Bahasa adalah produk budaya, dan isi produk itu adalah karakter para manusia penganutnya. Pada saatnya, bahasa juga dapat mempengaruhi budaya karena pergeseran pola pikir (termasuk, dalam kontek sini, adalah revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi), sehingga sesungguhnya bahasa dan budaya merupakan dua sistem yang saling melekat (Owen, 2011; Masinambouw, 1985). Campur kode, dengan demikian, mengantar kita untuk memantapkan produk bahasa Indonesia yang kita cintai ini sebagai budaya nasional.
Dalam rangka memantapkan bahasa Indonesia sebagai budaya nasional, perlu ada konvensi terkait maraknya campur kode, dan dalam lensa inklusif, hal itu sesungguhnya menjadi peluang bagi bahasa Indonesia untuk memperkaya diri, yakni menyerap istilah-istilah asing yang pada akhirnya berdampak pada bertambahnya jumlah kosa kata bahasa Indonesia.
Jika demikian, bahasa Indonesia akan semakin kaya, begitu juga para pemilik atau penggunanya menjadi lebih bermartabat karena dapat menggunakan bahasanya sendiri sebagai produk budaya nasional.
Dalam konteks macam inilah, bagian dari slogan "Utamakan bahasa Indonesia" dapat dimaknai secara inklusif di satu sisi, dan dihayati serta diimplementasikan secara eksklusif di sisi lain.
Deskripsi di atas sekaligus mengoreksi isi makalah saya tentang "Pemartabatan Bahasa Kaum Muda: Kasus Ekspresi Diri Melalui Medsos" yang pernah dipresentasikan di hadapan para mahasiswa program sarjana di Universitas Sanata Dharma tiga tahun lalu.
Dalam makalah itu, antara lain, saya mengargumentasikan bahwa kaum muda, dalam banyak hal terlibat langsung di dalam kampanye menomorduakan bahasa Indonesia.
Tentu dengan bukti data yang kasuistik, itu tidak dapat dibuat generalisasi tentang fenomena ketidakmartabatan bahasa Indonesia kaum muda.
Akan tetapi, dalam hal itu harus dicatat lebih lanjut bahwa praktik berbahasa kaum muda di ruang publik mesti menimbang faktor translasi sebagai alternatif menjadikan bahasa Indonesia sebagai yang utama, demi membangun nasionalisme dan mendidik diri menjadi Homo Sapiens (bdk. Chapman, 2013).
Butuh Sinergitas dan Inovasi
Data Unesco, sebagaimana disitir Kompas.com (21/2/2021), menunjukkan bahwa setiap dua minggu sebuah bahasa menghilang dengan membawa seluruh warisan budaya dan intelektual. Setidaknya 43 persen dari sekitar 6.000 bahasa yang ada di dunia terancam punah.
Adapun Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, setahun sebelumnya merilis siaran pers terkait pemetaan dan revitalisasi bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Pada lampiran siaran pers itu dicatat bahwa ada dua bahasa daerah di NTT yang masuk daftar "terancam punah", yakni bahasa Nedebang dan bahasa Adang, sementara satu bahasa lainnya, bahasa Reta, masuk dalam status "kritis".
Informasi di atas tentu menjadi sinyalamen yang sangat mengkhawatirkan mengingat bahasa daerah, dalam konteks NTT, adalah kekayaan yang luar biasa, bukan saja karena ia merupakan warisan leluhur, tetapi juga memiliki kontribusi untuk ilmu pengetahuan saat ini dan ke depan.
Dalam rangka memaknai slogan "Lestarikan bahasa daerah", Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang memiliki cabang Kantor Bahasa NTT, sungguh diharapkan memiliki geliat menuju pelestarian bahasa-bahasa daerah.
NTT memiliki banyak potensi, di antaranya ialah keterbukaan manusia pemilik bahasa terhadap sinergitas. Para penutur asli tiap bahasa daerah masih sangat mungkin untuk bekerjasama, mulai dari pemetaan, konservasi, dan registrasi.
Para tua adat yang masih fasih menggunakan tuturan-tuturan ritual masih banyak dijumpai di daerah-daerah. Tercatat ada beberapa perguruan tinggi bereputasi di NTT.
Kajian dan pengembangan bahasa daerah yang inovatif sangat mungkin dilakukan dalam suatu kolaborasi yang solid. Dengan menggandeng mitra, salah satu ciri keterampilan abad ke-21, NTT berhasil mengimplementasikan slogan "Lestarikan bahasa daerah". Selamat menyongsong Bulan Bahasa Nasional, Oktober 2021. (*)