Keempat, menggurui. Sikap yang menyebabkan hilangnya ketertarikan peserta didik terhadap guru dan orang orangtua.
Selain kelima kesalahan di atas, ada pula kesalahan kelima, memaksa. Keenam, marah berlebihan. Sikap ini membuat anak bingung bahkan terlukai perasaannya.
Ketujuh, meremehkan/memberi cap. Tindakan ini menyebakan anak merasa rendah diri. Kedelapan, menjebak. Kesembilan, mencari kambing hitam. Kesepuluh, hukuman fisik.
Kesalahan-kesalahan di atas, tentu sangat membelenggu suasana pendidikan dan pengajaran kita. Oleh karenanya, guru dan orangtua hendaknya menyadari sesegera mungkin agar berusaha mengembalikan suasana pendidikan dan pengajaran ke arah yang membebaskan dan memerdekakan.
Suasana yang memberi rasa aman dan menyenangkan pada anak agar mengalami suasana belajar yang merdeka, belajar tanpa tekanan.
Baca juga: Opini Bernadus Badj: Konsep Pembangun dalam Perspektif Peter L Berger
Jalan Keluar Bersama
Berhadapan dengan kekerasan dan kesalahan pendisiplinan di atas, maka perlu dicari jalan keluar bersama. Henry Nouwen (1986) menawarkan beberapa bentuk pengajaran sebagai solusi bagi pengajaran yang membebaskan.
Pertama, evokatif. Artinya guru dan murid hendaknya berupaya membangkitkan kemampuan yang mereka miliki dan menjadikannya tersedia bagi satu sama lain.
Dalam konteks ini, peserta didik mesti memberi ruang bagi guru menjadi gurunya dalam menawarkan pengalaman hidupnya sebaliknya peserta didik.
Kedua, pengajaran dialogis. Di sini bukan hanya murid yang belajar dari guru, akan tetapi sebaliknya guru juga harus membuka diri belajar dari murid.
Ketiga, mengaktualisasikan. Jika belajar merupakan persiapan untuk masa depan, maka perwujudannya mesti konkrit dimulai dalam pengajaran kini dan di sini. Dengan kata lain, belajar yang kontekstual.
Sekolah mesti menjadi tempat di mana persaudaraan sejati dirajut. Hidup bersama tanpa rasa takut mesti mekar dalam diri anak.
Belajar mesti didasarkan pada pertukaran pengalaman dan gagasan kreatif. Jika demikian, maka anak yang telah menamatkan sekolahnya tentu akan memiliki keinginan yang semakin besar untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Mendidik dan mengajar mesti menjadi jalan untuk menciptakan ruang dimana guru dan murid dapat berhubungan secara intens satu dengan yang lain. Belajar bukan hanya sekedar anak ke sekolah dan masuk ruang kelas.
Komunikasi mesti tetap dibangun di antara keduanya meskipun anak telah meninggalkan sekolah bahkan menamatkan sekolahnya. Belajar sesungguhnya merupakan proses yang menuntut kelanjutan dan tidak terbatas pada nilai dan gelar.
Baca juga: Opini Destan S Beis: Perlu Tindak Lanjut Iklim Ekstrem dan Bencana di Tahun 2022