Rafael menjelaskan rasionalisasi logis dari Tritura tersebut, menurutnya wisata super premium Labuan Bajo menabrak UU Konservasi Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Lebih lanjut, keinginan Presiden Jokowi untuk membangun kawasan Labuan Bajo sebagai kawasan wisata super premium diangap para aktivis adalah upaya politik di dalam memboikot sumber daya pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat.
Menurutnya, Perpres BOPLF yang menjadi perangkat regulasi daripada rencana Presiden Jokowi 'mem By Pass' UU Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan UUD Tahun 1945 pasal 33 tentang Ekonomi, sosial budaya, Hak asasi Manusia dan Politik (Ekosob).
"Kemudian, penguasaan sumber daya oleh BUMN melalui Pelabuahan Marina dan Kapal KMP Komodo milik BUMN, yang ada di Labuan Bajo juga merupakan upaya memarjinalkan pelaku usaha wisata lokal Manggarai Barat dari sektor pariwisata, sebab perusahaan BUMN hadir sebagai pesaing rakyat yang berekonomi lemah (mikro kecil dan menengah) yang sedang merangkak dari bawah," katanya.
Hal tersebut, lanjut Rafael, dinilai tidak adil. Pemerintah hadir bukan menjadi pesaing rakyat atau menjadi pebisnis akan tetapi sebagai regulator di dalam pemberdayaan ekonomi rakyat kecil.
"Namun apa yang terjadi di Labuan Bajo? presiden hadir sebagai raksasa yang bersaing dengan orang lokal, di mana letak keberpihakan presiden Indonesia sebagai bapak negara, di dalam kaitanya dengan pelaksanaan UUD tahun 1945, Pancasila khususnya sila keadilan sosial dan perekonomian? Kami mempertanyakaan keberpihakan Presiden Joko Widodo di sini," tegasnya.
Lebih lanjut, kapal-kapal wisata lokal yang saban tahun bekerja sebagai nelayan, sekarang sudah mengais rezeki dengan membawa wisatawan ke Pulau Komodo TNK, hanya untuk demi meningkatkan taraf kehidupan ekonomi, banya putra-putri daerah Manggarai Barat yang sudah mengambil bagian di dalam usaha bisnis pariwisata Kabupaten Manggarai Barat.
"Namun apa yang terjadi? Presiden Jokowi menghadirkan suatu Istilah baru yakni 'Wisata Super Premium', yang merupakan kamus baru di dalam dunia pariwisata. Wisata Super Premium yang tidak tahu kegunaanya untuk siapa? Dialamatkan untuk kepentingan siapa? Dan pemain-pemainya investor siapa? Dan posisi masyarakat lokal dimana? Tentu bagi saya selaku aktivis, menjadikan peran pemerintah dalam hal ini presiden melalui BOPLF sebagai episentrum baru dalam pembangunan pariwisata adalah suatu ironi dan penuh paradoks," ungkapnya.
Hal yang lebih aneh lagi, kata Rafael, adalah dengan dorongan investasi yang super premium tersebut, Presiden Jokowi ingin mengubah kawasan TNK khususnya pulau Rinca atau Loh Buaya sebagai Taman Kota atau Geopark.
Pembangunan Geopark menurut pemerintah adalah upaya untuk membuat komodo 'berkeliaran' di dalam taman tersebut, namun hal ini dinilai sebagai suatu ide 'gila' yang pertama kali muncul semenjak TNK disahkan pada 1980 sebagai kawasan konservasi oleh pemerintah dan Cagar Biosphere and research oleh UNESCO.
"Apa yang terjadi? Di dalam kepentingan investasi Joko Widodo memberikan izin pembangunan rest area di Pulau Rinca dan Pulau Padar sebagai satu kesatuan ekosistem alam Satwa komodo. Perusahan yang sudah diberikan Izin mendirikan rest area adalah PT KWE di Pulau Rinca dan PT. KSL di Pulau Padar TNK," katanya.
Pada tahun 2020 ini, jelas Rafael, di momentum pandemi Covid-19, Presiden Jokowi hendak membangun sarana prasarana (sarpras) di Pulau Rinca yang diberi nama GEOPARK.
Menurutnya, merujuk beberapa pasal dan ayat di dalam UU Konservasi Nomor 5 tahun 1990 Pembangunan apapun yang merusak ekosistem alam atau ekosistem kawasan konservasi tidak di perbolehkan.
Namun demikian, kebijakan ini dinilai melanggar UU konservasi tersebut.
Berikut adalah pasal yang dinilai dilanggar oleh Presiden Jokowi yakni, pasal 19 ayat (1) dan (3).