POS-KUPANG.COM, KUPANG - KAWIN tangkap di Sumba, adalah praktik perkawinan yang dilakukan masyarakat adat Suku Sumba yang berawal dari tradisi atau prosesi adat sebagai prasyarat keberlangsungan pernikahan.
Menyikapi persoalan kawin tangkap khususnya di wilayah timur Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau Kemenpppa sudah melakukan beberapa upaya untuk menangani persoalan kawin tangkap.
Beberapa di antaranya, yaitu Temu Tokoh Adat se-Provinsi NTT (2017) yang dihadiri 50 tetua adat perwakilan 22 wilayah se-NTT, Gerakan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Praktik Adat Kawin Tangkap yang merupakan kesepakatan bersama Bupati Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya (2019), Nota Kesepahaman Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten se-daratan Sumba yang ditandatangani oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah se-daratan Sumba (2020), dan berbagai upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk mendorong Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) serta pembentukan Desa atau Kelurahan dan Kabupaten Layak Anak (2021).
Baca juga: Anisa Pohan Lantik Josefina Suki Jadi Ketua Srikandi Demokrat NTT
Pada bulan Oktober 2022 ini, Kemenpppa mengadakan Workshop Perlindungan Perempuan dan Anak bagi aparat penegak hukum, tokoh agama, tokoh masyarakat, forum anak, dan Organisasi Pemerhati Perempuan dan Anak di Daratan Sumba, dengan tujuan membangun kesadaran dan komitmen semua pihak akan pentingnya keberpihakan pada perempuan dan anak.
Save the Children sebagai fasilitator workshop ini, mengajak peserta untuk memahami fenomena gunung es permasalahan kawin tangkap, faktor resiko, faktor ketangguhan, dan faktor pelindung yang ada di Sumba. Workshop ini menghasilkan Deklarasi dan Pembentukan kelompok kerja (Pokja) yang anggotanya mewakili semua unsur pemangku kepentingan dari empat kabupaten se-daratan Sumba untuk melaksanakan rekomendasi dan memantau kemajuan perlindungan perempuan dan anak.
Pokja ini akan bekerja selama satu tahun ke depan untuk menindaklanjuti rekomendasi, yaitu workshop tahunan melibatkan semua stakeholders, pemerintah dan unsur-unsur masyarakat dan membahas serta memonitor progress perubahan yang dilakukan secara bergilir dari empat kabupaten, pelaksanaan lokakarya-lokakarya, musyawarah adat, pengesahan hasil musyawarah adat (dalam sumpah adat di mezbah adat) dalam merekonstruksi sosial budaya dimulai dengan pembahasan tentang belis melalui revitalisasi pemaknaan budaya Sumba, membuat Perda Perlindungan Anak di seluruh kabupaten di Sumba, mendirikan dan berfungsinya UPTD PPA di setiap kabupaten di daratan Sumba, pembuatan SOP manajemen kasus di seluruh kabupaten, termasuk dengan meningkatkan kompetensinya dan sistem rujukan, mendirikan Rumah Aman, Shelter, Rumah Singgah, Rumah perlindungan atau nama lain yang berfungsi (baik secara soft system maupun hard system) sebagai tempat perlindungan, keselamatan, dan pemulihan bagi anak dan perempuan yang menjadi korban serta pelaku anak di Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya.
Prinsip yang digunakan adalah konsolidasi dan partisipasi, termasuk pendanaan jangka panjang, meningkatkan kapasitas penyelenggara dan pelaksana perlindungan anak melalui pelatihan-pelatihan, peningkatan pengasuhan anak, baik melalui pelatihan maupun kampanye penyadaran, termasuk literasi digital. Juga bimbingan pranikah, peningkatan kemampuan ekonomi keluarga miskin (termasuk perempuan) dengan berjejaring dan kerja sama dengan mitra kompeten baik dengan pemerintah daerah, dunia usaha maupun LSM.
Baca juga: Pos Kupang Awards 2022, Dirut Bank NTT: Jadi Motivasi Untuk Kerja Lebih Cerdas
Dalam konteks perlindungan anak, Save the Children memiliki pedoman tentang CEFMU (Child, Early, Forced Marriage and Union) yang mendefinisikan perkawinan anak sebagai perkawinan formal atau informal di mana salah satu atau kedua pihak berusia di bawah 18 tahun.
