Pdt Dr Mesakh Dethan: Jalankan Demokrasi yang Damai, Bebas dan Jangan Intimidasi
POS-KUPANG.COM - "Biarkan rakyat menentukan nasib dirinya dan bangsanya melalui pemilu damai, tanpa diliputi rasa takut, cemas dan ketakutan lainnya akibat intimidasi atau pengarahan opini yang bersifat sepihak. Kita tidak akan bisa menghasilkan pemimpin yang berkualitas, jika jualan kita hanya menciptakan ketakutan dan membenturkan antara pancasila dan khilafah, antara nasionalis dan sektarian, antara, partai A yang nasionalis dan partai B anti kebhinekan dan anti NKRI.
Jika cara berpolitik kita hanya ada pada taraf ini, maka kita belum berdemokrasi secara dewasa atau lebih tepat disebut demokrasi ke kanak-kanakan", demikian cuplikan pemikiran dari Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, Dosen Universitas Kristen Artha Wacana Kupang ketika diminta pendapatnya seusai membawakan materi teologi Politik dalam dalam pada acara Semiloka Pendidikan Politik GMIT yang diselenggarakan oleh MS GMIT dibawa koordinasi Pdt. Obby Millu, STh, bagi Klasis-klasis se Rote Ndao, di Gereja Agape Oele, Klasis Rote Tengah, 9 dan 10 April 2019.
Menurur Dr Mesakh Dethan para calon presiden, para caleg dan partai-partai yang berpartisipasi dalam pemilu serentak 17 April 2019 telah memenuhi persyaratan perundangan Negara Kesatuan Repuplik Indonesia.
Dan mereka semua telah syah dan menyakinkan mengikuti pemilu tersebut. Dan karena itu tidak boleh lagi upaya mendiskreditkan, upaya cuci otak dan membentuk opini masyarakat dengan menciptakan ketakutan-ketakutan yang bersifat ke kakanak-kanakan.
Itu seumpama anak-anak yang dilarang bermain di luar halaman rumahnya oleh orang tuanya, dengan ancaman kalau keluar dari halaman rumah nanti ada singa yang siap menerkam.
Selanjutnya menurut Doktor Perjanjian Baru lulusan Jerman ini kepada Pos Kupang, menegaskan hendaknya peranan gereja menjalakan tugas pastoralnya kepada semua pihak agar sampai pada hari pencoblosan 17 April 2019 semua pihak mampun menunjukan demokrasi politik yang dewasa dan mengajak para politisi untuk berpolitik secara santun dan jauh dari kecurangan dan money politics.
Partisipasi gereja dalam poltik pada satu pihak bukan saja mempersiapkan warganya untuk menjadi poltisi yang baik tetapi juga mempersiapkan rakyat untuk berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab dalam politik tanpa rasa takut, tanpa intimidasi tetapi dalam suasana damai dan bebas.
Mengapa rakyat penting?
Menurut Mesakh Dethan pemilu adalah kesempatan bagi rakyat untuk menyatakan sikap dan pilihan politiknya, untuk menilai, mengevaluasi dan bahkan “mengadili” pemerintah yang sedang berkuasa, dan juga suatu kesempatan emas untuk memilih partai atau caleg mana yang dipercaya mampu dan mau memperjuangan aspirasi konstituen dan nasib bangsa Indonesia ke depan yang bisa bersaingan secara global dengan bangsa lain di dunia ini.
Pemilu adalah kesempatan bagi rakyat untuk memperlihatkan bahwa mereka (rakyat) adalah pemerintah yang sesungguhnya – demokrasi adalah die Regierung der Regierten (Bahasa Jerman artinya “pemerintah” dari yang berkuasa).
“Artinya di atas pemerintah yang berkuasa ada tuannya yang memberi mandat itu sendiri yaitu rakyat. Karena itu, dalam Pemilu rakyat oleh gereja dipersipakan sebaik-baiknya agar tidak terbuai dengan janji-janji palsu para politisi, atau dengan omongan-omongan kosong dan klise dari para caleg, atau program-program yang tidak masuk akal yang dilontarkan oleh para petinggi parpol", tandas Akademisi UKAW ini.
“Bagaimana mungkin orang bisa memberikan janji-janji muluk yang tidak masuk diakal dengan keadaan indonesia yang lagi terpuruk secara ekonomi, nilai tukar rupiah yang rendah, BUMN-BUMN yang merugi dimana, hutang negara yang lagi membengkak, ketidakberdayaan indonesia yang terus mengimpor bahan pangan dan bahan lainnya yang semestinya bisa dihasilkan sendiri oleh rakyat Indonesia. Dalam hal inilah pendampingan pastoral gereja diperlukan agar menolong masyarakat bersikap kristis, bukannya gereja juga terseret dalam upaya menakut-nakuti massyarakat”, demikian Mesakh Dethan .
