Opini Pos Kupang

Kelebihan Bayar Dalam Pusaran Tipikor

Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Logo Pos Kupang

Oleh : Andre Koreh, ASN di Pemprov NTT

POS-KUPANG.COM- Istilah kelebihan bayar atau "overpay" menjadi istilah yang viral akhir-akhir ini seiring maraknya pemberitaan hasil audit BPK RI terhadap kinerja Pemprov DKI Jakarta beberapa tahun terakhir, dimana dalam temuannya terdapat beberapa kegiatan yang oleh BPK dinilai telah terjadi kelebihan bayar dan berpotensi mengakibatkan terjadinya kerugian negara.

Penulis yakin istilah kelebihan bayar ini juga kerap terjadi di seluruh Pemprov di Indonesia. Oleh karena itu BPK RI sering merekomendasikan agar kelebihan bayar ini disetor kembali ke kas negara, sehingga potensi kerugian negara menjadi hilang dan persoalan hukum menjadi berakhir dengan disetor kembalinya sejumlah uang senilai potensi kerugian negara .

Dengan kata lain jika terjadi kelebihan bayar dalam sebuah objek pemeriksaan, maka solusinya adalah setor kembali ke kas negara sehingga potensi kerugian negara menjadi hilang.

Bagaimana kaitannya dengan perbuatan tindak pidana korupsi? Perlu diketahui UU No. 31/ 1999 tentang Tipikor Pasal 2 dan 3 menyebutkan bahwa, "perbuatan melawan hukum yang DAPAT merugikan keuangan negara masuk dalam tindakan pidana korupsi ".

Baca juga: JPU Limpahkan Kasus Korupsi Dana PIP Mantan Kepsek Wae Paci ke Pengadilan Tipikor Kupang

Kata DAPAT dalam pasal ini memiliki makna tersirat sebagai sesuatu yang belum terjadi, artinya walaupun perbuatan melawan hukum itu belum mengakibatkan terjadinya kerugian negara, tapi patut diduga suatu saat AKAN terjadi di kemudian hari, sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara.

Hal tersebut sudah bisa masuk dalam katagori tindak pidana korupsi. Artinya perbuatan melawan hukum yang diindikasikan dan baru diniatkan saja sudah bisa masuk dalam katagori tindak pidana korupsi, apalagi sudah nampak nyata dan jelas telah terjadi perbuatan melawan hukum.

Contoh hal yang diniatkan tapi berpotensi merugikan negara misalnya : mark up harga dasar, memenangkan perusahaan tertentu walau tidak layak, meminta gratifikasi sebelum pekerjaan dimulai, kualitas barang yang sengaja dikurangi, volume yang sengaja dipasang kurang sesuai perikatan kontrak dan lain sebagainya.

Sementara itu definisi dan upaya mengurangi kerugian negara yang bisa dilakukan terdapat dalam beberapa undang undang antara lain, UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan (UU BPK), pasal 1 angka 15.

Baca juga: Putusan Sela Kasus SPAM Ile Boleng, Majelis Hakim Tipikor Kupang Perintahkan Lanjutkan Pemeriksaan

"Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai". UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharan Negara (UU Perbendaharaan Negara) pasal 1 angka 22 berbunyi "Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga , dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. UU No 31 Tahun 1999 (UU TIPIKOR) penjelasan pasal 32 ayat 1 "Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk."

Dalam penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara dikatakan bahwa kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan.

Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.

Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan ("BPK") dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ("BPKP"). Adapun perhitungan kerugian negara sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat kasus per kasus.

Menurut Kaufmann, pengadaan barang/jasa (PBJ) adalah aktivitas pemerintah yang dianggap paling rentan terhadap korupsi, dan ini terjadi dimanapun di seluruh dunia (OECD, 2007: 9)

Dari uraian diatas , temuan yang bermuara pada rekomendasi kelebihan bayar terutama di sektor pengadaan barang dan jasa, penulis belum menemukan istilah kelebihan bayar ini secara eksplisit dalam berbagai peraturan perundang undangan, bahkan dalam peraturan BPK -pun tidak ditemukan, kecuali istilah kelebihan bayar yang terjadi pada sektor perpajakan dan bea masuk.

Namun hal yang pasti dalam penjelasan Pasal 59 UU TPK , semua kerugian negara baik yang sudah terjadi maupun potensinya, harus segera dikembalikan ke negara. Disisi lain, objek pemeriksaan wajib menindaklanjuti semua temuan BPK/BPKP/Inspketorat.

Dalam berbagai penjelasan, pengembalian kerugian negara ini hanya menjadi hal yang meringankan dalam suatu proses penegakan hukum.

Sementara itu ada arahan presiden saat sosialisasi Inpres No.10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan 2017, dimana Presiden memberi arahan kepada para Kajati, Kapolda se Indonesia pada tanggal 26 November 2016 di Jawa Barat antara lain, pertama, kebijakan diskresi atau keputusan yang diambil para pejabat pemerintah, jangan diperkarakan oleh penegak hukum.