Istilah pernikahan dini juga digunakan untuk menggambarkan situasi di mana setidaknya satu pihak berusia di bawah 18 tahun dan bagaimana pihak ini mengompromikan kemampuan untuk menyetujui pernikahan. Sedangkan istilah kawin paksa mengacu pada situasi di mana setidaknya satu pihak tidak tidak memberikan persetujuan penuh dan tidak diinformasikan, terlepas dari usianya.
Kawin paksa juga merujuk ke situasi di mana setidaknya satu pihak tidak dapat meninggalkan atau mengakhiri pernikahan.
CEFMU adalah pelanggaran berat hak asasi manusia dan mengakibatkan ancaman terhadap kesejahteraan jangka pendek dan jangka panjang anak-anak. Sebagai organisasi hak anak yang didedikasikan untuk memastikan semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk bertahan, belajar, dan hidup bebas dari kekerasan.
Save the Children menyadari bahwa tindakan mendesak diperlukan untuk mencegah dan menanggapi CEFMU. Kami berkomitmen untuk membela hak-hak anak yang paling terkena dampak oleh diskriminasi dan ketidaksetaraan.
Kami memrioritaskan memajukan kesetaraan gender, mendukung pemberdayaan perempuan, dan mengakhiri segala bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk CEFMU. Intervensi gender transformatif berkualitas tinggi di seluruh sektor (kesehatan, pendidikan, perlindungan) diperlukan untuk menangani masalah yang kompleks dan tantangan kritis seperti CEFMU.
Baca juga: KIP NTT Beri Penghargaan Bagi Badan Publik di NTT
Save the Children telah mengembangkan panduan praktis CEFMU untuk mendukung penguatan strategi pemrograman dan advokasi di seluruh gerakan kami untuk mencegah CEFMU dan untuk merespons konsekuensinya secara efektif.
Dalam kerja perlindungan perempuan dan anak, Save the Children sejak akhir tahun 2019 sampai saat ini, terus melakukan berbagai kegiatan dalam program gender dan perlindungan anak di Sumba. Dengan menggunakan pendekatan sosio ekologis ke berbagai lapisan masyarakat mulai dari tingkat individu sampai keluarga dan masyarakat luas termasuk bekerja sama dengan pemerintah daerah maupun pusat, Save the Children melakukan pelatihan gender di semua lapisan masyarakat, termasuk ke sekolah, pemerintah, dan tokoh agama serta tokoh adat.
Dalam rangka penguatan sistem perlindungan anak, Save the Children membentuk tim Perlindungan Anak Sekolah, pelatihan Manajemen Kasus, pembentukan PATBM, kampanye anti kekerasan anak (Festival Anti Kekerasan Terhadap Anak/FAKTA 2022) serta melakukan program parenting yang memromosikan keterlibatan ayah dalam pengasuhan melalui REAL Father Parenting Session dan Parenting without Violence atau Pengasuhan Tanpa Kekerasan.
REAL Father Parenting Session (Program Relawan Ayah Sejati) adalah program yang telah dilakukan oleh Save the Children di banyak negara, yang dikembangkan untuk Program Ayah Sejati di Uganda (2013).
Program ini bertujuan agar laki-laki sebagai ayah bisa memelajari komunikasi yang efektif dan memiliki keterampilan memecahkan masalah melalui lensa "maskulinitas positif." Ini adalah lensa yang mengakui sifat kepedulian laki-laki dan peran penting yang dapat mereka mainkan sebagai ayah dan mitra yang mendukung dalam pengasuhan anak. REAL Father di Sumba menggunakan 8 video pengantar sesi dan ada kunjungan rumah terhadap pasangan-pasangan keluarga muda di desa.
Keunggulan REAL Father adalah adanya sesi refleksi kehidupan ayah dan perasaannya menjadi ayah, serta dampak kehadiran ayah dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak.
