Ia terpilih ke komisi III yang membidangi hukum dan menjadi wakil ketua, dan terus di sana sampai terpilih kembali dalam pemilihan umum legislatif Indonesia 2009.
Pada 15 November 2011, ia dipindahkan ke komisi IV yang membidangi antara lain BUMN dan perdagangan, sekaligus ke Badan Kehormatan DPR menggantikan Ansory Siregar.
Posisinya sebagai wakil ketua di komisi tersebut digantikan oleh Nasir Djamil, rekannya di fraksi PKS.
Pada Mei 2013, Fahri dan Nasir (yang sebelumnya dipindahkan ke komisi VIII), dikembalikan ke komisi III.
Kontroversi
Dana nonbudjeter DKP
Pada bulan Juni 2007, setelah menjabat sebagai anggota DPR, Fahri mengaku menerima dana nonbudjeter di Departemen Kelautan dan Perikanan sebesar Rp 150 juta dari Rokhmin Dahuri yang menjabat sebagai menteri kelautan saat itu.
Pada berita acara pemeriksaan, Fahri mendapat Rp 200 juta. Fahri mengaku mendapat dana tersebut pada periode 2002-2004 sebagai pembuat makalah pidato Rokhmin sebelum dirinya menjabat di DPR.
Sebulan kemudian, Badan Kehormatan DPR memutuskan Fahri bersalah menerima dana nonbudjeter itu. Ia dilarang menjabat pimpinan alat kelengkapan dewan sampai 2009.
Sanksi dari BK DPR sempat menuai protes keras dari fraksi PKS yang saat itu dipimpin Mahfudz Siddiq.
Mahfudz menyatakan bahwa wakil ketua BK, Gayus Lumbuun, berusaha menggiring Rokhmin untuk Fahri bersalah dalam kasus dana nonbudjeter tersebut.
Tetapi, setelah pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Fahri dinyatakan bersih.
Pembubaran KPK
Pada 3 Oktober 2011, Fahri mengusulkan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sebuah rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi dengan Polri, Kejaksaan Agung dan KPK sendiri.
Ia beralasan KPK gagal menjawab waktu delapan tahun untuk menangani korupsi sistemik dan mengklaim DPR sudah memberikan dukungan luar biasa untuk pemberantasan korupsi.