Kisah Warga Resettlemen Tanah Merah Kupang, Belasan Tahun Tak Pernah Dapat Bantuan

Penulis: Ryan Nong
Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pasangan Paulinho Pinto (63) dan Maria Otu (50), warga resetlemen 28 Desa Tanah Merah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang di depan rumah mereka, Minggu (9/6/2019).

Kisah Warga Resettlemen Tanah Merah Kupang, Belasan Tahun Tak Pernah Dapat Bantuan

POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Kisah warga resetlemen tanah merah, belasan tahun tak pernah tersentuh program pemerintah.

Rumah bantuan pemerintah itu tampak tua. Berdinding setengah tembok dengan paduan atasan bebak yang tampak menua. Di beberapa sisi, bebak itu menyisihkan lubang lubang yang menganga.

Temboknya pun tak lagi bisa dikatakan putih, pecah di beberapa sisinya. Pada pangkal dinding di bagian depan rumah, jejeran karung berisi pasir menyadari tembok. Di samping kanan, tampak beberapa potong batang kayu diletakan menyangga dinding itu. Terlihat seolah ingin menjaga agar dindingnya tak terjungkal.

Menurut Hakim, Karen Agustiawan Terbukti Menguntungkan Korporasi Rp 568 Miliar, Ini Unsurnya

Pintu depan yang terbuat dari kayu pun tampak tak lagi utuh. Tak lagi dapat dibuka dengan nyaman. Rumah itu tampak miring ke arah kanan dengan atap yang terangkat pada beberapa sisinya.

Ada sebuah bale-bale usang di sisi kanan rumah, persis bersebelahan dengan dapur yang dindingnya juga telah ditambali terpal pada beberapa bagiannya. Di atas bale bale itu, sepasang suami-istri baya tampak duduk.

Penjelasan Wiranto, Selasa Esok Polri Buka-bukaan soal Dalang Kerusuhan 21-22 Mei

Itu pasangan suami istri Paulinho Pinto (63) dan Maria Otu (50). Orang tua yang mendiami rumah repot itu.

Usai bersalaman dan berkenalan, POS-KUPANG.COM mulai mengajak mereka berdua berbincang. Informasi tentang mereka, sebelumnya telah POS-KUPANG.COM peroleh dari salah satu warga di tempat itu, tetangga mereka.

Mereka merupakan bagian dari warga pertama yang mendiami lokasi resetlemen itu. Usai mengalami konflik di Timor Leste, mereka memilih tinggal di Kupang dan menempati lokasi Resetlemen 22 RT.15/RW.08 Desa Tanah Merah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

Kepada POS-KUPANG.COM, Pinto berkisah. Awalnya, mereka tinggal di tempat itu hanya bersama beberapa keluarga. Ia dan istrinya dan beberapa keluarga lainnya menempati empat rumah yang di bangun pemerintah di area Resetlemen 22.

"Kami mulai tinggal di sini kalau tidak salah sejak tahun 2007," katanya.

Ia mengatakan, meskipun dalam kondisi terbatas, mereka memilih tetap bertahan di lokasi itu. Di rumah tersebut, ia hanya tinggal bersama istrinya yang juga telah berusia lanjut.

Anak-anaknya, lanjutnya telah berkeluarga dan memilih untuk menjadi warga negara Timor Leste (RDTL). Ia dan istrinya saja yang tetap bertahan di tempat itu dengan pekerjaan seadanya.

Ia sehari hari memelihara beberapa ekor ternak, bertani dan mengambil batu. Sedang istrinya, lebih sebagai ibu rumah yang sesekali membantunya dalam pekerjaannya.

Ia menceritakan, rumah mereka saat ini telah terancam rubuh. Ia berusaha untuk menjaganya tetap tegak dengan menopangkan bebarapa balok kayu pada tiang dan dinding di sisi-sisi rumah.

