Tanggung jawab adalah salah satu prinsip pokok bagi Polri sebagai kaum profesional. Polri wajib bertanggung jawab atas panggilan dan dampak profesinya itu terhadap kepentingan rakyat, negara dan masyarakat, sebagai lembaga dan orang-orang yang dilayaninya.
Kedua, prinsip keadilan. Prinsip ini terutama menuntut Polisi agar dalam menjalankan profesinya, ia tidak merugikan dan melecehkan hak asasi manusia dan kepentingan yang fairness dari pihak mana pun, khususnya orang-orang yang menjadi korban. Demikian pula, prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya, polisi tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapa pun, termasuk pada orang yang mungkin tidak dapat membayar jasa profesionalnya.
Ketiga, prinsip otonomi. Prinsip ini dituntut secara internal di kalangan kepolisian sendiri terhadap dunia luar agar mereka sungguh percaya diri dan merasa bebas dan diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya.
Namun harus disadari bahwa prinsip otonomi berupa kebebasan ini dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen professional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut, serta dampaknya pada kebaikan dan peradaban masyarakat dan Negara.
Keempat, prinsip integritas moral. Polisi yang professional termasuk Densus Tipikor adalah sosok dan komunitas yang punya veracitas dan integritas pribadi atau integritas moral yang tinggi.
Oleh karena itu seluruh jajaran Polri harus punya komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya, dan juga kepentingan bangsa, negara dan masyarakat. Maka untuk menghadapi masalah sosial budaya yang terkait ketertiban masyarakat akibat dampak negatif dari globalisasi seperti dideskripsikan pada bagian pertama tulisan ini, pertama-tama, Polri harus menyadari bahwa masalah globalisasi itu adalah juga masalah Polri sendiri. Ada empat benang yang merajutnya.
Benang pertama, berkaitan dengan martabat dan keluhuran setiap insan yang diciptakan setara di hadapan Tuhan Yang Mahaesa. Dasar ideologis ini memperlihatkan jatidiri insani sebagai citra dan wakil Tuhan sendiri, yang ambil bagian dalam hidup Ilahi-Nya.
Masalah sosial akan timbul, kalau arus globalisasi dalam industri narkoba transnasional dan pariwisata budaya lokal, misalnya, melecehkan martabat manusia.
Bagi industri pariwisata budaya membiarkan maraknya pemujaan terhadap hawa nafsu seksual, seperti menyiapkan arena untuk merayakan kegiatan `sex bebas' (free sex), harus ditertibkan oleh Polri, tentu dengan strategi inside out -dari dalam keluar.
Benang kedua, berkaitan dengan eksistensi manusia yang selalu "ada bersama" sebagai makhluk sosial. Polri hendaknya menjalani hidupnya sebagai sahabat dan pengayom keamanan rakyat, mengasihi, tidak saling membunuh, berdusta, dan mencuri.
Masalah sosial timbul, kalau Polri berlaku tidak adil dan acuh tak acuh terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pemerasan yang terjadi.
Benang ketiga, berkaitan dengan evidensi interdependensi antarmanusia, antaragama, antarnegara, antarbudaya dan dengan keutuhan ekosistem sebagai milik bersama seluruh ciptaan. Bumi adalah milik kita bersama.
Jadi sumber-sumber kekayaannya harus dikagumi, dinikmati dan digunakan secara adil bagi semua orang termasuk generasi yang akan datang. Karena itu Polri dipanggil untuk terlibat melestarikan alam dengan menjaga keutuhan dan keindahan nya.
Teknologi dan mafia investor yang mendukung industri yang merusak ekosistem harus dicegah dan dimusnahkan. Polri yang profesional itu peka dan sigap melawan segala bentuk rasialisme, neotribalisme, neoklonialisme dan neoimperialisme yang dibungkus dalam fundamentalisme ekonomi industrial itu.
Benang keempat, berkaitan dengan perbuatan jahat dan sikap Tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Walaupun manusia jatuh ke dalam ketidak tertiban dan kejahatan, salah dan dosa, yang mengakibatkan aneka bentuk kesengsaraan, namun