Opini Pos Kupang

Toleransi Membunuh Toleransi

Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Logo Pos Kupang

Kemungkinan faktor ketiga, bila memang terdapat mahasiswa HTI di kampus-kampus kita, kriteria atau implementasi kriteria seleksi tidak kritis dan longgar.

Universitas-universitas kita seharusnya tidak mengejar kuantitas mahasiswa untuk mengisi kuota dan kursi kosong di kampus, tetapi menerapkan sensor yang menyasar kualitas mahasiswa.

Faktor keempat, menurut saya paling esensial, masyarakat NTT memiliki konsepsi toleransi yang multiplural dan tidak normatif. Ketidakjelasan seperti ini justru dengan mudah dimanfaatkan kaum radikal bahkan di ranah hukum.

Tentu saja masih terdapat banyak faktor. Ketiga faktor sebelumnya sangat mudah untuk diselesaikan ketika para "stakeholders" dan lembaga terkait mengetahui kekurangan mereka. Saya ingin mengulas faktor terakhir.

Konsepsi Toleransi

Saya kira baik bila semua lapisan masyarakat NTT memiliki lensa toleransi yang sama. Kesamaan lensa akan membantu kita untuk membidik dengan `frame' yang tepat. Karena itu, toleransi membutuhkan konseptualisasi yang definitif, minimal sebagai `ethical guideline'. Definisi membantu kita untuk mematok dan memangkas intoleransi.

Jika toleransi dimaknai sebagai menerima orang dan mengizinkan praktik-praktik mereka meskipun kita sangat tidak setuju hanya akan menjatuhan ke dalam zona "blurred", "a puzzling attitude".

Orang yang berbuat jahat pun akan kita terima walaupun kita mungkin menolak kejahatan. Negara demokrasi pluralistik-radikal juga membutuhkan trajektori agar idealitas-idealitasnya dapat diimplementasikan (Bdk. Mouffe & Laclau, 1985, 1990, 1992, 2000).

Toleransi memiliki makna yang luas, "Even though we disagree, they are as fully members of society as I am. They are as entitled as I am to the protections of the law, as entitled as I am to live as they choose to live. In addition (and this is the hard part) neither their way of living nor mine is uniquely the way of our society. These are merely two among the potentially many different outlooks that our society can include, each of which is equally entitled to be expressed in living as one mode of life that others can adopt. If one view is at any moment numerically or culturally predominant, this should be determined by, and dependent on, the accumulated choices of individual members of the society at large" (Scanlon. 2003).

Adapun di dalam hidup bernegara, toleransi berarti mengindahkan hak legal dan politik seseorang. Hak legal dan politik berbeda dari hak hidup. Hak hidup dibawa setiap orang sejak keberadaannya, tetapi hak legal dan politik diberikan dan dijamin oleh negara.

Konsekuensinya, bila negara mencabut hak-hak tersebut, seseorang kehilangan klaim pemenuhannya. Di dalam konteks Indonesia, toleransi kita selalu pancasilais (Bdk. E.Ramage, 1995).

Maka, toleransi kita tidak bisa melebihi, bertentangan apalagi menolak Pancasila. Setiap kelompok yang menolak Pancasila dengan demikian mengeluarkan dirinya dari lingkaran Pancasila. HTI tidak terutama dieliminasi hak legal dan politiknya oleh negara, tetapi mengeluarkan diri sendiri dari bidikan paradigmatis Pancasila.

Toleransi Membunuh Toleransi

Toleransi yang benar tidak berarti mentolerir apa saja, tetapi tahu kapan dan bagaimana harus menerapkan prinsip toleransi "it is the art of knowing when and how to tolerate" (Budziszewski, 1992). Toleransi adalah "a human virtue". Keutamaan berarti "much more than a readiness to follow a rule; it includes, in fact, a developed ability to distinguish good rules from bad, and to choose rightly even where there are no rules or where what rules there are seem to contradict each other" (Budziszewski, 1992).

Sebagai keutamaan, toleransi tidak berarti membiarkan semua praktik hidup dan ideologi. Toleransi juga tidak berarti mengikuti aturan secara literaris-positivistik. Toleransi bahkan mendorong penggunaan fitrah etis tatkala terdapat vacuum kaidah hukum.

Kelompok radikal seperti HTI tidak hanya tidak mengikuti kaidah hidup bernegara berbasis Pancasila, tetapi juga merongrong kebebasan hakiki kita sebagai manusia. Mereka mencabut ruang kebebasan setiap orang untuk berkreasi sebagai manusia dengan memaksakan konsepsi totaliter `khalifah'nya. Dengan demikian, mengusung toleransi atas intoleransi HTI adalah membunuh toleransi di NTT. (*)

Berita Terkini