“Jika saja para kepala desa tidak menyetor atau membayar polis maka PT Asuransi bisa saja secara sepihak memutuskan kerjasama dengan para kepala desa namun yang terjadi adalah para kepala desa secara rutin membayar polis namun hingga jatuh tempo apa yang menjadi hak para kepala desa kok tidak segera dibayar. Ini merupakan suatu bentuk kejetahan keungan yang dilakukan oleh pihak asuransi,” kata Elias.
Elias mengatakan anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah yang dipotong langsung dari biaya tunjangan para kepala desa untuk asuransi adalah anggaran publik maka sudah sewajarnya kalau publik juga perlu tahu alasan apa yang mendasari hingga kini pihak asuransi belum juga mau membayar asuransi para kepala desa.
“Publik juga perlu tahu ada apa sebenarnya sehingga apa yang diklaim para kepala desa belum dibayarkan apa ada masalah interen terkait dengan keuangan pada asuransi misalnya bangkrut. Kalau memang bangkrut lalu apa solusinya kan tidak mungkin hilang begitu saja dengan alasan bangkrut karena kalau bangrut tentu pihak asuransi memiliki jalan keluar seperti menunjuk usaha lainnya untuk menanggulangi pembayarannya. Hal itu bukan barang baru karena kerap kali terjadi di Indonesia,” kata Elias. (*)