Oleh : Antonius Nesi, Dosen Prodi PBSI, FKIP, Unika Santu Paulus Ruteng; Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Semarang
POS-KUPANG.COM-Setidaknya dalam setahun terakhir deretan kata-kata berikut paling sering diproduksi dosen, mahasiswa, guru, dan siswa ketika pembelajaran berlangsung melalui aplikasi Zoom Meeting atau ruang virtual lainnya: link, room x, chatt, share screen, unmute, full screen, exit, dan lain-lain.
Istilah-istilah asing itu muncul seiring fakta bahwa di depan layar nama-nama fitur perangkat lunak beserta instruksi-instruksi operasionalnya ditampilkan dalam bahasa Inggris.
Interaksi di depan layar lantas memaksa para penutur untuk taat pada perintah teknologi, dan bahasa fitur membawa mitranya untuk mengekspresikan bahasa verbal dengan mencampuradukkan satu bahasa dengan bahasa lain, dari tataran bunyi hingga wacana.
Tentu bukan hanya pada lini pendidikan, dalam konteks kekinian, ketika banyak pekerjaan beralih dari sistem manual ke sistem digital, orang dipaksa untuk perlahan mulai belajar dan beradaptasi dengan mesin otomatis, entah komputer entah gawai.
Dampak dari semua itu, dalam komunikasi sehari-hari, penggunaan istilah asing yang diselipkan di dalam bahasa Indonesia sudah menjadi hal lumrah: "Coba di-unmute dulu biar tidak ada efect voice", "Kami sudah men-tracing kurang lebih 350 orang", "Arbitrage profit hari ini lumayan", dan lain-lain adalah bukti nyata penyelipan istilah-istilah asing di dalam bahasa Indonesia.
Ulasan ini bermaksud memaknai slogan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbudristek yang belakangan terus dikampanyekan kepada masyarakat:
"Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing". Dalam kaitan dengan itu, saya ajukan tesis: "Cara pandang kita yang inklusif terhadap bahasa dapat menentukan keberhasilan kita dalam mengutamakan bahasa Indonesia dengan tetap melestarikan bahasa daerah secara eksklusif, sambil belajar terus-menerus untuk menguasai bahasa asing".
Ubah Cara Pandang
Kenyataan sebagaimana digambarkan di awal tulisan ini sesungguhnya hendak menyadarkan kita sekaligus meruntuhkan pandangan tradisional bahwa penyelipan istilah asing di dalam bahasa Indonesia merupakan bentuk" pemerkosaan bahasa Indonesia".
Sebaliknya, dalam pandangan saya, terselipnya kosa kata-kosa kata asing di dalam praktik komunikasi hanyalah bentuk "campur kode", istilah di dalam Sosiolinguistik yang mengacu pada pengertian terselipnya unsur-unsur bahasa lain di dalam bahasa yang digunakan penutur saat berkomunikasi (Vasek, 1991; Sumarsono, 2007).
Justru itu, campur kode di dalam praktik komunikasi sudah saatnya sangat mendesak untuk dikaji secara serius dengan harapan bahwa diseminasinya dapat menjadi impact factor bagi para pengambil kebijakan untuk menimbang kembali aturan mengenai penyerapan istilah di dalam buku tata bahasa baku bahasa Indoesia.
Dalam arti itu, bagian dari slogan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa "Kuasai Bahasa Asing" harus dimaknai dalam konteks membina sikap berbahasa, terbuka terhadap kemajuan teknologi, dan mengembangkan bahasa Indonesia melalui regulasi, terutama meninjau kembali kaidah penyerapan istilah asing.
Penggunaan istilah asing di dalam praktik komunikasi, karena itu, tidak perlu juga dipandang sebagai "kesalahan berbahasa".
Hal itu didasari argumentasi bahwa pada dasarnya bahasa adalah konvensi yang bersifat mana suka, arbiter (KBBI, 2008).
Bahasa adalah produk budaya, dan isi produk itu adalah karakter para manusia penganutnya. Pada saatnya, bahasa juga dapat mempengaruhi budaya karena pergeseran pola pikir (termasuk, dalam kontek sini, adalah revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi), sehingga sesungguhnya bahasa dan budaya merupakan dua sistem yang saling melekat (Owen, 2011; Masinambouw, 1985). Campur kode, dengan demikian, mengantar kita untuk memantapkan produk bahasa Indonesia yang kita cintai ini sebagai budaya nasional.
