Memungut Sampah: Pertaruhan Harga Diri, Pengalaman Katekese di Lapas Perempuan Kupang (1)

Editor: Agustinus Sape
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Romo Siprianus S. Senda Pr, Ketua Komisi Kitab Suci Keuskupan Agung Kupang, saat memberikan pembekalan tentang materi katekese untuk Aksi Puasa Pembangunan (APP) 2022 kepada para Ketua KUB dan anggota seksi pewartaaan se-Stasi Santo Fransiskus Xaverius Naimata, Minggu 6 Maret 2022.

“Sebelum masuk penjara, saya juga sudah terbiasa pilih sampah tetapi tidak sama dengan yang saya lakukan di sini. Saya punya pengalaman yang tidak mungkin saya lupa. Saat saya laksanakan tugas angkat sampah, saya kira yang saya rau (ambil) adalah tisu yang sudah hancur. Ternyata itu dahak. Waktu itu baru mulai corona. Saya kaget sekali. Rasa takut juga. Namun dalam hati saya bilang, siapa suruh masuk penjara.”

Seorang ibu lagi mengungkapkan, di kantor tempat dia bekerja sebelumnya, demikian juga di rumah, pekerjaan itu lebih sering dilakukan orang lain yang diberi upah.

Namun di penjara, dia tidak punya pilihan lain. Dia menyadari bahwa status semua warga binaan sama. Dalam kondisi seperti ini, ada pertaruhan harga diri.

“Puji Tuhan karena memberi saya kekuatan sehingga bisa melalui hari-hari hidup di sini. Saya rasakan bahwa hanya dengan sikap rendah hati, saya sanggup pungut sampah sisa makanan yang sudah dipenuhi ulat. Tanpa kerendahan hati, mustahil saya dan teman-teman bisa kerja seperti ini,” katanya.

Bagi warga binaan di Lapas Perempuan Klas II Kupang, dan barangkali di tempat lain juga, persoalan sampah bukan hanya terkait kebersihan lingkungan, melainkan pula ada pertaruhan harga diri.

Cara pandang yang menempatkan harga diri pada kedudukan, kekayaan dan lain-lain yang “berasal dari dunia” pastinya memberi beban tambahan ketika harus memungut sampah dengan tangan telanjang.

Namun bagi orang beriman, tindakan demikian justru menjadi kesempatan memuliakan Tuhan karena telah turut serta dalam karya keselamatan-Nya.*

(bersambung)

Berita Terkini