Opini
Opini: Hela Keta, Model Kepemimpinan Pendidikan Berbasis Relasi Budaya Timor
Pertanyaannya, apakah mungkin kita membangun model kepemimpinan pendidikan yang lebih manusiawi dan kontekstual?
Oleh: Heryon Bernard Mbuik, M.Pd
Dosen PGSD FKIP Universitas Citra Bangsa Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, pendidikan sering kali terjebak pada pola manajemen yang kering dari nilai sosial dan budaya.
Banyak kepala sekolah dan guru mempraktikkan kepemimpinan administratif semata, mengabaikan relasi kemanusiaan yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan.
Pendidikan menjadi formalitas prosedural; rapat, laporan, target, dan evaluasi, tetapi miskin sentuhan budaya dan empati sosial.
Pertanyaannya, apakah mungkin kita membangun model kepemimpinan pendidikan yang lebih manusiawi dan kontekstual?
Jawabannya sangat mungkin, jika kita bersedia kembali ke akar budaya sendiri.
Salah satu warisan budaya Timor yang patut diangkat adalah relasi Hela Keta.
Sistem ini bukan sekadar adat perkawinan, melainkan filosofi hidup tentang relasi sosial yang setara, saling membutuhkan, dan berorientasi pada keberlangsungan kehidupan komunitas.
Hela Keta: Lebih dari Adat, Sebuah Filsafat Relasi
Dalam masyarakat Timor, Hela Keta adalah relasi timbal balik antara pemberi perempuan (hela/(wife giver)) dan penerima perempuan (keta/(wife taker)) dalam sistem adat perkawinan. Namun, relasi ini melampaui urusan pernikahan.
Hela Keta mengatur hubungan sosial, ekonomi, politik komunitas, bahkan penyelesaian konflik. Relasi ini bersifat sakral dan terus berlanjut lintas generasi.
- Dalam praktiknya, Hela dan Keta saling menopang dalam berbagai aspek kehidupan.
- Saat pesta adat, pihak Keta akan kembali kepada Hela dengan membawa bantuan sebagai wujud terima kasih.
- Saat duka, Hela wajib hadir sebagai bentuk empati dan solidaritas.
- Dalam musyawarah adat, baik Hela maupun Keta memiliki peran bicara yang terhormat, menjaga keseimbangan suara komunitas.
Relasi ini membentuk jaringan sosial yang kokoh. Hela Keta bukan relasi transaksional, tetapi relasi mutualistik yang menempatkan penghargaan, dialog, dan tanggung jawab sosial sebagai inti kehidupan bersama.
Mengapa Hela Keta Relevan untuk Kepemimpinan Pendidikan?
Jika kita cermati, prinsip dalam relasi Hela Keta sejatinya paralel dengan teori-teori kepemimpinan modern.
Pertama, Servant Leadership (Greenleaf, 1977): Pemimpin adalah pelayan komunitasnya, bukan penguasa.
Kedua, Distributed Leadership (Spillane, 2006): Kepemimpinan dibagi, tidak dimonopoli oleh satu orang saja.
Ketiga, Transformational Leadership (Bass & Avolio, 1994): Pemimpin memotivasi dan membentuk karakter komunitas, bukan sekadar mengelola teknis.
Namun, perbedaannya adalah Hela Keta bersumber dari akar budaya lokal Timor.
Ia lahir dari praktik sosial turun-temurun yang sudah terbukti menjaga harmoni komunitas selama ratusan tahun.
Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Hela Keta di Sekolah
Jika nilai-nilai Hela Keta diintegrasikan ke dalam kepemimpinan pendidikan, maka kepala sekolah tidak lagi menjadi semata-mata manajer birokrasi, tetapi pemimpin relasi sosial di sekolah. Berikut beberapa implikasi praktisnya.
1. Relasi Timbal Balik dan Solidaritas
Dalam Hela Keta, tidak ada pihak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Hela dan Keta saling membutuhkan.
Hal ini menjadi inspirasi bagi kepala sekolah untuk membangun relasi sejajar dengan guru, staf, siswa, dan orang tua.
Kepemimpinan yang partisipatif dan berbasis solidaritas akan menciptakan suasana sekolah yang harmonis dan kolaboratif.
