Wawancara Eksklusif

Wawancara Ekslusif - NTT Punya Potensi Ketahanan Pangan Tapi Belum Dimaksimalkan 

Tujuannya supaya alokasi fiskal dari pemerintah kabupaten kota bisa tepat sasaran untuk pemenuhan dari program MBG ini. 

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
UNDANA TALK - Wakil Dekan I FEB Undana, Dr. Rolland E. Fanggidae bersama host jurnalis Pos Kupang, Ella Uzurasi dalam Undana Talk, Rabu, (13/08/2025). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan keanekaragaman pangan lokalnya memiliki potensi ketahanan pangan di masa depan tetapi saat ini belum dimaksimalkan. 

Hal ini disampaikan Wakil Dekan I FEB Undana, Dr. Rolland E. Fanggidae, S.Si., MM., dalam Undana Talk, Rabu (13/8/2025), yang membahas tentang Transformasi Analisis Ketahanan Pangan : Pendekatan Data Science pada Komoditas Pertanian NTT. 

Berikut cuplikan wawancara eksklusif bersama Pos Kupang. 

Sebagai local expert bagaimana anda melihat potensi Nusa Tenggara Timur? 

Baca juga: Tim FEB Undana Teliti Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kabupaten Ende

Mungkin saya ingin memberikan gambaran terkait dengan apa yang kami tulis dalam konteks potensi NTT. Jadi salah satu isu strategis yang sedang dibicarakan atau dikaji oleh kami di Direktorat Jenderal Perbendaharaan ini adalah terkait dengan Makanan Bergizi Gratis (MBG).

Kita sama-sama tahu ini merupakan program nasional yang dijalankan di seluruh kabupaten kota yang ada di Indonesia dan sesuai dengan konsepnya program ini diharapkan memberikan dampak secara ekonomi, pada pembukaan lapangan pekerjaan dan juga terutama dampak kepada pemenuhan gizi. Dampak-dampak inilah yang akhirnya membuat program ini dirilis dan dijalankan di semua kabupaten kota.

Nah kalau konteks NTT sendiri kami perlu melakukan kajian terkait dengan kesiapan dari NTT dalam melaksanakan program ini karena kita harus melihat bagaimana kita bicara tentang menyediakan makanan gratis, potensi pangannya seperti apa? Apakah kita bisa menyediakan makanan bergizi itu bisa di-support oleh petani lokal, oleh peternak lokal untuk makanan-makanan MBG.

Kemudian kami melihat bagaimana distribusinya. Inilah yang menjadi fokus kami sehingga kalau kita melakukan analisis, potensi NTT ada untuk mendukung MBG tetapi kami akhirnya membuat klasterisasi. Tidak semua kabupaten kota punya standing yang sama.

Untuk perbedaan-perbedaan klaster ini, intervensi yang diberikan oleh pemerintah provinsi, pemerintah daerah kabupaten kota harus berbeda sehingga potensi pertanian yang ada bisa dimaksimalkan untuk mendukung program ini.


Berarti ini dilakukan di 22 kabupaten kota yang ada di NTT? 

Baca juga: FEB Undana, BEI dan OJK kolaborasi Dorong Kemandirian Wirausaha dan Literasi Keuangan Difabel


Betul. Di semua kabupaten kota yang ada. Data yang kami gunakan adalah data pertanian yang ada di semua kabupaten kota dengan semua komoditi yang menjadi potensi NTT. 


Penelitian ini dilakukan berapa lama? 


Kami diberikan tugas sejak 4 Oktober 2024 dan kami baru menyelesaikannya di Juni 2025 kemarin jadi pengerjaannya hampir satu semester lebih untuk melakukan kajian ini.

Tujuannya supaya alokasi fiskal dari pemerintah kabupaten kota bisa tepat sasaran untuk pemenuhan dari program MBG ini. 


Hasilnya seperti apa? 


Kami menggunakan dua metode. Yang pertama kami menggunakan ARIMA (Autoregresif Integrated Moving Average), kami mencoba melihat komoditi ini selama empat tahun kedepan dan dasar kami melakukan analisis ini adalah data empat tahun sebelumnya.

Ketika kami melakukan analisis ARIMA, kami melihat bahwa ada beberapa komoditi itu punya potensi, hasil kami itu menunjukkan bahwa ada kecenderungan naik di periode tertentu tetapi turun di periode tertentu, turun drastis.

Kenapa demikian? Karena ternyata ada pola tanam yang dimiliki oleh masyarakat di NTT yang sedikit berbeda dengan masyarakat yang di Jawa.