Secara konsep, REAL Father juga digunakan dalam Parenting without Violence atau Pengasuhan tanpa Kekerasan, sebagai program yang menggabungkan tiga pendekatan, yaitu REAL Father (Ayah Sejati), Positive Discipline in Everyday Parenting (Displin Positif dalam Pengasuhan Keseharian), dan Children’s and Youth Resilience (Ketangguhan Anak dan Remaja).
Baca juga: Pos Kupang Awards 2022, Dirut Bank NTT: Jadi Motivasi Untuk Kerja Lebih Cerdas
Tujuan dari Pengasuhan tanpa Kekerasan adalah membantu membangun hubungan yang kuat antara anak dan orangtua serta pengasuhnya untuk menyelesaikan masalah bersama dan mencegah anak mengalami hukuman fisik atau memalukan di rumah.
Empat keunggulan program Pengasuhan tanpa Kekerasan bertujuan memberi orang tua dan pengasuh pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk mengasuh secara positif tanpa menggunakan kekerasan; memberdayakan anak baik anak perempuan maupun anak laki-laki sehingga mereka merasa dihargai, dihormati, dan aman dalam keluarga dan komunitas mereka; mendukung masyarakat agar mereka mau dan mampu secara adil melindungi anak perempuan dan anak laki-laki dari kekerasan; memerkuat sistem perlindungan anak yang adil dan peka gender.
Secara kesuluruhan, keberadaan program perlindungan perempuan dan anak berdampak pada turunnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumba Barat.
Berdasarkan data tahun 2021 dari Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP5A) terdapat 32 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan 32 kasus Kekerasan Terhadap Anak (KTA) meliputi kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, penelantaran, dan penganiayaan. Tiga dari 32 kekerasan terhadap anak terjadi pada anak laki-laki dalam bentuk kekerasan fisik.
Sebanyak 29b kasus menimpa anak perempuan, termasuk 19 pelecehan seksual, lima pemerkosaan, empat fisik, dan satu psikis. Sedangkan pada tahun 2020 tercatat 52 KTP dan 21 KTA; pada tahun 2019, jumlahnya 47 KTP dan 27 KTA, dengan kasus tertinggi adalah pelecehan seksual.
Data DP5A dan data SIMFONI PPA sejauh ini tidak mengungkap secara khusus jumlah kawin paksa, namun dari pemberitaan media dan juga siaran pers Kemenpppa, kasus kawin tangkap sudah didata oleh Kemenpppa dari empat wilayah yang ada di Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat, dan korban berusia antara 16-26 tahun (2020).
Sedangkan menurut data Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Sumba, ada tujuh kasus kawin tangkap yang terjadi sejak 2016 hingga Juni 2020 (Fanny et al., 2022).
Temuan riset Formative Gender Based Violence (GBV) atau Kekerasan Berbasis Gender yang dilakukan Save the Children 2021 terhadap 602 orang tua, 601 anak, 120 Guru, empat Kelompok FGD di Sumba Barat, dan empat Kelompok FGD di Sumba Tengah menunjukkan responden laki-laki (ayah) memiliki keyakinan identitas gender yang lebih kuat dibandingkan dengan perempuan (ibu), persepsi kesetaraan gender yang lebih baik ditemukan pada responden dengan upah minimum di atas 2.100.000, dan yang bekerja sebagai PNS atau aparat pemerintah desa, dan skor persepsi positif pada kesetaraan gender memiliki rata-rata 68,81 persen.
Penelitian ini juga mengkaji sifat dan bentuk, serta sejauh mana GBV dan praktik berbahaya terjadi di Sumba Barat dan Sumba Tengah, memahami norma-norma sosial dan gender serta determinan perilaku yang mendorong GBV dan praktik berbahaya, memetakan kearifan lokal yang paling relevan, regulasi, mekanisme, kapasitas, dan sumber daya yang menghambat pelaporan kasus GBV, dan mengidentifikasi rekomendasi dan solusi untuk mengatasi masalah GBV.
Temuan riset GBV riset ini juga menyebutkan 8 % anak, 26 % guru, dan 20 % orang tua menyatakan persepsinya tentang pengaruh kepercayaan budaya lokal terhadap terjadinya GBV, dan apakah ada budaya lokal yang mendorong kesetaraan gender.
Hasilnya menunjukkan 28 % orang tua, 9 % guru dan 17 % anak menyatakan ada praktik budaya lokal yang mendorong kesetaraan gender, yang memberikan harapan bahwa ada potensi praktik budaya yang bisa digali lebih dalam untuk mengurangi GBV dan mendorong kesetaraan gender.
Temuan norma sosial dan gender serta determinan perilaku pendorong GBV, antara lain kemarahan orang tua masih dilihat sebagai bentuk kasih sayang, kegiatan belis dan kawin tangkap, kebiasaan konsumsi alkohol menyebabkan kekerasan fisik khususnya pada laki-laki, kepercayaan bahwa laki-laki lebih kuat dan utama dalam memimpin keluarga, pemahaman istri harus melayani suami, pemisahan ruang adat berbasis gender.
Sedangkan temuan kendala yang dihadapi, yaitu ancaman pemerintah desa yang merasa didahului jika korban langsung melapor polisi, perasaan malu dan aib keluarga, tekanan dari pihak pelaku, tidak mengerti undang-undang yang mengatur kekerasan seksual, tidak ada pendampingan, dan kebanyakan kasus yang sudah dilaporkan pun berakhir dengan jalan damai.
Rekomendasi yang diajukan, antara lain sosialisasi dan edukasi tentang GBV dan dampaknya kepada seluruh keluarga dengan melibatkan tokoh adat di Sumba, modul penanganan GBV yang bekerja sama dengan pihak gereja oleh DP5A Sumba Barat, mendorong pihak desa dan lintas desa untuk membangun kesepakatan tentang aturan adat, transformasi paman sebagai fungsi otoritatif dalam perkawinan adat sebagai penasehat pencegahan GBV dalam rumah tangga
Ada layanan konseling untuk GBV di desa, penyuluhan kesehatan reproduksi dan narkoba untuk siswa SMP dan SMA, kolaborasi sekolah, Save the Children, dan Dinas Pendidikan kabupaten untuk mengembangkan pelajaran muatan lokal tentang kesadaran kesetaraan gender dan kaitannya dengan kebudayaan Sumba.
Temuan-temuan ini menunjukkan faktor-faktor resiko, faktor ketahanan, dan juga faktor-faktor pelindung yang bisa digali lebih dalam jika nantinya isu kawin tangkap akan ditangani secara strategis dalam langkah aksi yang sudah berbasis bukti semacam Pengasuhan tanpa Kekerasan ataupun praktik baik lainnya baik dari Save the Children maupun dari institusi lain dan juga dari pemerintah.
Riset yang dilakukan oleh para peneliti lain di luar Save the Children juga telah banyak mengkaji persoalan kawin tangkap ini.
Salah satu riset dari perspektif hukum menyebutkan kawin tangkap termasuk sebagai tindak kejahatan jika mengacu pada pasal hak asasi manusia dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi pada Perempuan (CEDAW) Pasal 16 ayat (1) yang telah diratifikasi melalui UU RI No.7 Tahun 1984, pasal 28G ayat (2) UUD 1945 tentang Hak atas Rasa Aman, Pasal 328 dan 333 KUHP tentang Penculikan dan Kurungan Paksa (lima tahun penjara), UU Perkawinan yang melarang penggunaan kekerasan dalam perkawinan (Dame Panjaitan Perlindungan Perempuan dan Anak et al., n.d.).
Dalam perspektif UU RI No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kawin tangkap secara paksa tidak sesuai dengan asas perkawinan yang bertujuan untuk menciptakan keluarga bahagia dan dan dapat dibatalkan secara hukum sesuai dengan Pasal 22 UU RI No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Dewi, 2022).
Terkait dengan dukungan untuk penegakan hukum yang dilakukan oleh Save the Children, melalui kegiatan pelatihan Manajemen Kasus dan Supervisi yang diikuti oleh pekerja sosial dan pendamping kasus di tingkat desa maupun kabupaten, alur penanganan dan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah dibentuk sampai ke teknis penyusunan Standar Operasional Prosedur.