2. Gotong Royong sebagai Budaya Kerja
Seperti Hela dan Keta yang saling membantu saat pesta atau duka, kepala sekolah perlu mendorong budaya gotong royong di sekolah.
Program-program seperti kerja bakti, kelas inspirasi, atau pertemuan komite sekolah bisa menjadi ruang untuk memperkuat kebersamaan dan rasa memiliki terhadap sekolah.
3. Dialog dan Musyawarah dalam Pengambilan Keputusan
Dalam adat Timor, keputusan penting selalu diambil melalui musyawarah. Semua pihak diberi ruang bicara, tidak ada yang ditinggalkan.
Kepala sekolah yang mengadopsi prinsip ini akan menghindari kepemimpinan otoriter. Ia menjadi fasilitator dialog, bukan pengambil keputusan tunggal.
4. Pembagian Peran yang Adil
Setiap pihak dalam Hela Keta memiliki peran sosial yang jelas. Hal ini bisa diterapkan dalam manajemen sekolah dengan membagi peran secara adil dan sesuai kompetensi.
Guru, staf administrasi, komite sekolah, dan siswa diberi ruang untuk berkontribusi aktif sesuai kapasitas masing-masing.
5. Pewarisan Nilai dan Karakter
Hela Keta bukan hanya soal fungsi sosial, tetapi juga pewarisan nilai. Pemimpin sekolah harus menjadi penjaga nilai (value keeper).
Ia berperan menanamkan karakter kepada siswa, menjaga spiritualitas komunitas sekolah, dan menjadi teladan bagi lingkungan sekitar.
Sekolah sebagai Komunitas Relasi, Bukan Sekadar Institusi
Jika sekolah dikelola dengan prinsip Hela Keta, maka sekolah bukan lagi sekadar institusi formal, melainkan menjadi komunitas relasi sosial.
Di sini, pendidikan bukan hanya soal mengajar, tetapi membentuk karakter, membangun solidaritas, dan menjaga harmoni sosial.
Hal ini juga selaras dengan paradigma school as community yang dikembangkan dalam teori pendidikan kritis (Freire, 1970) dan konsep pendidikan berbasis budaya (Tilaar, 2004).
Sekolah bukan menara gading, melainkan ruang perjumpaan antar manusia yang saling membentuk dan belajar satu sama lain.
Mengembalikan Marwah Kepemimpinan Pendidikan di NTT
Kepemimpinan pendidikan di NTT harus mulai berani keluar dari pola lama yang birokratis dan hierarkis. Kita perlu model kepemimpinan yang membumi dan relevan dengan konteks lokal.
Model ini bukan sekadar teori impor dari dunia Barat, melainkan bisa bersumber dari kearifan lokal kita sendiri.
Relasi Hela Keta adalah salah satu inspirasi yang bisa kita kembangkan. Dengan mengadopsi prinsip Hela Keta, kepala sekolah akan:
1. Lebih humanis dalam memimpin
2. Lebih terbuka pada partisipasi semua pihak
3. Lebih peka terhadap dinamika sosial dan budaya komunitas sekolah
4. Lebih efektif dalam membangun karakter dan budaya sekolah
Dari Budaya Menuju Transformasi Pendidikan
Jika pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, maka kepemimpinan pendidikan harus dimulai dari relasi yang manusiawi.
Hela Keta mengajarkan kita bahwa kepemimpinan bukan soal jabatan, tetapi soal membangun hubungan yang sehat, setara, dan saling menghargai.
Kepala sekolah, guru, dan seluruh pemimpin pendidikan di NTT memiliki tanggung jawab moral untuk menjadikan budaya lokal sebagai dasar membangun sekolah yang lebih relevan, lebih bermakna, dan lebih berdampak bagi generasi muda.
Mari kita mulai dari diri sendiri, dari sekolah masing-masing, dan dari nilai-nilai budaya yang sudah diwariskan oleh leluhur kita. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Heryon Bernard Mbuik
Timor
Hela Keta
Opini Pos Kupang
Universitas Citra Bangsa
Nusa Tenggara Timur
Kepemimpinan
dunia pendidikan
budaya timor
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.