Huki Wula dari Kantor Agama NTT minta teman KGS mengebangkan potensi diri sehingga menghapus stigma negative di masyarakat.
“Dengan berkarya, kalian akan lebih dihargai, hapus stigma dengan mengasah diri,” ajak Huki.
Huk berjanji akan terus melibatkan IMoF dan melalui tokoh agama akan menyampaikan lewat mimbar agama supaya bisa menghentikan stigma terhadap KGS.
“Mari kita bergandengan tangan karena kita semua adalah ciptaan TUhan terlepas daris emua yang ada,” kata Huki
Doktor Maria Theresia Dari Unika Widya Mandiri dan Ketua FKUB NTT menilai selama ini KGS memperjuangkan legitimasi social dan legitimasi hukum.
Legitimasi sosial menjadi perjuangan panjang untuk bisa diakui secara social dan legitimasi hukum untuk pengakuan normatif.
“Legitimasi hukum atau normatif berkaitan dengan sistem hukum di Indonesia yang belum menerima komunitas KGS. Bagaimana kita pelan-pelan memperjuangkan legitimasi normatif melalui legimasi social,” kata Theresia. Theresia berharap KGS bisa mengembangkan diri untuk diakui secara sosial dengan menarik sebanyak mungkin keberpihakan secara social.
“Berjuangmen dapatkan keberpihakan antara lain melalui tokoh agama, atau di dalam kelompok minat dan bakal, memiliki salon, berprestasi . Karena menyumbang identitas ke dalam kebersamaan sosial kita itu jauh lebih penting daripada legitimasi normative,” kata Theresia.
Emilia Muda yakin legitimasi sosial pertama KGS berasal dari dalam keluarga . “Bagaimana dia mau tampilkan diri diluar kalau keluarga saja tidak dukung. Pengalaman kami banyak teman berani bicara diluar karena mendapat dukungan keluarga,” kata Emilia.
Emy Hayon dari KPA NTT memastikan KPA NTT dan KPAD Kabupaten terus berjejaring dan bekerjasama dengan komunitas dan kelompok dukungan sebaya terkait penanggulangan HIV AIDS.
Emy berharap pihak terkait seperti Dinsos dan Dukcapil bisa memberi dukungan terhadap KGS yang belum memiliki identitas seperti KTP, KK sehingga mereka bisa mengakses jaminan social tenaga kerja atau jaminan kesehatan. Dan IMoF juga diharapkan mengupgrade dan menyerahkan data anggota komunitas kepada KPA dan dinsos agar bisa mendapat intervensi.
Ana Djukana, SH, MH aktifis dan jurnalis menekankan pentingnya para wartawan dan media untuk menggunakan perspektif HAM ketika menulis tentang teman-teman KGS.
“Supaya kedudukan KGS sama dengan masyarakat lain sehingga tidak ada diskriminasi dalam pelayanan, tidak ada stigma di masyarakat. Semoga dengan diskusi terus menerus maka KGS bisa diterima di masyarakat seperti penerimaan terhadap kelompok difabel, lasia, anak dan kelompok masyarakat miskin lainnya,” kata Ana. (vel)