Opini

Opini Yohanes Mau: Memonitoring Politisi Menjaring Pemimpin Berkualitas

Editor: Alfons Nedabang
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Pemilu. Yohanes Mau menulis opini Memonitoring Politisi Menjaring Pemimpin Berkualitas.

Jadi, jangan pernah merasa nyaman dengan aktivitas curi. Membiarkan orang-orang kecil sengsara dan mencuri apa yang menjadi jatah mereka.

Menghadapi realitas negeri yang sangat suram ini lantas siapakah yang akan bertanggung jawab? Negeri dan segala kesejahteraannya adalah tanggung jawab negara dan semua anak negeri.

Anak negeri yang berpendidikan tidak boleh diam seribu bahasa menyaksikan sandiwara-sandiwara politik gagal paham yang dilakonkan oleh para politisi musiman.

Artinya kaum intelektual yang ada di masyarakat mesti berusaha untuk membaca gerakan-gerakan para politisi yang datang dan pergi hanya mampu tinggalkan janji namun tak mampu menjejakkan kaki lewat pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di tengah masyarakat.

Baca juga: Opini Dony Kleden: Sesat Pikir Politik Pendidikan di NTT

Memonitoring akan kaum politisi adalah cara menjaring pemimpin berkualitas untuk mengabdi dan menuntun masyarakat kepada bahagia yang membebaskan.

Politik itu adalah sarana yang hadir untuk memerdekakan manusia bukan menyengsarakan yang sudah sengsara sedari zaman penjajahan. Maka para kaum intelektual yang sedang berkeliaran di tengah masyarakat tunjukkan dirimu bahwa hadir anda itu berguna bagi kemajuan menuju masyarakat yang utuh.

Tunjukkan bahwa anda yang berlabel titel sarjana itu memiliki sesuatu untuk bangun negeri ini berawal dari tanah tempat lahirmu.

Saya menulis ini karena ada rasa gelisah dengan keluhan dari masyarakat di Belu Utara, NTT yang sempat saya jumpai saat liburan beberapa bulan lalu.

Mereka mengeluh katanya, “Kami ini belum mengalami merdeka. Jalan raya ini belum diaspal sejak zaman nenek moyang sebelum datangnya penjajah Belanda nuansanya masih seperti ini. Padahal sudah banyak para politikus yang keluar masuk di daerah ini namun hanya tinggalkan janji saja. Mereka datang ukur jalan ini setiap tahun tapi tidak ada pelaksanaan pembangunan untuk menjadi aspal. Maka untuk apa masih ada pesta demokrasi dan pergantian pimpinan setiap musim namun tidak ada perubahan untuk kami. Apakah kami ini bukan warga negara Indonesia? “

Sedih dan sungguh merasa sedih. Andai saja saya terpanggil untuk tugas mulia ini maka saya akan menjalankan amanah rakyat kecil dengan sebaik-baiknya. Andai saja mereka memilih saya sebagai perpanjangan tangan kasih mereka maka saya akan menjamah mereka hingga yang terdalam. Andai saja mereka masih ada hati untuk saya menjadi pelayan mereka maka saya akan melayani mereka dengan setuntas-tuntasnya.

Baca juga: Opini Albertus Muda, S.Ag: Revolusi Diri Wakil Rakyat

Saya akan berusaha melayani mereka dengan mendahulukan yang terakhir. Jika saat itu datang maka saya siap untuk mengabdi masyarakat kecilku yang hidup sengsara oleh karena penipuan para politisi musiman yang rakus dan tamak tanpa kasihan sedikit pun terhadap realitas miskin yang sedang menggurita di negeri ini.

Masyarakat kecilku yang terkasih, teruslah kuatkan hati. Jika pesta demokrasi itu datang lagi, berikanlah suaramu kepada figur yang menurut anda tepat dan layak untuk membangun negeri ini.

Jangan memberikan suaramu karena telah dibelih dengan uang dan material karena itu hanya akan merusak negeri ini makin parah. Tatalah negeri ini dengan baik demi anak-anak cucu selanjutnya. Biarkan mereka berkisah bahwa yang terbaik hari ini adalah warisan dari generasi terdahulu.

Berdasarkan observasi lapangan selama beberapa bulan berada di Belu Utara, NTT, Indonesia, saya melihat dan merasakan bahwa masyarakat di sana semakin menderita dampak dari politik musiman yang dilakonkan politisi musiman. Harapan dan janji para politikus tak terealisasi hingga masyarakat kecil menanti dalam ketidakpastian.

Lantas untuk apa tampil atas nama masyarakat kecil? Kalau hanya memenuhi jajaran kepemerintahan yang ada tapi minus kreatif. Jika saya pada posisi demikian maka lebih baik dengan rendah hati menepuk dada dan minta berhenti.

Baca juga: Opini Yahya Ado: Seandainya Saya Gubernur NTT

Halaman
123

Berita Terkini