Nasional Terkini
Melawan Hoaks dan Ujaran Kebencian
Situasi ini menegaskan perlunya kombinasi regulasi, respons cepat, kanal pelaporan efektif, dan literasi digital yang kuat.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA -- Data terbaru menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan di ruang digital Indonesia: berdasarkan laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi) yang diterbitkan Januari 2025, sepanjang tahun 2024 teridentifikasi 1.923 konten hoaks.
Kondisi ini menjadi lebih mendesak karena lebih dari 56 persen pengguna internet di Indonesia berusia di bawah 30 tahun (BPS, 2024), sehingga generasi digital-native kini mendominasi ruang digital.
Situasi ini menegaskan perlunya kombinasi regulasi, respons cepat, kanal pelaporan efektif,
dan literasi digital yang kuat.
Peran regulasi dan penegakan hukum menjadi krusial dalam memutus rantai penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di ruang digital.
Selain penegakan, kanal pelaporan dan literasi digital juga menjadi instrumen penting untuk menindak dan mencegah peredaran konten berbahaya.
Baca juga: Diduga Adanya Penyebaran Informasi dan Berita Hoax, Selebgram Rea Wiradinata Mengadu ke Polisi
Pakar Hukum Siber dan Komunikasi, Muhammad Bayu Firmansyah, menilai bahwa selain
instrumen hukum, negara harus memperkuat mekanisme respons dini dan kanal pelaporan
yang efektif. “Secara hukum, UU ITE dan KUHP memberikan sanksi pidana untuk penyebaran hoaks dan ujaran kebencian,” ujarnya.
Namun penegakan di lapangan menghadapi tantangan operasional seperti bukti digital yang mudah dihapus atau dimanipulasi sehingga validitasnya sulit dipastikan, serta perbedaan interpretasi antara ujaran kebencian dan kritik.
Ujaran kebencian (hate speech) berbeda dengan kebebasan berpendapat karena mengandung unsur penyerangan terhadap martabat kelompok tertentu dan dapat memicu permusuhan atau kekerasan.
‘’Batas antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian harus dilihat dari niat,
konteks, dampak, dan tujuan komunikasi tersebut. Kritik yang bertujuan membangun berbeda
dengan ujaran yang memicu permusuhan, diskriminasi, atau kekerasan terhadap individu atau
kelompok tertentu,’’ terangnya.
‘’Kebebasan berekspresi berhenti ketika kata-kata berubah menjadi senjata yang melukai
martabat manusia. Batas hate speech bukan hanya apa yang diucapkan, tetapi apa yang
ditimbulkan dari ucapan itu,’’ lanjut Bayu.
Oleh karena itu, Bayu menekankan pentingnya standar prosedur yang jelas dan edukasi
preventif, bukan hanya pendekatan represif.
Dari perspektif hukum siber, instrumen hukuman sudah memadai, tetapi masalah utama adalah asimetri kecepatan: penyebaran hoaks bergerak lebih cepat daripada proses penegakan hukum.
Untuk itu negara perlu memperkuat mekanisme early response dalam dunia digital, termasuk kolaborasi dengan platform dan upaya pencegahan berbasis literasi.
Bayu menambahkan saran praktis bagi masyarakat saat menemukan konten yang berisi fitnah, hoaks, atau ujaran kebencian: dokumentasikan bukti (tangkapan layar, URL), laporkan melalui saluran pelaporan resmi, dan jangan memperluas jangkauan konten tersebut.
“Sebaiknya masyarakat tidak ikut memperluas jangkauan konten kebencian. Cukup
dokumentasikan, laporkan, dan biarkan mekanisme penegakan bekerja. Dalam hukum siber, prinsipnya sederhana: do not amplify the harm,” ungkap Bayu.
Sekali konten dibagikan ulang, ia tidak hanya menjadi konsumsi publik, tetapi juga memperkuat efek polarisasi sosial; oleh karena itu edukasi digital menjadi kunci untuk memutus rantai tersebut.
