POS-KUPANG.COM, KUPANG - Hasil penilaian Komisi Informasi (KI) Provinsi NTT terhadap puluhan Lembaga Publik (LP) di Provinsi NTT selama empat tahun terakhir menyebutkan, keterbukaan informasi publik (KIP) di lingkup Pemprop NTT tergolong parah.
Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi dan implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik dan Standar Layanan Informasi Publik (SLIP), minimnya kualitas SDM serta minimnya pengawasan dan tindakan terhadap LP.
Hal ini terungkap dalam Briefing Media yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) NTT bersama Indonesia Coruption Watch (ICW), Jumat (15/12) siang, di Kupang.
Kegiatan ini dilakukan untuk menyampaikan hasil penelitian terkait ketebrukaan informasi publik yang dilakukan LBH APIK NTT atas kerjasama dengan ICW terhadap 3 OPD di Provinsi NTT.
Hadir dalam kegiatan itu, Devisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesia Corruption Watch ICW Almas Sjafrina, Direktris LBH APIK NTT Ansi Rihi Dara SH, bersama tim peneliti Dany Manu dan Adelaide Ratu Kore, Wakil Ketua KI NTT Germanus Atawuwur serta sejumlah wartawan.
Dalam pertemuan itu Wakil Ketua KI NTT, Germanus Atawuwur menjelaskan lahirnya UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Indonesia Publik (KIP) dan Peraturan Komisi Informasi (PerKI) No 1 tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP). Germanus juga menjelaskan peran, fungsi dan hal yang sudah dilakukan KI NTT sejak terbentuk di NTT tanggal 28 Agstus 2019 lalu.
Baca juga: Pemkab Rote Ndao Hadirkan Layanan Informasi Publik Berbasis Aplikasi Website dengan Domain PPID
Dijelaskannya, lima komisioner KI telah banyak melakukan berbagai kegiatan meskipun banyak juga kendala yang dihadapi.
"Seharusnya sesuai UU 14/2008 tentang KIP, maka KI NTT mesti dibentuk tahun 2010. Namun baru sembilan tahun kemudian KI NTT terbentuk. Terlambat sembilan tahun, membuat KI NTT berlari kencang agar dapat berada sejajar dengan KI di provinsi lain," ungkapnya.
Menurutnya, KI NTT telah menerima, memeriksa, dan memutuskan 5 sengketa informasi publik (IP) termasuk melakukan pengawalan dan pengawasan imipementasi KIP. KI NTT juga sudah melaksanakan Monev dan penganugerahan KIP kepada BP se-Provinsi NTT untuk PerKi Nomor 5 tahun 2016 dengan indikator penilaian yakni pengembangan website, pengumuman IP, Pelayanan Permohonan IP, penyediaan Pengelolaan IP dan dokumentasi, komitmen serta koordinasi dan inovasi.
"Indikator ini kemudian dibreakdown dalam 65 variable penilaian," katanya.
Sebanyak 190 BP di NTT itu terdiri dari BP vertikal, BP lingkup Provinsi dan Kabupaten/Kota, penyelenggara Pemilu, Partai Politik, LSM Lokal dan Internasional, Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, BUMN dan BUMD.
Pertimbangan penilaian dan pemeringkatan BP pasca monev terkait Keadilan, Obyektifitas, Akuntabilitas, Keterbukaan, Berkelanjutan dan Efisiensi. Sedangkan untuk perubahan indikator penilaian sesuai PerKI No. 1 Tahun 2022 menyangkut Kualitas Informasi, Sarana dan Prasarana, Jenis Informasi, Komitmen Organisasi, Inovasi dan Strategi dan Digitalisasi.
Hasilnya, di tahun 2021, 2022 dan 2023, masih banyak LP yang belum cukup terbuka dalam memberikan informasi kepada publik. "Kesimpulannya, keterbukaan informasi publik (KIP) di NTT masih tergolong parah," tegas Germanus.
Padahal, tegas Germanus, KI NTT telah melakukan sosialisasi UU KIP dan SLIP secara langsung serta melalui media seperti elektronik atau dan media online. Termasuk penandatanganan kerjasama dengan PTN dan Swasta, termasuk Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tahun 2021, Universitas Nusa Cendana Tahun 2022, Universitas PGRI 1945 Tahun 2023, Universitas Muhamadya Tahun 2023.