Kedua, segala tindakan administrasi pemerintah juga tidak boleh dipidanakan. Ketiga, temuan kerugian negara yang dinyatakan dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka kepada lembaga pemerintah yang terlibat harus diberikan waktu 60 hari untuk menjawab dan mengklarifikasi hasil temuan tersebut. Keempat, data kerugian negara harus konkret dan tidak boleh mengada-ada.

Kelima, penegak hukum tidak boleh menyebarluaskan tuduhan yang belum terbukti dan belum masuk proses hukum.( sumber:https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/5e9a56c99953f/lima-instruksi-jokowi-t erkait-larangan-kriminalisasi).

Kondisi ini menjadi dilematis karena jika dilihat secara sepintas dan serampangan, seolah kelebihan bayar bisa diselesaikan hanya dengan penyetoran kembali potensi kerugian negara, tanpa memperhatikan suatu kondisi fraud (kecurangan) dan mensrea (niat buruk) dalam suatu kesalahan perhitungan yang sengaja dibuat, sebagai penyebab terjadi perbuatan melawan hukum, baik sengaja ataupun lalai .

Disisi lain, bisa ditarik benang merah secara nyata apakah kelebihan bayar bisa masuk dalam pusaran tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud UU Tipikor. Ataukah sekadar tindakan kesalahan adminitratif semata yang hanya masuk dalam pelanggaran perdata saja.

Untuk itu kepekaan, ketelitian, kejelian, kecermatan dan keberpihakan serta nurani baik dari BPK, BPKP dan para penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan terhadap pencegahan dan pemberantasan Tipikor menjadi sangat menentukan. Ke arah mana kelebihan bayar ini akan dibawa, tentunya tanpa kriminalisasi.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof. Komariah Emong Sapardjaja mengatakan UU 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil.

Unsur `dapat merugikan keuangan negara' seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara. Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting.

Prof. Romli Atmasasmita., berpendapat majelis hakim seharusnya mengartikan unsur `dapat merugikan keuangan negara' dalam konteks delik formil. Oleh karena itu, kerugian negara secara nyata tidak diperlukan selama didukung bukti-bukti yang mengarah adanya potensi kerugian negara.

Dengan digunakannya UU Perbendaharaan Negara, berarti majelis hakim telah menghilangkan makna kata `dapat' dalam unsur `dapat merugikan keuangan negara'. Pasalnya, UU Perbendaharaan Negara menganut konsep kerugian negara dalam arti delik materiil, sedangkan UU 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil . (sumber: Cara Menentukan Adanya Kerugian Keuangan Negara https://www.hukumonline.com > klinik > detail > ulasan )

Jadi kelebihan bayar adalah istilah yang muncul guna memberi ruang pada objek pemeriksaan untuk menyelesaikan temuan BPK/ BPKP/Inspektorat, tanpa kuatir masuk ke ranah tindak pidana korupsi dengan segala konsekuensinya, karena auditor cenderung menggunakan UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perrbendaharaan Negara yang bersifat delik materiil.

Artinya secara materiil jika kerugian negara maupun potensinya sudah dihilangkan dengan menyetor sejumlah uang kembali ke kas negara, maka secara materiil tidak terjadi kerugian negara.

Kerugian negara baik dalam katagori "potensi" apalagi sudah menjadi kerugian negara, baik disengaja maupun lalai, terutama dalam proses pengadaan barang dan jasa (PBJ), dan tertera dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) BPK, jika setelah 60 hari kalender tidak atau belum ditindak lanjuti oleh objek pemeriksa, mestinya bisa masuk dalam katagori kerugian negara yang nyata , karena telah ada hitungannya sebagaimana yang dimaksud dalam UU TIPIKOR. Apalagi kerugian negara dalam UU ini adalah delik formal, artinya jika telah terjadi fraud (kecurangan) dengan niat (mensrea) merugikan negara, dan dinilai sebagai penyebab terjadinya perbuatan melawan hukum, maka bisa dilanjutkan ke aparat penegak hukum, karena yang akan dipertanggungjawabkan secara hukum adalah PERBUATAN dan NIAT dari oknum yang merugikan keuangan negara walau kerugiannya sudah " dihilangkan ".

Ibarat maling jika tertangkap akan tetap diproses hukum walau barang curiannya sudah dikembalikan.

BPK sebagai lembaga yang menentukan terjadi atau tidaknya kerugian negara, wajib melaporkan ke Aparat Penegak Hukum ( APH ) untuk ditindak lanjuti sesuai ketentuan jika ditemukan indikasi Tipikor. Lembaga DPR/DPRD wajib dan bisa meminta penjelasan lebih lanjut kepada BPK tentang berbagai temuan yang diberikan untuk didalami lebih lanjut.

Hukum sebagai panglima dan penegakan hukum sebagai rajanya, perlu didukung berbagai pihak. Jika tidak, maka pendapat umum yang mengatakan hukum di Indonesia ibarat karet, karena masih bisa ditarik ke mana mana, atau dihentikan pada siapa saja, mendapatkan pembenarannya. (*)

Baca Opini Pos Kupang Lainnya

Berita Terkini