hari bekerja di kebun.

Sambil menyulut sebatang rokok yang ditawarkan, penulis mendengarkan kisah-kisah inspiratif yang keluar dari mulut  pria berusia 50 tahun itu. Ia biasa dipanggil Frater Herman.

Frater Herman pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Timor pada tahun 2017. Saat itu, musim kemarau panjang dan kondisi lingkungan di Dusun Banopo gersang. Sementara lahan di wilayah itu yang tidak digarap sangat luas. 

Bertolak pada latar belakang keluarga yang "berkecukupan", Frater Herman menilai pada umumnya Umat Dusun Banopo hidup dalam belenggu kemiskinan. Secara kasat mata, gambaran paling realistis menilai hal ini adalah kondisi rumah mereka yang pada umumnya terbuat dari bebak (pelepah daun lontar yang diiris rapi dan disusun rapat menjadi dinding). Ketika pertama kali hidup dan berada bersama mereka, kondisi keterbatasan umat kian nampak. 

Banyak sekali umat Dusun Banopo merantau ke luar Pulau Timor. Meskipun demikian, kondisi mereka tidak berubah ketika pulang ke kampung halaman.

Seiring berjalannya waktu, sebuah fenomena kemudian menggelitik hati dan pikiran Frater Herman. Seorang pria yang biasa dipanggil Eja menjual sayur ke Dusun Banopo. Eja terkenal sebagai pedagang sayur yang mana dia tidak memiliki lahan untuk menanam sayur.

Didorong oleh fenomena ini, Frater Herman kemudian mengajak umat setempat menanam sayur dan berkebun di lahan mereka. Ia juga menyampaikan, apabila masyarakat setempat serius menekuni pertanian dipastikan maka mereka akan sukses. Pada awal menekuni dunia pertanian, Frater Herman tidak memiliki modal. Dia memanfaatkan sumber daya alam di sekitar Dusun Banopo.

Ia kemudian mengajak beberapa orang umat menyusuri hutan dan padang di sekitar wilayah itu untuk mengumpulkan kotoran sapi. Mereka juga membuat Pupuk Kompos dari Daun Gamal, Sufmuti atau lebih dikenal dengan nama Daun Balakacida (Chromolaena odorata) dan dicampur dengan beberapa jenis daun lainnya. Dengan memanfaatkan salah satu bidang tanah yang dikontrak dari warga, kebun sayur pertama membuahkan hasil.

Halaman
1234

Berita Terkini