Juga kerjasama dengan KPU Provinsi NTT dan Bawaslu Provinsi NTT. Sosialisasi juga dilakukan dengan menggelar lomba pidato antar mahasiswa se-Kota Kupang, dimana pada tahun Tahun 2022 ada 20 peserta dari 6 PTN dan Swasta, sedangkan Tahun 2023 ada 22 peserta dari 8 PTN dan Swasta.
Germanus mengaku, apa yang dilakukan KI NTT belum maksimal sebab banyak kendala yang dihadapi. Kendala eksternal yakni terkait peraturan itu sendiri, pelemahan secara Sistemik KI oleh UU KIP, khususnya Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (4) tentang Kesekretariatan dan ayat (6) tentang Anggaran. Belum ada perda di kabupaten/kota, hingga lemahnya political will. "Tidak ada sinkronisasi daftar IP dan Daftar IP yang dikecualikan oleh yang dikeluarkan oleh Keputusan Gubernur Nomor 20/2021. Bahkan kebanyakan PPID di OPD lingkup Pemprov belum berfungsi sesuai amanat UU KIP," jelas Germanus.
Baca juga: Pemkab Sabu Raijua Gelar Bimtek PPID, Tingkatkan Pelayanan Informasi Publik
Selain itu, kendala internal yakni KI NTT masih minimnya sarana dan prasarana kantor. "Kami masih menggunakan pinjam pakai tiga ruangan Kantor Kominfo NTT," katanya. Belum lagi minimnya tenaga kesekretariatan sehingga staf mesti berperan ganda. "Tenaga sekretariatan kurang, kami berperan ganda, antar surat. Komisoner tidak hanya bekerja di belakang meja tapi juga kerja di jalan-jalan," ungkapnya.
Bahkan majelis komisioner dan mediator juga belum memiliki kapastitas yang maksimal. "Kami butuh penguatan kapasitas untuk Majelis Komisioner dan Mediator dan Penyusunan Putusan Sidang. Selama ini dalam menyelesaikan sengketa KI, kami belajar sendiri, autodidak atau learning by doing and doing by learning dalam rangka penguatan kapasitas kami," katanya.
Termasuk kendala klasik yakni minimnya anggaran. "Solusinya, kami melakukan pendekatan politis kepada Ketua dan Komisi I DPRD serta kepada Ketua TAPD, Sekretaris Daerah," kata Germanus.
Germanus berharap, ada rekomendasi yang bisa mendukung peningkatan implementasi UU KIP dan PerKI SLIP. Sekaligus bisa meningkatkan kapasitas SDM KI NTT. Germanus juga berharap kedepannya, ICW dan LBH APIK NTT bisa mendukung upaya terbaik untuk mengimplementasikan UU KIP dan PerKI SLIP di NTT, hingga peningkatan SDM KI NTT.
Sejumlah wartawan mengungkapkan, selama ini mereka kesulitan ketika ingin mengakses informasi publik terkait data-data dari sejumlah instansi pemerintah dan swasta. Jangankan untuk mendapatkan data dokumentasi atau data terkait anggaran proyek, untuk mewawancarai sejumlah kepada dinas, isntansi pemeirntah saja, tidak sedikit wartawan yang ditolak dengan berbagai alasan. "Jangankan minta data dokumen, untuk mewawancarai narasumber pejabat saja seringkali kami sulit diterima," kata Glori, wartawan dari salah satu media online di Kupang.
Terhadap keluhan warawan tersebut, Germanus mengatakan, kedepan masyarakat dan pers diharapkan terus gencar mengawasi pembangunan daerah dan ikut mengawasi kinerja lembaga publik yang menangani proyek-proyek fisik. Sebab masyarakat punya hak untuk mendapatkan informasi publik terkait data dokumen, proyek dan anggaran dari lembaga publik pemerintah dan swasta di NTT.