Kemudian kita di NTT biasa pola tanam itu ketika tanam satu varietas tanaman, semua ramai-ramai tanam itu. Jadi akhirnya ketersediaan bahan pangan itu hanya akan bersifat musiman.

Ketika musim A yang banyak adalah sayur ini, tapi musim berikutnya dia hilang dan lain sebagainya. Itu yang kami lihat dari hasil analisis ARIMA itu agak sulit kita memprediksikan selama empat tahun kedepan karena tren pertanian di NTT itu berbeda-beda. Kalau stabil kita bisa melakukan analisis tapi kami melakukan analisis juga klasterisasi, HAC (Hierarchical Agglomeration Clustering), jadi kami melakukan klasterisasi untuk 22 kabupaten kota terkait dengan ketersediaan beras. Bagaimana 22 kabupaten kota itu akhirnya terdistribusi dalam tiga klaster. 
Yang pertama memang dari sisi ketahanan pangannya renda, ketersediaan berasnya rendah, sehingga harus ada stimulus yang diberikan oleh pemerintah kota maupun kabupaten, kemudian juga perlu memberikan alokasi dana misalnya pembenahan di sektor pertanian, pembangunan irigasi dan lain sebagainya. Itu yang akhirnya menjadi rekomendasi karena kajian kami ini memberikan rekomendasi kepada DJPb untuk kita melihat fiskal yang akan diajukan oleh setiap kabupaten kota. 

Kemudian ada klaster kedua itu daerah yang memang mereka secara produksi terpenuhi, mereka bisa menjadi lumbung bagi daerah yang ada di NTT.

Ketika rantai distribusi bisa dihubungkan antara kabupaten kota yang menjadi lumbung ini dengan beberapa kota terdekat maka mereka bisa saling support dan yang ketiga adalah klaster yang produksinya ada terpenuhi tapi jumlah penduduknya melebihi dari ketersediaan yang ada, kita ambil contoh misalnya Kota Kupang, dengan jumlah penduduk yang sekian banyak akhirnya perlu ada ibaratnya mendatangkan produk dari luar untuk memenuhi akhirnya dari kajian itu kami menggunakan HAC dan merekomendasikan untuk tiga klaster ini. 


Kabupaten mana saja yang masuk klaster-klaster itu? 


Sebagai contoh, untuk bisa kita katakan sebagai kabupaten yang swasembada misalnya, dua kabupaten yang kemarin menjadi food estate itu, Sumba Tengah dan juga Malaka.

Ini dari sisi anggaran dari kementerian sejak tahun lalu kan sudah cukup besar sehingga kemampuan untuk swasembada ada tapi kalau kita bicara yang mungkin perlu ada intervensi misalnya kita bicara TTS (Timor Tengah Selatan) atau daerah-daerah yang secara geografis sulit untuk pertanian. 


Pangan lokal yang menjadi fokus penelitian ini apakah hanya padi atau ada jenis tanaman lain? 


Kami juga harus melihat alternatif. Selain ketergantungan pada beras, NTT ini kan punya pangan lokal dan itu juga menjadi satu kekuatan tersendiri. Jagung, ubi-ubian dan juga tanaman-tanaman pengganti beras lainnya. Sorgum misalnya, itu potensinya sangat memungkinkan untuk dilakukan diversifikasi produk untuk mendukung MBG ini. 


Sejauh MBG berjalan saat ini bagaimana anda melihatnya?


Kita punya potensi tapi belum dimaksimalkan sehingga alokasi anggaran misalnya dana desa bisa dikhususkan kepada sektor-sektor yang akan mendukung MBG. Saya ambil contoh begini, misalnya MBG ini wajib menyediakan protein dalam hal ini melalui ayam.

Alokasi dana desa itu bisa kita plotting untuk di desa atau bumdes yang ada di desa itu atau mungkin melalui Koperasi Merah Putih, menjadi penyedia ayam yang akan di-support kepada dapur-dapur MBG ini.

 Jadi potensi ada tetapi mungkin perlu sinergi dari semua pihak untuk mendukung program ini karena kalau kita mau jujur, angka dampak ekonomi bagi NTT berdasarkan perhitungan dari badan gizi itu ada di angka 13. Sebelum ada MBG kita masih ada di angka 8 persen tetapi ketika diberikan alokasi ini dia naik dan memberikan dampak ekonomi. Kalau semakin banyak kolaborasi dari segala pihak pasti akan memberikan dampak lebih signifikan. (uzu)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS    

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved