FRETILIN membantai puluhan ribu rakyat yang menginginkan Timor Timur bergabung dengan Indonesia termasuk beberapa tokoh APODETI.
Di tengah kerusuhan yang terjadi, Gubernur Timor Portugis waktu itu (gubernur terakhir), Mario Lemos Pires pun mengevakuasi sebagian besar pasukan Portugis ke Pulau Atauro.
FRETILIN pada akhirnya dapat mendeklarasikan kemerdekaan Timor Timur secara sepihak pada tanggal 28 November 1975, dan menyebutnya Republik Demokratik Timor Leste.
Meski kemerdekaan tersebut tak bertahan lama, karena hanya kurang lebih satu minggu kemudian, pasukan Indonesia datang menginvasi Bumi Lorosae.
Sebelum pasukan Indonesia datang, bahkan partai lawan FRETILIN juga masih sempat menunjukkan perlawanannya.
Mereka mengadakan proklamasi tandingan yang dikenal sebagai Deklarasi Balibo.
Deklarasi tersebut dikumandangkan pada tanggal 30 November 1975 di Balibo, menyatakan bahwa Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia.
Naskah proklamasi tersebut ditandatangani oleh Arnaldo dos Reis Araújo (APODETI) dan Francisco Xavier Lopes da Cruz (UDT).
Pernyataan sikap politik keempat partai diiringi dengan persiapan pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40 ribu orang.
Dari perbatasan NTT, pasukan yang terdiri dari para pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan FRETILIN secara bergerilya.
FRETILIN semakin kewalahan ketika pada 7 Desember 1975, ABRI melakukan invasi militer ke Timor Timur yang dikenal sebagai Operasi Seroja.
Operasi tersebut telah didahului oleh Operasi Komodo, yang merupakan misi intelijen yang dilakukan oleh perwira perwira TNI.
Amerika Serikat juga turut mengambil peran dalam operasi-operasi keamanan yang dilakukan Indonesia di Timor Timur kala itu.
Selama masa invasi, massa penolak integrasi (FRETILIN) dibantai oleh pasukan ABRI.
Menyusul invasi tersebut, gubernur Timor Portugis dan stafnya meninggalkan pulau Atauro dengan dua kapal perang Portugal.