Bahkan tanpa diminta, demikian Germanus, sesuai UU KIP dan PerKI SLIP, lembaga publik dimaksud harus memberikan mengumumkan data itu secara berkala minimal 6 bulan sekali. Karena itu, jika ada lembaga publik yang menolak memberikan informasi publik kepada masyarakat atau pers, maka hal itu bsa disengketakan dan diadukan pada KI NTT.
"Jika Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan dan menerbitkan informasi publik secara berkala dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 5 juta," kata Germanus. (vel)
LBH APIK Teliti 3 OPD
Direktris LBH APIK NTT, Ansi Rihi Dara mengatakan, penelitian yang dilakuan LBH APIK terhadap 3 OPD ini merupakan bagian dari kerjasama LBH APIK dengan ICW untuk melihat sejauhmana implementasi UU KIP dan PerKI SLIP di NTT. Dua peneliti LBH APIK yakni Dany Manu dan Adelaide Ratu Kore melakukan penelitian selama hampir 6 bulan pada 3 OPD melalui pejabat pengelola infomasi dokumentasi (PPID) Utama yaitu PPID Provinsi NTT dan Kota Kupang.
Yakni Dinas PUPR Provinsi NTT khususnya, peningkatan Jalan Bokong - Lelogama (Segmen 4) TA 2019. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTT, khususnya belanja ternak/ bibit ternak yakni benih ikan atau sarpras budidaya fin fish. Serta Dinas Kesehatan Kota Kupang yakni pengadaan bahan PMT pemulihan bagi balita gizi buruk.
Saat penelitian, Peneliti meminta dokumen yang meliput kontrak/ perjanjian kerja sama, kerangka acuan kerja, berita acara pemeriksaan hasil pekerjaan. "Keempat dokumen yang diminta ini merupakan dokumen yang sebenarnya wajib diberikan kepada publik, didasarkan UU KIP dan SLIP," katanya.
Hasilnya, jelas Ansi, DKP NTT memberikan dokumen publik yang diminta sesuai dengan durasi waktu yaitu 10 hari Kerja. "Sementara Dinkes Kota juga memberikan dokumen secara lengkap namun dengan proses yang lumayan lama dikarenakan adanya ketakutan penyalahan gunaan dokumen serta dibutuhkan beberapa klarifikasi terlebih dahulu. Sedangkan Dinas PUPR NTT memberikan dokumen secara lengkap setelah adanya mediasi sengketa informasi publik di KIP," ungkap Ansi.
Hasil penelitian tersebut, diberikan rekomendasi demi meningkatkan implementasi KIP. Pertama, rekomendasi berupa optimalisasi portal informasi publik yang aksesibel, yakni menyempurnakan dan memastikan portal IP yang lebih responsif dan aksesibel bagi semua, termasuk penyandang disabilitas. "Hal ini termasuk perubahan format dokumen agar sesuai dengan standar aksesibilitas difabel," katanya.
Kedua, pembuatan SOP mekanisme layanan informasi, perlu adanya standar operasional prosedur (SOP) yang jelas terkait mekanisme layanan IP. SOP ini akan membantu memastikan bahwa setiap tahap proses layanan informasi berjalan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Baca juga: 96 Badan Publik Terima Penghargaan Keterbukaan Informasi Publik
Ketiga, revisi kebijakan yang selaras dengan standar layanan dengan cara melakukan revisi kebijakan, terutama mengganti Pergub 20/2021 dengan KepGub yang lebih selaras dengan PerKI 1/2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Revisi ini penting untuk memastikan bahwa regulasi yang ada sejalan dengan standar pelayanan informasi publik yang diberlakukan.
Keempat, penguatan kapasitas bagi SDM seperti melakukan penguatan kapasitas bagi semua pihak terkait, termasuk PPID Utama, PPID pelaksana, tim Pertimbangan, dan atau petugas pelayanan informasi publik. Pelatihan dan pendampingan perlu diberikan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan terkait layanan informasi publik.
"Dengan peningkatan keterbukaan informasi publik bagi semua lapisan masyarakat maka akan membawa dampak positif dalam mendukung partisipasi masyarakat serta memperkuat prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah," katanya.
