Desa Kolontobo, paparnya, masuk dalam struktur masyarakat adat Lewohala. Struktur masyarakat adat ini terbentang dari Desa Jontona sampai Desa Riangbao.
Pembagian tugas dan fungsi setiap suku dalam struktur masyarakat adat ini pun sudah jelas ada bahkan sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Suku yang bertugas melakukan ritual dan keseluruhan aktivitas yang berkaitan dengan laut adalah Suku Matarau Wolo Pito. Jadi, secara adat kelompok masyarakat pengawas laut ada di bawah kewenangan Suku Matarau.
Dia menyebutkan Suku Matarau punya gelar adat yang disebut 'Rau Tutu Watan Goran Todawolo. Dia berkuasa atas nama Watan Ahi Kene (laut).
"Kalau dia sudah gantung janur kuning itu orang tidak boleh melaut dalam kawasan itu," imbuhnya.
Sementara itu, kewenangan untuk mengurus tanah dan air diberikan kepada Suku Pureklolon yang diberi gelar Dulipali Ua Epa.
Secara adat, sanksi bagi pihak yang melanggar larangan-larangan ini juga tidak main-main. Bahkan, menurutnya sanksi adat itu erat kaitannya dengan hidup dan mati manusia.
"Ketika masuk dalam pemerintah kita harus dudukan mereka, mana pemerintah desa dan mana pemerintahan adat. Kalau pemerintahan adat dia menjaga semua ekosistem alam, semua sudah ada larangan sejak nenek moyang," ujarnya.
Peran pemerintah, kata dia, tinggal memperkuat pembagian kewenangan masyarakat adat itu dengan regulasi saja.
Dalam konteks menjaga laut, SK Gubernur yang diberikan merupakan cara negara memberikan akses kepada masyarakat adat maritim Kolontobo untuk menjaga laut dari serangan bom ikan dan pukat harimau kapal Purse Seine yang bisa merusak biota laut.
Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Lembata yang memang fokus melakukan advokasi mengenai kawasan Muro ini adalah LSM Barakat. Pada tahun 2019, bersama pemerintah, mereka menggelar pelatihan bagi Kelompok Masyarakat Pengawas untuk 4 desa yakni desa Kolontobo di Kecamatan Ile Ape, Desa Lamatokan dan Lamawolo di Kecamatan Ile Ape Timur serta Desa Dikesare dan Tapobaran di Kecamatan Lebatukan.
Benediktus Bedil, Direktur LSM Barakat menjelaskan muro adalah suatu kawasan di laut yang dijaga oleh masyarakat adat. Manfaat dari muro ini sangat luar biasa seperti menjaga supaya jumlah ikan tetap banyak di laut, penangkapan ikan lebih dekat, dan menjaga kelestarian alam karena tidak ada satu orang pun yang sembarangan menangkap ikan di kawasan muro.
Nilai lainnya adalah nilai solidaritas sosial. Dahulu kala, ketika kawasan muro dibuka, pada tiap bulan Oktober masyarakat dari wilayah pegunungan akan datang dan bersama-sama warga pesisir menikmati hasil tangkapan ikan di kawasan muro. Hasil kebun dari wilayah pegunungan pun turut dihidangkan di sana.
"Ikan sisa dibawa pulang ke gunung, lalu mereka yang di pantai itu bawa pulang ubi pisang yang sisa dibawa dari gunung dan dibawa ke rumah," tutur Benediktus.
Dalam bahasa Lamaholot, katanya, ada istilah malu maran soga naran. Konsep berbasis tradisi ini mau mengungkapkan kalau muro jadi satu-satunya solusi ketika musim kelaparan tiba. Terselip juga konsep ketahanan pangan seutuhnya.
"Walau pun dalam keadaan lapar tapi keramahtamahan kepada tamu itu tetap ada," ujarnya menjelaskan konsep malu maran soga naran.