Oleh: Isidorus Lilijawa
Warga Kota Kupang
PILKADA Kota Kupang telah usai. Euforia kemenangan politik dan penyesalan kegagalan politik mulai surut. Namun, pembelajaran politik dari semua proses ini mesti terus dilakukan. Satu hal yang hemat saya penting untuk diingat lagi adalah momen debat kedua calon walikota dan wakil walikota Kupang. Terkait penataan birokrasi, publik disodorkan realitas bahwa birokrasi di Kota Kupang saat ini bukan lagi berprinsip the right man on the right place, tetapi telah berubah menjadi the wrong man on the nice place.
Konteks Kota Kita
Publik kota ini tidak heran jika pola the wrong man on the nice place itulah yang sedang terjadi di kota ini. Penataan birokrasi yang dilakukan selama ini cuma tambal sulam. Agenda menyelesaikan persoalan birokrasi tidak jalan karena praksisnya justru menambah beban persoalan yang ada. Banyak orang yang tidak tepat justru bercokol di tempat-tempat yang enak dalam birokrasi kota. Pola pendekatan yang like & dislike mewarnai proses-proses rekrutmen dan promosi kepangkatan. Baperjakat hanyalah stempel karena yang berperan adalah pihak-pihak di luar struktur itu. Mutasi, promosi sering diwarnai sentimen orang sesuku, sekeluarga, seagama, segereja, sekepentingan, sealumni. Di luar itu, masuk daftar antre entah sampai kapan.
Jenjang kepangkatan mudah diloncat-loncat. Yang baru jadi pegawai beberapa tahun, tiba-tiba sudah melampaui senior-senior yang belasan tahun menjadi pegawai. Daftar Urut Kepangkatan (DUK) hanyalah bahasa aturan. Praksisnya menggunakan DUK model lain, daftar urutan keluarga, daftar urut kawan, daftar urut kepentingan. Tidak heran, disiplin ilmu sering tidak matching dengan bidang kerja karena yang terpenting orangnya diakomodir bukan soal sistem berjalan atau tidak. Yang lebih miris lagi adalah tingkah laku honorer yang nota bene `dekat' dengan sumber-sumber kekuasaan. Status honorer, gaya eselon. Malah honorer tetapi mendapat kendaraan dinas. Tugasnya memantau yang eselon-eselon itu. Birokrasi kota yang dibangun seperti perusahaan keluarga melahirkan anak emas, anak perak, anak perunggu. Yang anak emas, perjalanan dinas keluar daerah lancar. Yang anak perunggu bagai pungguk merindukan bulan. Anak emas mendapatkan fasilitas seperti mobil dinas yang kelasnya melebihi eselon 2. Semuanya bisa terjadi jika polanya the wrong man on the nice place.
Penataan Birokrasi
Penataan birokrasi di Kota Kupang adalah suatu tantangan yang cukup berat bagi pemerintahan yang baru. Persoalannya the wrong man on the nice place ini sudah telanjur menikmati jabatan dan fasilitas selama ini. Birokrasi kota sudah akut. Kronis. Karena itu butuh kejelian untuk membenahinya. Untuk kembali ke prinsip the right man on the right place, maka mesti ditata ulang. Yang ini butuh pergeseran, pergusuran, penyesuaian, mutasi, promosi, demosi, rekrutmen. Ini jalan birokrasi. Dengan analisis kebutuhan yang tepat, analisis kinerja, analisis jabatan dan kepangkatan yang akurat, melalui fit & proper test, diharapkan birokrasi kota perlahan-lahan bisa hidup lagi sebagai birokrasi yang profesional dan kompeten.
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang secara politik diterima (terbentuk melalui proses demokrasi), secara hukum efektif (mampu melakukan penegakan hukum), secara administrasi efisien (organisasinya ramping, kinerjanya maksimal, tidak boros dalam pengeluaran). Minimal, pemerintahan yang baik harus relatif bebas dari kesewenang-wenangan penguasa, kekeliruan kebijakan, perampasan hak milik, dan inefisiensi administrasi.
Dalam konteks pemerintahan yang baik, rakyat dan nasib rakyat harus selalu dihadirkan dalam setiap proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan negara dan pemerintahan. Apapun keputusan yang diambil dan kebijakan apapun yang dibuat, harus jelas di mana posisi rakyat. Artinya, manfaat apa yang dapat diterima oleh rakyat melalui pelaksanaan kebijakan negara dan pemerintahan.