Peneliti Dany menambahkan, tantangan yang dihadapi mereka seperti portal pengajuan permohonan tersedia, namun belum mendukung pengajuan keberatan. Juga, ketidaksesuaian perhitungan durasi permohonan informasi public sebagaimana yang diamanatkan oleh UU KIP. "Lambatnya respon dan koordinasi antara PPID dan dinas terkait dikarenakan beberapa PPID yang baru terbentuk sehingga masih dalam masa penyempurnaan, dokumen PBJ di PerKI tidak selaras dengan praktik lapangan dikarenakan banyak dokumen contohnya berita acara pemeriksaan hasil pekerjaan yang digabung dengan laporan penyelesaian pekerjaan," kata Dany.
Ada juga pejabat, OPD yang enggan memberikan dokumen dan belum menerapkan UU KIP. Format hardcopy dan tidak ramah difabel dikarenakan file yang diterima oleh badan publik pun berupa hard copy saja. "Koordinasi tidak efektif dan keengganan memberikan dokumen. Serta produk kebijakan yang bertentangan dengan semangat KIP yakni SK Gubernur No.37/HK/2020 yang mengklasifikasikan jenis dokumen BPJ dikecualikan," jelas Dany. (vel)
30 Kasus Korupsi di NTT
DEVISI Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi ICW, Almas Sjafrina menjelaskan perjuangan dan peran ICW dalam memastikan implementasi UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Peraturan Komisi Informasi (PerKI) No 1 tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP), di seluruh Indonesia termasuk di NTT.
"Ini advokasi panjang ICW dari tahun 2011. Sebab, kami cermati ada banyak sekali kasus korupsi di Indonesia berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa (BJ). Dan sebanyak 48 persen kasus koruspsi yang ditangani aparat penegak hukum berkaitan dengan BJ," jelas Almas.
Kajian tahun 2020 tentang trend penindakan kasus korupsi, demikian Almas, NTT masuk tiga besar sebagai daerah provinsi yang penindakan jumlah kasus korupsinya banyak. "Tapi dengan data ini tidak bisa serta merta menyimpulkan bahwa NTT adalah daerah paling korup. Karena bisa jadi urutan NTT ke 3 itu terjadi karena masyarakat atau tokoh publik telah aktif melaporkan kasus korupsi atau karena adanya komitmen APH dalam pemberantasan korupsi," katanya.
Dirincikan Almas, dari 30 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 22,79 miliar itu, sebanyak 17 kasus itu lebih dari 60 persen terkait pengadaan BJ. Kasus dimaksud yakni jaringan irigasi di TTU, Alkes di RSU TTU, Pembangunan gedung Dinas Dukcapil, Kapal Penisi lembara dan BJ sekot pendidikan. "Melihat data ini, kita sangat miris. Anggaran pemerintah cukup pesar untuk pelayanan publik, pendidikan, kesehatan tapi di dalamnya terjadi korupsi," katanya.
Lebh lanjut lmas merincikan, dari 34 provinsi di Indonesia, ada 579 kasus korupsi yang ditangani aparat penegah hukum. Total Kerugian negaranya sebesar Rp 42.747.547.825.049, Suap dan Pungli Rp 705.282.920.034 dan Pencucian Uang Rp 955.980.000.000.
Untuk mencegah korupsi, menurut Almas, tidak cukup hanya dengan melakukan penindakan. Tapi mesti juga dilakukan pengawasan publik terkait pengawalan pengadaan BJ. Dan syarat utama agar publik bisa mengawasi pengadaan BJ yakni badan publik mesti transparan dalam memberikan informasi publik dan infromasi publik itu harus mudah diakses oleh publik termasuk pers.
"Karena jika pengadaan BJ dilakukan sembunyi-sembuyni maka publik sulit mengetahui dan sulit mengawasi. Padahal UU sudha menyebutkan bahwa publik berhak mengetahui informasi terkait dokumen, rekanan, informasi kontrak hingga fisik proyek yang diadakan. Dengan demikian masyarakat bisa ikut mengecek ketika proyek sudah selesai," kata Almas.