Sejalan dengan program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Save the Children tengah melakukan sosialisasi SOP penanganan kasus ini di desa-desa, bersamaan dengan dilakukannya pengukuhan Desa Layak Anak oleh DP5A di Desa Kabukarudi dan Tebara, Kabupaten Sumba Barat.
Kegiatan ini digerakkan oleh Kelompok Peduli Anak (KPA) yang merupakan ujung tombak tim perlindungan anak yang ada di desa. KPA inilah yang juga akan menjadi motor utama untuk mewujudkan Gerakan PATBM di 74 desa di Sumba Barat pada tahun 2023.
Dari sisi budaya, salah satu penelitian di 2005 tentang adat Marapu yang ada di Sumba menyebutkan bahwa banyak penduduk asli Sumba yang menganut hukum adat Marapu dan di Kabupaten Sumba Barat berjumlah 78.901 jiwa (20,05 % ) dari total penduduk 393.475 jiwa dan 135.000 jiwa di Sumba Timur (Budianto & Karo Karo, n.d.).
Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa Marapu memiliki hukum adat yang dinilai positif, namun juga ada praktik penyimpangan yang kemudian bertentangan dengan hukum positif, misalnya melibatkan anak perempuan yang masih di bawah umur.
Untuk melakukan pendekatan dari sisi budaya terhadap tokoh-tokoh adat dan penduduk di kampung adat tempat berdiamnya suku-suku adat Marapu, DP5A bekerja sama dengan komunitas lintas agama dan Save the Children, melakukan pelatihan gender khusus untuk para tokoh adat dan tokoh agama.
Pelatihan ini berfokus pada upaya melakukan pendampingan kepada calon-calon keluarga muda atau pasangan yang akan menikah atau dinikahkan, dengan tujuan mengenalkan pemahaman terhadap bias gender yang terjadi dalam masyarakat Sumba.
Pelatihan yang dilakukan di akhir Oktober 2022 ini melibatkan tokoh agama dari berbagai lintas agama, dan juga tokoh adat (rato) dari delapan desa yang menjadi desa rintisan untuk desa layak anak.
Melalui program pelatihan gender semacam ini, selain untuk membuka ruang diskusi lebih banyak dari tokoh-tokoh adat dan tokoh agama, norma-norma sosial budaya yang masih bias gender bisa berkurang dan diganti oleh norma-norma serta praktik positif yang lebih mendukung kesetaraan gender.
Mereka-mereka yang telah mendapatkan pelatihan gender ini akan menjadi Juru Gender (gender champion), sebagai agen perubahan yang berkomitmen untuk terus menciptakan perubahan positif dalam kesetaraan dan keadilan gender.
Hasil dari pelatihan ini, para peserta berinisiatif membetuk Forum Peduli Gender dan berdasarkan temuan-temuan inilah, menjadi dasar kuat untuk terus dilakukannya berbagai program gender dan perlindungan anak di Sumba, yang dalam tahun 2022-2023 ini sudah menyiapkan beberapa rencana kegiatan bersama pemerintah kabupaten baik di Sumba Barat maupun Sumba Tengah.
Sesuai dengan hasil konsultasi Save the Children dengan perwakilan orang tua, tokoh masyarakat serta pemerintah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Tengah yang dilakukan akhir Agustus lalu dalam rangka menyusun program gender dan perlindungan anak 2023 menyebutkan bahwa kawin tangkap masih menjadi masalah yang perlu prioritas untuk dibahas bersama oleh seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dan yang bisa memberikan pemahaman serta solusi bersama untuk akar masalah budaya dan tradisi yang beririsan dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sejalan dengan program unggulan Kemenpppa untuk mewujudkan Three Ends yaitu End Violence Against Women and Children (Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak); End Human Trafficking (Akhiri Perdagangan Manusia), dan End Barriers to Economic Justice (Akhiri Kesenjangan Ekonomi terhadap Perempuan), dan Goal Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Nomor 5, maka mengakhiri kawin paksa akan mendukung tercapainya tujuan untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan di manapun, menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya, dan menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan. (*/oleh Retno Indrawati, Gender and Child Protection Specialist – Save the Children)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS