Rizal Ramli Sebut Hakim Mahkamah Konstitusi Tidak Paham Prinsip Demokrasi dan Konstitusi, Kok Bisa?
POS-KUPANG.COM -- Rizal Ramli Sebut Hakim Mahkamah Konstitusi Tidak Paham Prinsip Demokrasi dan Konstitusi, Kok Bisa?
Rizal Ramli menilai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memahami prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.
Akibatnya, putusan hakim MK terkait presidential threshold justru bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip dasar demokrasi.
Baca juga: Pesawat Pembom China Terbang di Langit Taiwan, Pasukan Taipei Langsung Siaga, Rudal Disiapkan
Baca juga: UPDATE KODE REDEEM Free Fire FF Terbaru 24 Januari 2021, Buruan Klaim Kode Redeem FF Terbaru
Baca juga: Tentara Amerika Serikat Terus Berada di Laut China Selatan, Beijing Beri Peringatan Keras, Ada Apa?
Rizal Ramli juga menilai para anggota hakim MK kurang baca.
"Wong tidak ada pembatasan Threshold 20% untuk Calon Presien, Gubernur dan Bupati di UUD 45," ujar Rizal Ramli melalui akun twitternya, Minggu (24/1/2021) sore ini.
Cuitan Rizal Ramli itu mengomentari putusan MK yang menolak gugatan presidential threshold 20 persen yang ia lakukan.
Putusan hakim MK tersebut, dalam pandangan Rizal Ramli, juga hanya akan melanggengkan oligarki dan demokrasi kriminal.
@RamliRizal: Hakim2 MK @officialMKRI kurang banyak baca, tidak prinsip2 demokrasi dan UUD45. Wong tidak ada pembatasan Threshold 20% untuk Calon Presien, Gubernur dan Bupati di UUD45. Hakim2 MK hanya melanggengkan oligarki dan demokrasi kriminal @RadioElshinta
Di dunia, kata Rizal Ramli, ada 48 negara yang menggunakan sistem pemilihan dua tahap, seperti Indonesia.
Tetapi, hanya Indonesia yang memberlakukan aturan presidential threshold.
Rizal juga mengingatkan pendapat pakar konstitusi bahwa hakim MK bisa membuat terobosan hukum.
@RamliRizal 1j: Peneliti Konstitusi (Pusako) Ari Wirya Dinata: Mahkamah Konsitusi (MK) harusnya cermat thd gugatan Rizal Ramli atas ambang batas (PT) 20%. Sebab, para hakim MK terikat asas lus curia novit, yakni hakim MK harus menggali perkembangan hukum. @officialMKRI
Sebelumnya Rizal Ramli mengatakan, maksud gugatannya ke MK adalah untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas, bukan pemimpin sekelas gorong-gorong.
"Kita ingin hapuskan (presidential threshold-Red) jadi nol, sehingga siapa pun putra putri Indonesia terbaik bisa jadi bupati, bisa jadi gubernur, bisa jadi Presiden. Karena kalau enggak, pemimpin yang dihasilkan itu ya istilahnya modal gorong-gorong saja bisa jadi. Main TikTok saja bisa kepilih jadi gubernur. Hancur enggak nih republik?" ucapnya saat mengajukan gugatan ke MK.
Alasan Hakim MK Tolak Gugatan Rizal Ramli
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Rizal Ramli soal judicial review UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
Mahkamah menilai, gugutan yang dilayangkan Rizal Ramli bersama Abdulrachim Kresno tak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan judicial review atas norma presidential threshold.
Sehingga, MK menolak gugatan Rizal dan Abdulrochim terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut.
"Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan seterusnya, amar putusan mengadili menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Hakim Ketua Mahkamah Anwar Usman dalam siaran kanal YouTube Mahkamah Konstitusi, Kamis (14/1/2021).
Mahkamah juga menyebutkan, bahwa permasalahan berapa banyak jumlah orang yang bisa ikut capres, bukanlah masalah konstitusionalitas.
Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim menilai ambang batas presiden dalam pemilu 2019 tak memberi kerugian secara konstitusional kepada pemohon.
Menurut hakim, pemilih pada Pemilu legislatif 2019 dianggap telah mengetahui bahwa suara mereka akan digunakan untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden.
"Pemohon I mestinya menunjukkan dukungan dalam batas penalaran yang wajar menunjukkan bukti dukungan itu ke MK," jelas Hakim MK.
Sebelumnya diberitakan, ekonom Rizal Ramli mengajukan gugatan uji materi terhadap UU No. 7/2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Poin utama gugatan adalah penghapusan ambang batas syarat mencalonkan presiden atau presidential threshold menjadi 0 persen.
Rizal mengajukan gugatan tersebut bersama rekannya saat dipenjara pada 1978 lalu, Abdul Rachim Kresno. Waktu itu, keduanya berjuang agar sistem di Indonesia berubah dari otoriter menjadi demokratis. Kini, mereka mengajukan gugatan agar Indonesia bisa mempertahankan prinsip demokrasi.
Rizal dan Abdul Rachim mendaftarkan gugatan itu ke MK dengan tanda terima bernomor 2018/PAN.MK/IX/2020. Adapun yang bertindak sebagai kuasa hukum adalah Refly Harun bersama Iwan Satriawan, Maheswara Prabandono, dan Salman Darwis.
Usai mendaftarkan gugatannya, Rizal mengatakan, satu alasannya meminta agar presidential threshold diubah menjadi 0 persen karena demokrasi saat ini dinilai menjadi seperti kriminal.
"Kita berubah dari sistem otoriter ke sistem demokratis. Awalnya bagus. Tapi makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal," kata mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat (4/9).
Menurut dia, dengan menghapus ambang batas alias semua parpol peserta pemilu bisa mengajukan capres-cawapres, pemimpin yang dihasilkan dianggap lebih berkualitas dan terhindar dari money politic karena aturan presidential threshold.
"Kita ingin hapuskan (presidential threshold-Red) jadi nol, sehingga siapa pun putra putri Indonesia terbaik bisa jadi bupati, bisa jadi gubernur, bisa jadi Presiden. Karena kalau enggak, pemimpin yang dihasilkan itu ya istilahnya modal gorong-gorong saja bisa jadi. Main TikTok saja bisa kepilih jadi gubernur. Hancur enggak nih republik?" ucapnya.
Mantan Menko Maritim itu mengungkapkan, threshold 20 persen kursi DPR telah melahirkan praktik 'sewa parpol' untuk menjadi capres-cawapres.
Bahkan, untuk maju sebagai calon di pilkada, baik pilbup atau pilwalkot pun harus menyetor sejumlah uang ke parpol. Nilainya pun fantastis, mencapai ratusan miliar.
"Bahasa sederhananya, kalau mau jadi bupati mesti nyewa partai. Sewa partai itu antara Rp 30 miliar sampai Rp 50 miliar," tuturnya.
Rizal menyatakan, praktik itu juga terjadi di ajang pilpres. Ia bahkan mengaku pernah ditawarkan maju pilpres pada 2009 asalkan membayar sejumlah uang ke partai. Tarif untuk pilpres pun disebut lebih gila-gilaan.
"Saya 2009 pernah ditawarin: ’Mas Rizal dari kriteria apa pun lebih unggul dibandingkan yang lain. Kita partai mau dukung, tapi kita partai butuh uang untuk macam-macam.’ Satu partai mintanya Rp 300 miliar. Tiga partai itu Rp 900 miliar. Nyaris Rp 1 triliun. Itu 2009. 2020 lebih tinggi lagi. Jadi yang terjadi ini demokrasi kriminal," tukasnya.
Rizal menilai, praktik itu yang merusak Indonesia, dan harusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) fokus pada praktik money politics. Ia juga menyebut, MK melegalkan praktik politik uang karena threshold dibiarkan di UU Pemilu.
"Saya harap kali ini, saya akan bujuk teman-teman MK, marilah kita berpikir untuk Indonesia yang lebih hebat, yang lebih makmur. Kita hapus threshold ini supaya kalau tidak, threshold ini jadi sekrup pemerasan," tandasnya.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul https://wartakota.tribunnews.com/2021/01/24/rizal-ramli-sebut-mahkamah-konstitusi-lanjutkan-demokrasi-kriminalmodal-gorong-gorong-jadi-presiden?page=all