Baca juga: Gelar Media Gathering, Dinas Kominfo Sumba Timur Sinergi Pemberitaan Informasi Publik
Karena itu, Almas berharap Komisi Informasi (KI) NTT, LBH APIK, Pers dan masyarakat bisa bersama-sama ikut mengawasi lembaga publik dan tahu haknya untuk mendapatkan informasi publik itu. Jika ada lembaga publik yang tidak terbuka dan menghalang-halangi dengan tidak memberikan informasi publik yang diminta oleh masyarakat, maka lembaga publik itu bisa ditindak, dilaporkan ke KI NTT.
Lebih jauh Almas menjelaskan, untuk melihat sejauhmana implementasi UU KIP dan PerKI SLIP di masyarakat, ICW melakukan penelitian di berbagai wilayah di Indonesia seperti Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Serta di Provinsi NTT dengan menggandeng LBH APIK NTT untuk melakukan asesmen.
"Tujuannya tidak hanya untuk mengidentifikasi kemajuan pelaksanaan KIP dan SLIP, tetapi juga untuk mengidentifikasi potensi masalah dan memberikan rekomendasi konstruktif guna mendorong adanya penguatan transparansi di pemerintah. Inisiatif juga melibatkan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap keterbukaan informasi PBJ," kata Almas.
Almas berharap kedepan, lembaga publik bisa memberi akses informasi yang memadai kepada masyarakat dan pihak yang membutuhkan termasuk pers sebab hal itu sudah diatur dan dijamin dalam UU KIP dan SLIP. (vel)
Anugerah Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2022
Badan publik : 110
Informatif: 7/49
Menuju informatif: 12
Cukup informatif : 24
Kurang informatif: 18
Tidak informatif: 9
Tidak tahu : -
Keterangan: -
Anugerah Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2023
Badan PUblik : 96
Informatif : 11/56
Menuju informatif: 5/65
Cukup informatif : 9/16
Kurang informatif: 5/6
Tidak informatif: 2/2
Tidak tahu : 6
Keterangan: Terlambat kembalikan SAQ
Sidang Sengketa KI di NTT :
Tahun 2020 : KNPI Vs Badan Pertanahan Kota Kupang
Tahun 2021 : Achmat Bumi Vs Polres Kabupaten Lembata
Tahun 2022 : Lembaga Pemantau Keuangan Negara (PKN) Vs Pemkab Mabar
Tahun 2023 : Bengkel APPek Vs 11 Parpol tingkat Provinsi
Tahun 2023 : LBH APIK Vs Pemerintah Provinsi NTT (Dinas PUPR)
Data Korupsi di Indonesia Tahun 2022
Jawa Timur : 57 kasus
Kerugian Negara : Rp 54.017.332.070
Suap dan Pungli Rp 37.972.800.000
Jawa Barat : 33
Kerugian Negara : Rp 197. 946.272.982
Suap dan Pungli Rp 9.817.000.000
Nusa Tenggara Timur : 30
Kerugian Negara : Rp 22.792.268.183
Suap dan Pungli : Rp 2.415.000.000.
Aceh : 28
Kerugian Negara Rp 88.449.238.949
Sumatera Selatan : 28 kasus
Kerugian Negara : Rp 50.478.205.863
Suap dan Pungli Rp 392.300.000
Pencucian Uang Rp 700.000.000.000
Jawa Timur : 57 kasus
Jawa Barat : 33
Nusa Tenggara Timur : 30
Aceh : 28
Sumatera Selatan : 28 kasus
Provinsi Jawa Tengah : 19
Kalimantan Barat : 18
Sulawesi Tenggara : 17
Bali : 17
Maluku Utara : 17
Kalimantan Tengah : 17
Sulawesi Utara : 15
Lampung : 14
Kepulauan Riau : 14
Kalimantan Selatan 13
Kalimantan Timur : 13
Sulawesi Selatan : 13
Sumatera Barat : 12
Kepulauan Bangka Belitung : 12
Papua : 11
Jambi : 11
Sulawesi Barat : 11
Maluku : 11
Banten : 10
Sulawesi Tengah : 10
Nusa Tenggara Barat : 10
DKI Jakarta : 8
DI Yogyakarta : 8
Papua Barat : 8
Kalimantan Utara : 6
Gorontalo : 6
Total Kasus 579
Kerugian Negara Rp 42.747.547.825.049
Suap dan Pungli Rp 705.282.920.034
Pencucian Uang Rp 955.980.000.000