Opini Pos Kupang

DBD: Perang Berdarah yang Masih Salah Sasaran

Editor: Ferry Jahang
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Nyamuk

DBD: Perang Berdarah yang Masih Salah Sasaran

Oleh : Sherwin Ufi, SKM, MPH
ASN pada Dinas Kesehatan Kabupaten Rote Ndao.

DEMAM Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk terutama nyamuk Aedes aegypti.

Penyakit ini ditandai dengan gejala seperti demam tinggi mendadak selama 2-7 hari, sakit kepala dan sakit pada bagian belakang mata, mual dan muntah, tanda pendarahan berupa bintik merah di kulit (petekia).

Gejala DBD sering sulit dikenali karena tidak khas mirip dengan gejala penyakit menular lainnya. Diperlukan pemeriksaan langsung gejala klinis oleh dokter serta pemeriksaan lab.

Banyak orang tua yang cemas jika anaknya terkena demam, padahal belum tentu ia sudah terkena DBD.

Lebih baik jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat untuk diperiksa langsung oleh dokter agar jika ditemukan gejala DBD maka segera ditangani secara dini.

Penyakit DBD merupakan penyakit yang endemik yang muncul sepanjang tahun di banyak daerah tropis dan sub tropis, tetapi paling banyak muncul saat musim hujan karena pada saat itulah kondisi nyamuk sedang optimal untuk berkembang biak.

Akibatnya, banyak orang bisa terkena infeksi baik anak-anak maupun orang dewasa, walaupun Malavinge dkk (2004) melaporkan bahwa 90 persen kasus DBD terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun.

Ini menjadikan penyakit DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47 tahun terakhir sejak tahun 1968 hingga sekarang.

Tahun 1968 hanya terdapat 58 kasus DBD di dua kota dari dua provinsi di Indonesia.

Dalam kurun waktu 47 tahun, jumlah kasus dan persebarannya meningkat menjadi 126.675 kasus di tahun 2015 di 436 (85 %) kabupaten/kota di 34 provinsi (Pusdatin Kemenkes, 2016).

Dalam kurun waktu 50 tahun Incidence Rate (IR) atau frekuensi kasus baru DBD yang berjangkit dalam masyarakat di suatu tempat tertentu terus meningkat.

IR pada tahun 2011 mencapai 27,67 dan pada tahun 2016 mencapai 78,0 atau hampir 3 kali lipat dalam 5 tahun.

Tahun 2018 Kemenkes melaporkan sudah terjadi 53.075 kasus. Sebagai perbandingan, per 1 Februari 2019 saja sudah tercatat 15.132 kasus DBD di Indonesia.

DBD di NTT

Di NTT jumlah kasus DBD tak kalah tinggi. Sampai tanggal 19 Februari 2019 sudah tercatat 2.291 kasus dengan jumlah 24 orang meninggal.

Walaupun curah hujan sudah tidak semasif pada awal bulan, masih terdapat peningkatan 147 persen sejak tanggal 4 Februari 2019 dimana tercatat 1.563 kasus dan meningkat 171 persen sejak akhir Januari 2019.

Setidaknya tiga daerah di NTT dengan korban DBD terbanyak pun ditetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB), yaitu di Manggarai Barat, Sumba Timur dan Kota Kupang dan menjadikan NTT sebagai provinsi ketiga dengan kasus DBD tertinggi sejak akhir Januari 2019.

Namun demikian, mengingat bahwa penyebaran DBD sangat rentan terjadi karena faktor mobilitas penduduk dan iklim, maka penduduk di daerah kepulauan tropis semi-ringkai yang berdekatan dengan ketiga area tersebut pun perlu waspada.

Karena kasus DBD bisa disebarkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk. Kewaspadaan kita terhadap DBD menjadikan kita dapat menangani DBD dengan lebih baik.

Perang Melawan DBD

Secara epidemiologis, sudah ada standar penanganan DBD dimana merujuk pada Pedoman Penyelidikan Epidemiologi.

Artinya, jika ada kasus atau terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD, maka penanganannya tinggal mengikuti langkah-langkah yang ada.

Dalam Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan KLB, Kementerian Kesehatan RI merekemondasikan bahwa jika terjadi wabah DBD maka perlu dilakukan penyemprotan insektisida (2 siklus dengan interval 1 minggu),

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 4M plus (awalnya 3M plus), larvasidasi, penyuluhan di seluruh wilayah terjangkit KLB, dan kegiatan penanggulangan lainnya seperti pembentukan posko pengobatan dan posko penanggulangan KLB.

Menurut Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Anung Sugihantono, pada saat musim hujan, nyamuk bisa menghasilkan 2000 sampai 20.000an telur.

Kondisi ini menyebabkan fogging pun belum tentu efektif mengatasi penyakit DBD karena fogging hanya menurunkan populasi nyamuk dan tidak ada yang menyebutnya sebagai cara yang efektif.

Salah satu cara yang lebih efektif untuk berperang melawan nyamuk adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 4M plus.

PSN 4M, yaitu Menguras wadah air di bak mandi, tempayan, ember, vas bunga, tempat minum burung, penampung air kulkas dan sejenisnya, Menutup rapat semua wadah air agar nyamuk tidak dapat masuk dan bertelur,

Mengubur/memusnahkan semua barang bekas di luar rumah yang dapat menampung air hujan seperti kaleng bekas, pecahan botol dan sejenisnya, Memantau seluruh wadah air yang berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk.