Dalam rangka memantapkan bahasa Indonesia sebagai budaya nasional, perlu ada konvensi terkait maraknya campur kode, dan dalam lensa inklusif, hal itu sesungguhnya menjadi peluang bagi bahasa Indonesia untuk memperkaya diri, yakni menyerap istilah-istilah asing yang pada akhirnya berdampak pada bertambahnya jumlah kosa kata bahasa Indonesia.
Jika demikian, bahasa Indonesia akan semakin kaya, begitu juga para pemilik atau penggunanya menjadi lebih bermartabat karena dapat menggunakan bahasanya sendiri sebagai produk budaya nasional.
Dalam konteks macam inilah, bagian dari slogan "Utamakan bahasa Indonesia" dapat dimaknai secara inklusif di satu sisi, dan dihayati serta diimplementasikan secara eksklusif di sisi lain.
Deskripsi di atas sekaligus mengoreksi isi makalah saya tentang "Pemartabatan Bahasa Kaum Muda: Kasus Ekspresi Diri Melalui Medsos" yang pernah dipresentasikan di hadapan para mahasiswa program sarjana di Universitas Sanata Dharma tiga tahun lalu.
Dalam makalah itu, antara lain, saya mengargumentasikan bahwa kaum muda, dalam banyak hal terlibat langsung di dalam kampanye menomorduakan bahasa Indonesia.
Tentu dengan bukti data yang kasuistik, itu tidak dapat dibuat generalisasi tentang fenomena ketidakmartabatan bahasa Indonesia kaum muda.
Akan tetapi, dalam hal itu harus dicatat lebih lanjut bahwa praktik berbahasa kaum muda di ruang publik mesti menimbang faktor translasi sebagai alternatif menjadikan bahasa Indonesia sebagai yang utama, demi membangun nasionalisme dan mendidik diri menjadi Homo Sapiens (bdk. Chapman, 2013).
Butuh Sinergitas dan Inovasi
Data Unesco, sebagaimana disitir Kompas.com (21/2/2021), menunjukkan bahwa setiap dua minggu sebuah bahasa menghilang dengan membawa seluruh warisan budaya dan intelektual. Setidaknya 43 persen dari sekitar 6.000 bahasa yang ada di dunia terancam punah.
Adapun Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, setahun sebelumnya merilis siaran pers terkait pemetaan dan revitalisasi bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Pada lampiran siaran pers itu dicatat bahwa ada dua bahasa daerah di NTT yang masuk daftar "terancam punah", yakni bahasa Nedebang dan bahasa Adang, sementara satu bahasa lainnya, bahasa Reta, masuk dalam status "kritis".
Informasi di atas tentu menjadi sinyalamen yang sangat mengkhawatirkan mengingat bahasa daerah, dalam konteks NTT, adalah kekayaan yang luar biasa, bukan saja karena ia merupakan warisan leluhur, tetapi juga memiliki kontribusi untuk ilmu pengetahuan saat ini dan ke depan.
Dalam rangka memaknai slogan "Lestarikan bahasa daerah", Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang memiliki cabang Kantor Bahasa NTT, sungguh diharapkan memiliki geliat menuju pelestarian bahasa-bahasa daerah.
NTT memiliki banyak potensi, di antaranya ialah keterbukaan manusia pemilik bahasa terhadap sinergitas. Para penutur asli tiap bahasa daerah masih sangat mungkin untuk bekerjasama, mulai dari pemetaan, konservasi, dan registrasi.
Para tua adat yang masih fasih menggunakan tuturan-tuturan ritual masih banyak dijumpai di daerah-daerah. Tercatat ada beberapa perguruan tinggi bereputasi di NTT.
Kajian dan pengembangan bahasa daerah yang inovatif sangat mungkin dilakukan dalam suatu kolaborasi yang solid. Dengan menggandeng mitra, salah satu ciri keterampilan abad ke-21, NTT berhasil mengimplementasikan slogan "Lestarikan bahasa daerah". Selamat menyongsong Bulan Bahasa Nasional, Oktober 2021. (*)