Pemilu adalah saat dimana nilai kekritisan dan akal sehat rakyat diuji. Sikap ini juga berlaku bagi pemilih yang beragama Kristen. Umat Kristen hendaknya menentukan pilihan bukan berdasarkan sentimen-sentimen primordial, fanatisme buta tanpa akal sehat, pengkultusan terhadap orang sampai-sampai bau kentutnya pun dianggap sebagai minyak wangi, melainkan berdasarkan pertimbangan politik yang rasional.
Artinya, memilih partai atau calon anggota legislatif yang telah terbukti atau yang dipercaya mampu memperjuangkan kepentingan dan aspirasi konstituennya.
Hindarilah caleg atau politisi yang hanya baru muncul saat mau ada pemilu, atau hanya pandai berjanji, tetapi tidak pernah realisai janji-janjinya, tetapi pilih mereka yang telah bertolak lebih dalam memahami aspirasi dan kebutuhan rakyat tanpa memandang suku, agama dan golongan.
Menentukan pilihan semata-mata berdasarkan sentimen-sentimen primordial, fanatisme buta tanpa akal sehat, pengkultusan pribadi atau kepentingan-kepentingan sesaat, itu berarti bahwa kita justru turut membuat bangsa kita semakin terperosok ke dalam jurang permasalahan yang tidak kunjung teratasi.
Jadi tugas pastoral gereja sekali lagi mempersiapkan warganya untuk mempertimbangkan secara matang pilihan-pilihan politik mereka, bukan karena ditakuti-takuti dengan kampanye hitam, atau diiming-imingi dengan sesuatu, baik berupa uang hasil serangan fajar atau janji-janji palsu.
Karena tanggal 17 April 2019 hari ini merupakan tahun yang penting bagi Bangsa Indonesia. Oleh karena pada hari ini rakyat Indonesia akan menentukan nasib ke depan dengan memilih anggota parlemen/legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah) baik di tingkat nasional, provinsi, kota maupun kabupaten dan juga serentak dengan Presiden dan Wakil Presidennya.
Mesakh Dethan mengingatkan bahwa sejak dari awal terbentuknya Republik Indonesia orang Kristen telah menunjukkan tanggung jawab dan sikap politik yang menentukan bagi perjalanan Bangsa Indonesia.
Setiap Pemilu pada akhirnya bermuara pada terbentuknya kekuasaan entah baru sama sekali atau merupakan kelanjutan dari kekuasaaan yang lama.
Dan kekuasaan itu baik atau buruk hanya dapat dinilai sepanjang kekuasaan itu dipergunakan untuk membangun kesejahteraan rakyat, yakni kesejahteraan dari orang-orang yang telah memberikan suaranya demi terbentuknya pemerintah dan pengawas pemerintah yang menjalankan kekuasaan itu.
Sebab sebuah pemilu bukanlah sekedar bertujuan menggantikan kekuasaan yang ada, tetapi setiap pemilu adalah kesempatan untuk memilih orang-orang yang nantinya mampu menggunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya demi kemajuan dan kemakmuran rakyat yang dipimpinnya.
Artinya bahwa para calon pemegang kekuasaan itu sama sekali tidak boleh menggunakan kekuasaan yang dipegangnya demi kepentingannya sendiri, tetapi bagi kepentingan rakyat.
Sebab politik menurut saya pada hakekatnya adalah jalan menuju kekuasaan, dan cara bagaimana menggunakan kekuasaan itu kemudian, serta pada akhir kemampuan untuk menilai, mengontrol dan mengawasi kekuasaan yang dijalankan tersebut.
Machiaveli pada tahun 1515 berkata „Politik ist die Summe der Mittel, die nötig sind, um zur Macht zu kommen und sich an der Macht zu halten und um von der Macht den nützlichsten Gebrauch zu machen“ (Bahasa Jerman artinya "Politik adalah seperangkat alat yang diperlukan untuk berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaan itu agar kekuasaan itu digunakan untuk memberikan manfaat bagi banyak orang)".
Akan tetapi pertanyaan mendasar adalah tetap sama „siapa yang pada akhirnya menikmati kekuasaan itu: “Rakyat atau atau hanya elite politik?"
Jawabannya adalah rakyat atau warga negara, sebab inti dari politik menurut Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama bagi rakyat banyak.
Oleh sebab itu suara orang Kristen, sebagai bagian dari warga negara RI, juga turut menentukan, apakah pemerintah dan wakil rakyatnya yang bertugas mengawasi pemerintah yang nanti dipilih dan terbentuk itu, kompenten dalam menjalankan tugasnya atau tidak.
Dalam hal ini sikap politik orang Kristen benar-benar diperlukan dan tidak sekedar menjalankan rutinitas lima tahunan atau sekedar ikut arus. Untuk itu orang Kristen Indonesia perlu dan harus mendasari sikap politiknya pada tradisi kekristen yang bersumber pada Alkitab itu sendiri.
Orang Kristen dipanggil oleh Tuhannya untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia, dan untuk memelihara alam ciptaan Tuhan. Tugas panggilan ini menjadi dasar utama bagi keterlibatan orang Kristen dalam politik, demikian Mesakh Dethan menutup percakapannya dengan Pos Kupang.
(*)