Hal ini mengingatkan kita tentang keheboan warga Tiongkok yang punya KTP. Hal itu tidak ada masalah karena mereka memiliki KTP tetapi mereka tidak bisa ikut pemilu karena bukan warga negara. Di AS dikenal sebagia `green card' atau di Spanyol dikenal dengan `carne/ cedula de identidad'.
Warga negara sementara itu diartikan sebagai orang-orang yang menempati wilayah di suatu negara dan diakui secara hukum. Merekalah yang diizinkan mengikuti pemilu karena secara hukum mendiami sebuah wilayah.
Bila kembali kepada persoalan, maka OPRK bukan WNI karena ia telah menjadi WN AS. Hal itu terbukti juga dengan paspor AS yang dimiliki. Ia juga sebenarnya bukan penduduk Indonesia karena tidak menempati Indonesia untuk periode lama secara bersinambungan. Ia bisa saja sering pulang Indonesia mengunjungi keluarga tetapi hanya untuk berlibur mengingat statusnya adalah WN Asing.
Jalan Keluar
Bagaimana bisa keluar dari persoalan seperti ini? Pertama, pesoalan ini telah menunjukkan kepincangan dan celah yang masih terdapat dalam UU kewarganegaraan kita. Jelasnya, WNA yang punya KTP Indonesia (karena tinggal di Indonesia) tidak ikut pemilu (karena bukan WNI) tetapi `orang asing' (OPRK) yang WNA bisa mencalonkan diri dan lolos menjadi bupati di Indonesia.
Hal ini terjadi karena pemahaman kita yang minimalis tentang perbedaan penduduk dan warga negara (hal mana perlu kita perhatikan ke depannya). Mestinya orang yang mencalonkan diri sebagai pejabat publik (terutama bagi mereka yang memiliki masalah kewarganegaraan), perlu mendapatkan keterangan dari kantor keimigrasian dan bukan hanya KTP. Ini penting karena memilih dan dipilih hanya untuk warga negara Indonesia dan bukan untuk penduduk Indonesia.
Kedua, masalah kewarganegaraan perlu menjadi masukan bagi pemerintah dalam menata UU Pemilu/Pemilukada. Harus diakui, persoalan yang terjadi di Sabu Raijua bisa saja karena hal itu tidak ditulis secara detail dan diberikan catatan khusus tentang pemilu dengan mengklarifikasi tentang status warga negara dan penduduk.
Pengakuan akan hal ini (dan pembenahan ke depan) tidak sendirinya membatalkan hasil yang ada. KPU maupun Bawaslu telah menerapkan peraturan dengan melampirkan persyaratan. Dengan demikian OPRK secara sah dan prosedural dan telah memenuhi semua persyaratan.
Permasalahan ini akan menjadi lain kalau OPRK mengakui bahwa semestinya ia tidak hanya mengikuti persyaratan minimalis. Ia tahu bahwa sesungguhnya ia bukan WN Indonesia meski punya KTP. Pengakuan itu akan lebih baik dan persoalan akan selesai.
Ketiga, persoalan OPRK sebenarnya bukan hal baru (dan tidak perlu diperdebatkan). Kasus serupa justru pernah terjadi dengan calon menteri ESDM, Arcandra Tahar di tahun 2014 lalu. Ia terpilih jadi menteri padahal sudah menjadi WN AS. (Kemungkinan ini bisa saja telah diambil oleh OPRK sebagai salah satu alasan).
Kalau masalah ini telah terjadi dan bisa menjadi yurisprudensi, maka sesungguhnya pemrosesan di AS agar OPRK menjadi WNI adalah hal yang bisa dipahami (meski seharusnya ke depannya hal ini tidak mesti terjadi). Jelasnya, hal ini perlu jadi pembelajaran berharga. *