"Kami sehari hari tidur di dapur, takut kalau-kalau rumah itu rubuh. Apalagi pas (saat) ada angin kencang, pasti rumah itu goyang," lelaki brewok beruban itu berkisah.

Tak hanya makan seadanya, ia juga berkeluh tentang sulitnya memperoleh air di tempat itu. Bagi keluarga yang tak memiliki pendapatan pasti bulanan dalam bentuk uang cash seperti mereka, membeli air dari tangki adalah sesuatu yang sangat mewah. Apalagi mereka tak mampu membuat ataupun menyediakan bak.

Maka, mau tidak mau, saban hari ia dan istrinya harus berjalan sejauh 2 km untuk mengambil air di sungai untuk keperluan minum dan memasak.

Ia mengatakan, pernah sekali pada saat musim kampanye, ada seorang calon legislatif yang datang ke tempat mereka dan menjanjikan untuk mengusahakan sumur bor di lokasi mereka. Saat itu menjanjikan untuk membangun sumur bor di tiga titik resetlemen, yakni titik 22, 48 dan 28.

Namun, itikad baik itu dimentahkan oleh kepala desa. Kepala desa berkeras bahwa tanah yang ditentukan menjadi lokasi sumur bor tersebut tak memiliki izin, serta untuk pembangunan sumur bor, ia menggaransikan akan ditanggung oleh desa. Hasilnya, setelah berselang beberapa waktu pasca janji sang caleg, satu lokasi yang ditentukan oleh caleg saat ini telah menikmati air, sedang lokasi yang digaransi kepala desa tidak tahu timbanya.

Ketika disinggung tentang banyaknya bantuan dan program yang disediakan negara untuk keluarga tidak mampu, ia hanya tersenyum.

Dengan getir ia hanya berucap "kita malu, kita perasaan kalau mau minta-minta. Kalau pemerintah tidak mau lihat ya sudah."

Sejak tinggal di tempat itu, pasangan itu tidak mendapatkan bantuan apapun dari sekian banyaknya program-program pemberdayaan dan program kesejahteraan yang disediakan negara.

Meski mereka terdaftar sebagai warga RT.15/RW.08 Desa Tanah Merah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang dengan identitas KTP yang masih berlaku, mereka tidak pernah mengakses berbagai macam bantuan.

Jangankan untuk Program Keluarga Harapan (PKH), untuk program dasar seperti beras sejahtera (rastra) saja mereka tidak diikutkan. Apalagi dengan akses Kartu Indonesia Sehat atau BPJS Kesehatan.

Padahal, kasat mata saja orang awam dapat menilai bagaimana tingkat kehidupan ekonomi pasangan tersebut.

"Selama ini kita tidak terima (bantuan), sejak 2007 sampai sekarang tidak pernah. Kalau pemerintah mau kasih ya kasih, kalau tidak ya kita bilang apa?" timpalnya pasrah.

Alexander Mau Kali (51), warga lainnya juga menyayangkan "kebutaan" pemerintah setempat melihat kondisi riil warganya. Ia mengatakan, keluarga seperti Pinto sudah seharusnya memperoleh bantuan pemerintah. Apalagi dengan kondisi kehidupan ekonomi yang sangat sulit dan saat ini hanya hidup berdua dengan pasangannya yang sama sama baya.

"Harusnya mereka ini dapat bantuan, tapi rupanya sampai sekarang tidak ada," katanya.

Ia bahkan mengatakan, dari ratusan kepala keluarga di tempat itu, hanya 74 kepala keluarga yang mendapat aneka bantuan. Anehnya, ia berkisah, bahkan ada warga yang memiliki kartu tetapi tidak mendapatkan bantuan fisik, sedangkan ada yang tidak memiliki kartu tapi mendapat bantuan.

"Di sini, yang mulut hidup dan dekat dengan orang tertentu pasti dapat, kalau kita yang lain yang tidak tau omong pasti tidak dapat," ujarnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ryan Nong)

Berita Terkini