POS-KUPANG.COM - Pembangunan kesehatan merupakan bagian penting dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional.
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta memiliki perencanaan kesehatan dan pembiayaan terpadu dengan justifikasi kuat danlogis yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang valid.
Surveilans epidemiologi merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyaki atau masalah- masalah kesehatan.
Surveilans epidemiologi dilaksanakan dengan dua cara yaitu aktif dan pasif. Surveilans pasif berupa pengumpulan keterangan tentang kejadian penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.
Sementara surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans yang telah ditugaskan yang berasal dari Institusi kesehatan (Puskesmas atau Dinas Kesehatan) untuk pengumpulan data kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indek.
Baca juga: Puskesmas Alak Catat 3 Kasus Demam Berdarah Selama Bulan Januari 2023
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggung jawab itu.
Data, informasi, dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upanya peningkatan program kesehatan, pusat- pusat penelitian dan pusat-pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi.
Pada tahun 2020, angka kesakitan DBD di Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 107,7 per 100.000 penduduk. Secara nasional NTT berada di urutan kedua tertinggi setelah Bali 273,1 per 100.000 penduduk.
Dalam Triwulan I tahun 2020, Dinkes Propinsi NTT mencatat sebanyak 3.109 kasus DBD dengan angka kematian sebesar 37 orang. Kota Kupang menjadi salah satu daerah yang memiliki incidence rate DBD di atas toleransi ambang batas Angka Kesakitan DBD (50 per 100.000 penduduk).
Salah satu Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Kupang yang mengalami peningkatan jumlah penderita DBD pada tahun 2022 adalah Puskesmas Sikumana. Beberapa kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Sikumana merupakan daerah endemis DBD.
Pada tahun 2022, terdapat 82 penderita DBD, dengan 1 kasus kematian. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (2021) dan kemungkinan masih terdapat kasus DBD di masyarakat yang tidak terlaporkan ke Puskesmas.
Baca juga: Cegah Demam Berdarah, Lurah Bakunase Bersama Warga Kerja Bakti
Berikut adalah analisis pola kasus Demam Berdarah dilaksanakan menurut variabel orang yaitu umur dan jenis kelamin yang bertujuan
untuk mengetahui populasi mana yang lebih berisiko menderita demam berdarah.
1. Pola Kasus Demam Berdarah Menurut Umur
Gambar 1 menunjukkan bahwa mayoritas penderita Demam Berdarah berada pada kelompok umur 5-9 tahun yaitu sebesar 45,12 persen 37kasus).
Kelompok umur 1-4 tahun memiliki jumlah penderita DBD terbanyak kedua yaitu sebesar 19,51 % (16 kasus). Jumlah penderita DBD pada kelompok umur 10-14 tahun sebesar 15,85 % (13 kasus).
Baca juga: Perangi Demam Berdarah Dengue, Lurah Oesapa Ajak Masyarakat Jaga Kebersihan