Ia pemecah rekor nasional nomor lari 100 meter PON Remaja 2014 di Surabaya (Sayangnya ini PON Remaja pertama dan terakhir karena sesudah itu tidak ada lagi PON Remaja). Ia peraih emas pada Asean School Games 2017 di Singapura. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Sederet prestasi Zohri tampil mengisi ruang ruang publik, baik nasional maupun mancanegara. Hampir semua media nasional, baik itu media eletronik, media cetak maupun media sosial memberitakannya.
Bahkan beberapa media cetak Asia menurunkan tajuk "Zohri, the first world champion from Asia." Ia memang bikin sejarah baru bagi Asia.
Seketika Zohri kebanjiran hadiah. Dari Pegadaian ada satu kilogram emas. Dari Menpora ada 250 juta rupiah. Dari Metro TV ada 100 juta rupiah. Dari TNI AD ada janji Zohri boleh masuk TNI AD tanpa test. Dari Kepolisian RI rumahnya langsung direnovasi.
Ada pula 250 juta rupiah dari Gubernur NTB yang fenomenal, Tuanku Guru Bajang. Ada kerja gotong royong membeton gang masuk rumahnya. Masih banyak lagi hadiah lain.
Dibalik kemilaunya prestasi Zohri, hidupnya selama ini ternyata adalah sebuah ironi. Ia pelari yang nyaris tidak bisa berangkat karena ketiadaan biaya (untung ada Bob Hasan, ketua umum Pengurus Besar PASI).
Ia hidup sangat sederhana dari cinta sang kakak Fazilla. Ia pelari yang sering berlatih sendiri di pantai tanpa alas kaki karena tidak mampu beli sepatu. Ia yatim piatu yang baru saja ditinggalkan kedua orang tuanya untuk selamanya.
Ia tinggal di rumah rapuh yang tidak layak huni. Rumah itu hanya berdindingkan anyaman bambu dengan lubang di sana sini yang sebagiannya ditutup kertas koran. Kalau mau masuk rumah, orang harus membungkuk karena tinggi ambang pintu yang tidak sampai dua meter. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Semuanya adalah ceritera tentang ironi kehidupan seorang anak remaja dengan segudang prestasi.
Kisah Zohri ini mestinya menjadi sebuah peringatan penting bagi kita semua. Bahwa apresiasi kepada para atlit tidak boleh datangnya terlambat.
Perlu ada perhatian khusus sejak dini kepada para remaja ini yang sebentar lagi akan tumbuh besar menjadi atlit senior andalan. Perhatian dan penghargaan perlu diberikan sejak mereka belum jadi siapa siapa.
Kalau di usia yang masih sangat belia ini mereka juara, dengan pendampingan dan pembinaan terus menerus yang baik mereka tentu akan tetap jadi juara. Toh kelak lawan lawan yang dihadapi akan tetap sama juga. Mereka seusia.
Atlit semacam Zohri ini sesungguhnya bertebaran di sekitar kita. Untuk NTT, di cabang olahraga yang sama, kita punya "Zohri Zohri" lain yang nyaris luput dari perhatian kita selama ini.
Sebut saja Delvita Lodia Bakun. Si "Kancil Flobamora" ini seumuran dengan sang juara dunia. Ia dan Zohri selama ini beriringan meniti prestasi sejak usia remaja.
Kalau Zohri juara di nomor 100 m Kejurnas PPLP (Pusat Pembinaan dan Latihan Pelajar) pada tahun 2016, Delvita bahkan menjuarai sekaligus dua nomor jarak jauh 3000 m dan 5000 m pada event tersebut. PPLP adalah kawah candradimuka bagi siswa yang berprestasi dibidang olahraga.