POSKUPANG.COM, KUPANG - Komunitas Independent Men of Flobamora atau IMoF NTT banjir pujian dan dukungan dari pemerintah dan lembaga swadaya yang ada di NTT.
Ridho Herewila, Koordinator IMoF NTT diharapkan segera membentuk badan hukum agar ada kepastian dan perlindungan hukum bagi organisasi keberagaman gender dan seksualitas ini.
Dukungan itu terungkap dalam Fokus Group Discussion (FGD) Mari Katong Bangun, Bergerak dan Tata Ulang Ruang Aman Supaya Nyaman di Tanah Flobamorata yang digelar IMoF, tanggal 12 dan 19 Januari 2022.
Diskusi ini diikuti oleh Komunitas IMoF NTT, Forum Pelangi Kasih, Perwakub, LBH APIK NTT, Dinas Sosial, KPAD, DInas Pariwisata, Akademisi dan berbagai organisasi perempuan dan anak, serta keberagaman gender dan seksualitas lainnya.
Ridho Herewila menyambut baik usulan tersebut. Menurutnya, kini IMoF mengkoordinasi seluruh organisasi KGS di NTT dan sering berjejaring dengan pemerintah untuk mengakomodir kebutuhan teman-teman KGS.
“Belum lama ini kami member bantuan sembako bagi teman komunitas yang terdampak Covid-19 dan bantuan uang tunai bagi korban bencana seroja di beberapa kabupaten,” kata Ridho.
Meski hingga kini masih ada stigma terhadap teman KGS namun mereka terus memberikan penguatan, pendampingan dan melakukan diskusi bersama.
Chiko Staf Program IMoF menjelaskan, IMoF sebagai wadah atau komunitas KGS membantu mengkoordinir teman-teman untuk memperjuangkan solidaritas kemanusiaan untuk KGS.
“Kami berupaya menciptakan ruang gerak yang mudah sehingga teman-teman bisa menjadi setara, sepandan sesuai dengan hak dasar kita sebagai WNI,” kata Chiko.
Fredrik Muskanan dari DInsos NTT member apresiasi kepada IMoF dan meminta IMoF segera mengurus status badan hukum.
“Hal Ini jadi penting karena ada pengakuan resmi pemerintah sehingga bisa berjejaring dan mendapat akses yang lebih luas,” saran Fredrik.
Welly Manu dan Lodywik dari Kementrian Hukum dan HAM NTT dan Maria Densi dari Dinas Kperasi dan Tansmigrasi NTT, menilai status badan hukum diperlukan agar anggota organisasi mendapat perlindungan hukum jika suatu waktu terjadi masalah.
“Perlu juga ada pelatihan pendampingan untuk pengembangan diri,” kata Welly.
Toby Mesakh dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT meminta data anggota komunita yang bekerja di sektor pariwisata. Apalbila terjadi diskriminasi dan stigma terhadap KGS di tempat kerja, maka bisa dilaporkan dinas pariwisata.
“Ada yang mendapatkan perlakuan intoleransi karena status mereka di ruang kepariwisataan, mohon sampaikan kepada kami,” kata Toby.
Huki Wula dari Kantor Agama NTT minta teman KGS mengebangkan potensi diri sehingga menghapus stigma negative di masyarakat.
“Dengan berkarya, kalian akan lebih dihargai, hapus stigma dengan mengasah diri,” ajak Huki.
Huk berjanji akan terus melibatkan IMoF dan melalui tokoh agama akan menyampaikan lewat mimbar agama supaya bisa menghentikan stigma terhadap KGS.
“Mari kita bergandengan tangan karena kita semua adalah ciptaan TUhan terlepas daris emua yang ada,” kata Huki
Doktor Maria Theresia Dari Unika Widya Mandiri dan Ketua FKUB NTT menilai selama ini KGS memperjuangkan legitimasi social dan legitimasi hukum.
Legitimasi sosial menjadi perjuangan panjang untuk bisa diakui secara social dan legitimasi hukum untuk pengakuan normatif.
“Legitimasi hukum atau normatif berkaitan dengan sistem hukum di Indonesia yang belum menerima komunitas KGS. Bagaimana kita pelan-pelan memperjuangkan legitimasi normatif melalui legimasi social,” kata Theresia. Theresia berharap KGS bisa mengembangkan diri untuk diakui secara sosial dengan menarik sebanyak mungkin keberpihakan secara social.
“Berjuangmen dapatkan keberpihakan antara lain melalui tokoh agama, atau di dalam kelompok minat dan bakal, memiliki salon, berprestasi . Karena menyumbang identitas ke dalam kebersamaan sosial kita itu jauh lebih penting daripada legitimasi normative,” kata Theresia.
Emilia Muda yakin legitimasi sosial pertama KGS berasal dari dalam keluarga . “Bagaimana dia mau tampilkan diri diluar kalau keluarga saja tidak dukung. Pengalaman kami banyak teman berani bicara diluar karena mendapat dukungan keluarga,” kata Emilia.
Emy Hayon dari KPA NTT memastikan KPA NTT dan KPAD Kabupaten terus berjejaring dan bekerjasama dengan komunitas dan kelompok dukungan sebaya terkait penanggulangan HIV AIDS.
Emy berharap pihak terkait seperti Dinsos dan Dukcapil bisa memberi dukungan terhadap KGS yang belum memiliki identitas seperti KTP, KK sehingga mereka bisa mengakses jaminan social tenaga kerja atau jaminan kesehatan. Dan IMoF juga diharapkan mengupgrade dan menyerahkan data anggota komunitas kepada KPA dan dinsos agar bisa mendapat intervensi.
Ana Djukana, SH, MH aktifis dan jurnalis menekankan pentingnya para wartawan dan media untuk menggunakan perspektif HAM ketika menulis tentang teman-teman KGS.
“Supaya kedudukan KGS sama dengan masyarakat lain sehingga tidak ada diskriminasi dalam pelayanan, tidak ada stigma di masyarakat. Semoga dengan diskusi terus menerus maka KGS bisa diterima di masyarakat seperti penerimaan terhadap kelompok difabel, lasia, anak dan kelompok masyarakat miskin lainnya,” kata Ana. (vel)