Renungan Harian Katolik Kamis 1 Juli 2021: Pembakar Semangat (Matius 9:1-8)
Oleh: RD. Fransiskus Aliandu
POS-KUPANG.COM - Granit Xhaka menjadi bintang lolosnya Swiss ke babak perempat final Euro 2020 setelah menumbangkan Prancis lewat adu penalti. Pemain 28 tahun itu pun dinobatkan sebagai "Star of the Match" dalam laga tersebut.
Xhaka memang layak dinobatkan sebagai pemain terbaik dalam laga tersebut. Kapten Swiss itu memang tampil ciamik sebagai roh permainan tim dan sukses membawa Swiss mencatatkan sejarah, untuk pertama kalinya lolos babak perempat final setelah 67 tahun sejak Piala Dunia 1954.
Selama laga, Xhaka tak henti-hentinya membakar semangat rekan satu timnya. Bahkan, saat tertinggal ia tidak bosan meneriaki kompatriotnya.
Hingga akhirnya dua gol penyeimbang, terjadi setelah jeda water break, momen di mana Xhaka terus memompa semangat teman-temannya yang hampir kalah.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Kamis 1 Juli 2021, Dives in Misericordia: Kaya dalam Kemurahan Hati
Momen menarik pun ia perlihatkan saat jelang adu penalti. Ia kembali membakar semangat teman-temannya, sehingga semua yang bertugas terlihat begitu tenang dan percaya diri menjalankan tugasnya dan sukses dalam drama itu. Ia berkata, "Kita bisa mengusir sejarah".
Sikap tidak mudah menyerah adalah kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan. Pantang menyerah seringkali dihubungkan dengan putus asa.
Ketika orang berada di jurang keterpurukan, dia terus berusaha agar bisa bangkit. Itulah yang dimaksud dengan pantang menyerah. Menyerah hanya untuk orang yang sudah putus asa.
Tapi harus diakui bahwa terkadang ada orang yang berada dalam jurang keterpurukan dan tak mampu untuk bangkit. Ia seakan menjadi orang yang "lumpuh" dan tak bisa bangkit dan berjalan lagi. Pada tahap ini, ia justru membutuhkan motivator, orang yang bisa membangkitkan gairah dan semangatnya untuk bangkit.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Rabu 30 Juni 2021: Kuasa Atas Setan
Tiap orang, siapa pun dia dan apa pun statusnya, sesungguhnya membutuhkan dorongan positif yang berasal dari luar dirinya sehingga dia bisa menyadari keberadaan dan segala potensi yang ada pada dirinya.
Dengan motivasi itu, ia bisa bertindak dengan tepat untuk menghilangkan mental blok yang menjadi penghambat kebangkitan dan kesuksesannya. Dengan demikian memudahkan dia untuk merubah diri dan bangkit menjadi baik lagi, bahkan lebih baik lagi.
Tatkala melihat orang-orang yang datang kepada-Nya menggotong seorang yang lumpuh, sambil mengapresiasi iman orang-orang itu, Yesus berkata kepada si lumpuh, "Percayalah anak-Ku, dosamu sudah diampuni" (Mat 9:2).
Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai seorang motivator sejati. Ia jeli dan fokus melihat titik putih kebaikan yang dimiliki mereka itu. Ia mengangkatnya ke permukaan. Itulah yang turut membangkitkan semangat mereka terlebih si lumpuh itu sehingga bisa bangkit dan berjalan.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Selasa 29 Juni 2021: Engkau Adalah Mesias, Anak Allah yang Hidup
Tentu kita tak boleh mengesampingkan kuasa menyembuhkan, membangkitkan yang dimiliki oleh Yesus. Malah justru kuasa ilahi itulah yang paling utama dan mendasar.
Tapi ketajaman melihat sisi positif pada diri orang lain dan apresiasi yang diberikan oleh Yesus, kiranya menjadi catatan reflektif yang menarik dan penting.
Hal itu justru berbanding terbalik dengan yang diperlihatkan oleh beberapa ahli Taurat. Mereka justru tak memancarkan hal yang positif karena hati mereka tertutup oleh awan negatif. Pikiran mereka penuh kecurigaan.
Penginjil mencatat, "Maka berkatalah beberapa orang ahli Taurat dalam hatinya: "Ia menghujat Allah." Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka, lalu berkata: "Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?" (Mat 9:3-4).
Baca juga: Renungan Harian Katolik Senin 28 Juni 2021: Ziarah Jiwa
Pengalaman sehari-hari memandang curiga secara peyoratif. Curiga adalah kosa kata yang dihindari dan dicegah. Curiga mendera sikap percaya, kata segelintir orang. Curiga memungkinkan relasi manusia pada pinggiran ketulusan. Tidak ada kedalaman hubungan personal bila curiga datang dan menghantui.
Hans Georg Gadamer, filosof yang menaruh perhatian pada penggalian makna curiga, "Curiga mendapat makna sebagai penghalang keleluasaan".
Halnya demikian bila curiga dimasukkan ke dalam kolom ilmu psikologi. Curiga menghalangi relasi manusia, menghancurkan ketulusan, tak berfaedah membangkitkan semangat orang lain.
Curiga tidak bisa membuat orang melanjutkan ke peziarahan yang lebih dalam, tidak berjalan menjadi-mencintai dalam keterlibatan dan kebersamaan dengan sesamanya.
Baca juga: Renungan Harian Katolik, Senin 28 Juni 2021: Ikut Yesus Selamanya
Curiga mengindikasikan pengetahuan akan diri orang lain pada tahap yang primordial, sempit, terbatas.
Kata Gadamer, orang tak mungkin tinggal dalam curiga lantas merasa cukup. Orang mesti melanjutkan "perjalanan" menuju kebenaran. Di situlah perlunya keterlibatan, masuk ke dalam diri orang dan menemukan sisi lain yang belum atau tidak terlihat.
Dalam hidup ini, kita mungkin menjumpai dan berhadapan dengan banyak orang yang "lumpuh". Kita pun menyaksikan banyak orang yang telah membantu orang lain yang lumpuh, tapi belum berhasil dalam usahanya.
Yesus menunjukkan kepada kita bagaimana kita masuk ke kedalaman diri mereka, melihat sesuatu yang indah, yang baik.
Baca juga: Renungan Harian Katolik, Sabtu 26 Juni 2021: Katakan Saja Sepatah Kata Maka Hambaku Akan Sembuh
Saat dalam keterpurukan, kelumpuhan, orang tak mampu menjadi motivator bagi dirinya. Ia membutuhkan orang lain untuk menjadi motivator bagi dirinya.*
Renungan Harian Katolik lainnya