Plusnya adalah upaya menghindari gigitan nyamuk seperti jangan menggantung pakaian bekas di belakang lemari, memelihara ikan di tampungan air,

membubuhkan larvasida, memakai obat nyamuk, tidur menggunakan kelambu, dan cara lain sesuai kearifan lokal.

Jangan Salah Sasaran

Kita perlu mengenali sarang nyamuk di sekitar kita terutama di rumah kita. Kebanyakan kita masih salah sasaran.

Jika kita berpikir bahwa Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan dengan cara memotong pohon, bersih-bersih rumput, menata bunga, maka itu keliru karena jentik nyamuk tidak bersarang di rerumputan.

Jangan kita mengira bahwa nyamuk Aedes aegypti senang bersarang di tempat kotor atau tidak terawat. Justru nyamuk ini lebih senang berada di air bersih yang dibiarkan tergenang.

Di tempat inilah nyamuk akan berkembang biak mulai dari jentik nyamuk hingga nyamuk dewasa.

Jika diamati dalam rentang waktu 4 tahun terakhir, NTT tidak selalu menjadi provinsi dengan kasus DBD yang tinggi.

Buktinya pada tahun 2015, Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI mencatat NTT sebagai provinsi dengan Incidence Rate (IR) dan

Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian penyakit DBD terendah di Indonesia, dimana IR-nya 0,68 dan CFR-nya 0,0 % alias tidak terdapat kasus kematian.

Tahun 2016, CFR di NTT naik tipis menjadi 0,2 % namun tetap menjadikan provinsi ini sebagai satu dari tiga provinsi dengan kasus kematian akibat DBD terendah di Indonesia.

Apakah pada tahun 2015 dan 2016 intervensi kita sudah tepat ataukah ada faktor eksternal lain yang berpengaruh terhadap hal itu?

Melihat naik turunnya jumlah kasus dan kematian DBD yang ada, tampaknya kita sudah siap terhadap faktor perubahan iklim (climate change), tetapi belum siap terhadap faktor tingginya mobilitas penduduk di NTT.

Mobilitas penduduk tertinggi biasanya terjadi pada saat pergantian tahun dimana banyak yang bepergian pulang kampung dan bertemu keluarga.

Awal musim hujan juga biasa terjadi pada saat pergantian tahun dimana mobilitas penduduk sedang tinggi-tingginya. Ini mempercepat penyebaran DBD.

Ketiga daerah di NTT yang terkena wabah DBD terbanyak merupakan area-area destinasi mobilitas penduduk. Selain itu, NTT mulai terkenal sebagai salah satu destinasi pariwisata.

NTT yang pernah mencetak rekor sebagai provinsi dengan CFR DBD terendah di Indonesia 4 tahun silam.

Mungkin tidak lagi meraih rekor yang sama pada masa mendatang, jika kita tidak mengantisipasi arus mobilitas penduduk dan perubahan iklim secara dini dan berkelanjutan.

Bagaimana jika mobilitas penduduk tertinggi bukan terjadi pada pergantian tahun, tetapi pada saat festival budaya atau hari raya tertentu dan pada saat itu terjadi perubahan iklim?

Ini menjadikan kita selalu waspada bahwa DBD bisa terjadi kapan saja sepanjang terdapat perubahan iklim dan tingginya mobilitas.

Kedua faktor tersebut ibarat `makanan' bagi si nyamuk yang sudah membunuh banyak nyawa.

Hendaknya penanganan DBD menjadi perhatian serius bagi kita semua. WHO sendiri memberi perhatian serius bagi isu kesehatan ini.

Memang ada banyak isu kesehatan, tetapi tahun ini ada 10 isu kesehatan global yang menuntut perhatian WHO diantaranya DBD (dengue fever) dan perubahan iklim.

WHO telah menargetkan untuk mengurangi kematian akibat DBD menjadi 50% pada tahun 2020. Dengan cara yang efektif, angka kesakitan serta kematian akibat DBD bisa ditekan.

PSN 4M Plus dan Laskar Jumantik

Cara efektif untuk menangani langsung DBD selain melalui PSN 4M plus adalah melalui gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (1R 1J).

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyarankan agar setiap rumah menetapkan satu anggota keluarganya sebagai juru pemantau jentik atau Jumantik.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Gubernur NTT melalui Surat Edaran tanggal 31 Januari 2019 tentang Gerakan Serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Demam Berdarah dengue (DBD). Jumantik adalah laskar pada garis depan yang berperan mengubah perilaku penghuni rumah ke arah yang lebih sehat dan bersih.

Jumantik juga mengawal gerakan PSN 4M plus. PSN 4M plus ini perlu dibudayakan di kota dan kabupaten se-Nusa Tenggara Timur.

Spielman dan D'Antonio (2001) pernah menulis bahwa nyamuk yang kecil telah menjatuhkan pemimpin-pemimpin besar dan menentukan nasib bangsa-bangsa.

Memang banyak kehidupan manusia yang direnggut oleh nyamuk melebihi hewan apapun di dunia.

Malaria mengambil jutaan nyawa setiap tahunnya, kini DBD menjadi pengganggu, ia menoreh kesakitan dan menjadi malaikat kematian. Semoga kita tidak salah sasaran. (*)

Berita Terkini