Dituntut 5 Tahun Penjara, Sofyan Basir Terkejut, Begini Kata Penasihat Hukum Soesilo Aribowo

Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, Sofyan Basir (kanan) menerima salinan berkas tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/10/2019). Mantan Dirut PLN tersebut dituntut hukuman lima tahun penjara dengan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara.

Syaratnya, kepemilikan saham anak usaha PT PLN minimal 51 persen. Jaksa memandang, Sofyan turut mengizinkan Kotjo dan Eni berbicara lebih lanjut bersama Supangkat untuk membahas proyek itu.

Sofyan, lanjut jaksa, juga kerap kali bertemu dengan Kotjo dan Eni di sejumlah tempat, seperti BRI Lounge, restoran Arkaida, kediaman Sofyan dan kantor pusat PT PLN.

"Terdakwa mengarahkan Nicke Widyawati yang pada saat itu menjawab selaku Direktur Perencanaan PT PLN untuk tetap memasukkan proyek IPP PLTU Mulut Tambang 2x300 MW di Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero)," ujar jaksa.

Menurut jaksa, berdasarkan fakta, pada sekitar awal 2017, Sofyan mengajak Nicke dan Supangkat bertemu Eni dan Kotjo. Saat itu, Sofyan diminta Eni dan Kotjo agar proyek itu dicantumkan dalam RUPTL PT PLN tahun 2017-2026.

Sofyan pun, kata jaksa, meminta Nicke mengurus permintaan tersebut. Jaksa mengungkapkan, Sofyan juga diketahui menandatangani power purchase agreement (PPA) proyek itu.

Padahal, rangkaian prosedurnya ada yang dilalui dan dilakukan tanpa membahas bersama jajaran direksi. Sementara, menurut jaksa, dalam persidangan sejumlah direksi PT PLN ada yang tidak mengetahui penandatanganan tersebut.

Namun, mereka tetap diminta menandatangani persetujuan sirkuler direksi. Padahal dalam persidangan juga terungkap bahwa ada beberapa direksi PT PLN yang sebelumnya tidak pernah mengetahui mengenai adanya penandatangan PJBTL/PPA namun kemudian diminta untuk menandatangani persetujuan direksi secara sirkuler.

Beberapa di antaranya adalah Direktur Keuangan PT PLN Sarwono Sudarto dan Direktur Human Capital Management PT PLN Muhamad Ali.

"Yang bersangkutan (Sarwono) baru menandatangani persetujuan direksi secara sirkuler, jauh setelah terdakwa menandatangani PJBTL/PPA yaitu pada Mei 2018. Lebih lanjut, Muhamad Ali selaku Direktur Human Capital Management baru menandatangani persetujuan direksi secara sirkuler pada Januari 2018," kata jaksa.

Menurut jaksa, hingga KPK menangkap Eni dan Kotjo, Sofyan justru tak membatalkan kesepakatan pembangunan proyek tersebut dengan BNR dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa Kotjo.

Padahal negosiasi dengan CHEC sudah terlalu lama, dan Sofyan malah pernah menyampaikan untuk segera mengganti CHEC dengan investor lain.

"Karenanya 'ancaman' penggantian CHEC Ltd selaku investor harus diartikan hanya sekadar kata-kata. Lebih khusus lagi terdapat peristiwa di mana sekitar 3 bulan, terdakwa malah memberikan arahan untuk memberikan waktu deadline 2 minggu lagi kepada CHEC Ltd saat diinformasikan oleh Iwan Agung Firstantara bahwa CHEC masih belum bersedia menandatangani PPA," papar jaksa.

Jaksa juga memaparkan, meski Sofyan belum menerima manfaat dalam perkara ini, hal itu tak menjadi syarat pembantuan atau medeplichtige. Karena, kata jaksa, sebagai pihak yang membantu, tidak harus ada manfaat yang diperoleh Sofyan. Karena penerima manfaat melekat pada Eni, Idrus Marham dan Kotjo.

"Secara umum dalam pembantuan orang yang membantu tidak harus memperoleh manfaat yang didapat dari orang yang dibantu. Dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah memberikan kesempatan kepada Johannes Kotjo untuk mendapat proyek pembangunan PLTU MT Riau-1," kata jaksa.

Sofyan terkejut

Halaman
1234

Berita Terkini