Pemerintahan yang baik merupakan kolaborasi yang efektif antara para perencana, penentu kebijakan, dan staf yang berkualitas. Sebuah tim yang berkualitas tinggi hanya bisa dibentuk oleh seorang pemimpin yang cerdas sekaligus berjiwa besar, karena mengharuskan sang pemimpin menghimpun sejumlah orang yang memiliki kemampuan lebih dari dirinya dalam bidang-bidang yang diperlukan. Tim itu pun tetap diberi keleluasaan untuk mengembangkan daya kreatif dan daya prakarsanya. Pada saat yang sama, sang pemimpin harus tetap membimbing agar mereka selalu sadar dari siapa menerima perintah dan kepada siapa mereka bertanggung jawab.
Suatu kepemimpinan yang hanya mengakomodasi para loyalis dan oportunis yang pintar cari muka atau sekadar ingin "membalas jasa" karena pernah menjadi tim sukses dan bahkan sekadar ingin menjaga stabilitas kekuasaannya dengan merangkul representasi kekuatan-kekuatan politik yang ada, tanpa menjadikan faktor kompetensi sebagai pertimbangan yang utama, akan sulit membangun tim kerja yang solid dan efektif. Hal ini justru merepresentasikan sebuah kepemimpinan yang lemah, tidak percaya diri, dan karena itu tidak akan pernah mampu mengemban sejumlah misi yang berat dan kompleks.
Meritokrasi
Konon seperti dikutip oleh Robert Greenleaf, pada suatu waktu Confusius dimintai nasehat oleh sang Kaisar tentang bagaimana mengatasi semakin merajalelanya pencurian dalam masyarakat. Tetapi Confusius tidak memberi nasehat. Ia hanya mengingatkan: seandainya Tuan Kaisar sendiri tidak serakah, tidak mengambil sesuatu yang bukan hak Tuan, niscaya mereka tidak akan tertarik untuk menjadi pencuri. Bahkan, seandainya pun Tuan membayar mereka untuk menjadi pencuri, mereka akan menolak.
Greenleaf tidak membuat ulasan lebih lanjut tentang makna dari dialog itu. Tetapi, setiap pembaca akan paham bahwa pesan yang melekat pada kata-kata Confusius itu menekankan pentingnya keteladanan para pemimpin pemerintahan sebagai landasan moral bagi terpeliharanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Keteladanan dalam mengendalikan kehidupan pribadi dan keluarga, keteladanan dalam mengelola tim sukses dengan benar akan lebih memantapkan kemampuan seorang pemimpin untuk melayani, memberdayakan dan membangun masyarakat. Sebaliknya, kehidupan para pemimpin yang jauh dari suasana keteladanan akan cenderung menyulitkan lahirnya simpati dan kepercayaan masyarakat.
Dalam pembinaan kepemimpinan pemerintahan yang demokratis diperlukan prosedur dan mekanisme rekrutmen yang dapat secara objektif dan ketat menyeleksi calon-calon pemimpin dari kalangan yang memiliki kapasitas dan integritas yang tinggi. Strategi rekrutmen yang seperti ini akan mendekatkan pemerintahan kepada karakter meritokrasi, yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang secara teknis kapabel dan secara politik akseptabel.
Membangun pola kepemimpinan pemerintahan yang demokratis seyogianya menghindari terlalu dominannya pertimbangan politik di dalam proses rekrutmen. Pertimbangan-pertimbangan tentang integritas (yang teruji), kompetensi (yang diakui) dan komitmen (yang bisa dipercaya) sangatlah penting. Itu yang akan menjamin pencapaian misi pemerintahan dan fungsi-fungsi pemerintahan. Bukan pertimbangan seagama, sesuku, sekeluarga yang berorientasi like & dislike. Ini justru melemahkan pemerintahan karena birokrasi menjadi kumpulan segerombolan orang-orang yang tidak profesional dan kompeten.
Dalam perspektif demokrasi, langkah pertama untuk membangun pemerintahan yang bersih dan efektif adalah merekrut orang-orang terbaik ke dalam struktur kepemimpinannya. Langkah kedua adalah meluncurkan berbagai kebijakan pemberdayaan, sehingga masyarakat menjadi mampu menilai: apakah kepemimpinan pemerintahan yang berlaku bisa dipercaya karena jujur, efisien, efektif, dan berhasil memperbaiki kualitas kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Faktor kepercayaan ini penting karena pemerintahan yang sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya akan sangat sulit berfungsi dengan baik bahkan mudah gagal untuk bertarung dalam kontestasi politik.*