Opini

Opini: Waspadai Leptospirosis, Tikus Pembunuh dari Selokan Kota

Ketika musim hujan tiba, maka genangan akan menjadi sangat sempurna sebagai media untuk penyebaran bakteri Leptospira. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Prima Trisna Aji 

Oleh: Prima Trisna Aji
Dosen Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang

POS-KUPANG.COM - Publik kembali dikejutkan dengan meningkatnya kasus leptospirosis beberapa pekan terakhir ini yang terjadi di wilayah Sleman Yogyakarta dan sekitarnya. 

Penyakit ini bukanlah suatu kejadian baru, akan tetapi yang harus diperhatikan adalah dengan meningkatnya data yang sangat mengkwatirkan. Tercatat 19 kasus di Kota Yogyakarta sepanjang tahun 2025, enam di antaranya meninggal dunia. 

Angka ini menunjukkan bahwa presentase kematian akan penyakit tersebut mencapai 31 persen, jauh melebihi ambang kewaspadaan penyakit menular lainnya. 

Leptospirosis atau yang lebih dikenal dengan penyakit kencing tikus disebabkan oleh bakteri yang bernama Leptospira yang menyebar melalui air yang terkontaminasi oleh kencing tikus. 

Dalam banyak kasus yang terjadi, mayoritas penularan terjadi ketika seseorang berjalan di genangan air atau ketika bersentuhan dengan lingkungan yang tercemar tanpa perlindungan. 

Hal yang membuat berbahaya adalah banyak orang yang menganggap remeh tanda dan gejala akan penyakit Leptospirosis tersebut, karena tanda dan gejalanya menyerupai flu ringan seperti : demam, sakit kepala dan nyeri otot sehingga banyak yang mengabaikan dan kemudian akhirnya terlambat ditangani secara medis. 

Dalam hitungan hari, pada kondisi ini dapat memperburuk menjaid gagal ginjal, meningitis (radang otak) dan perdarahan internal yang lebih fatal mengancam jiwa. 

Yogyakarta merupakan kota pelajar, pariwisata dan budaya dimana hal ini memiliki tantangan sanitasi yang tidak mudah. 

Selokan terbuka, tumpukan sampah di sudut kota, hingga sistem drainase yang kurang maksimal menjadi rumah yang sangat menyenangkan bagi tikus–tikus pembawa penyakit yang mematikan. 

Ketika musim hujan tiba, maka genangan akan menjadi sangat sempurna sebagai media untuk penyebaran bakteri Leptospira. 

Situasi dan kondisi ini seharusnya bisa menjadi alarm yang keras bagi seluruh pemangku kebijakan. 

Kasus kematian akibat leptospirosis bukanlah hal yang main–main lagi, apalagi statistic menunjukkan terjadi peningkatan. 

Tentunya hal ini harus menjadi pertanda bahwa terjadi lemahnya sistem deteksi dini, edukasi publik dan pengendalian lingkungan. 

Pemerintah daerah memang telah mengeluarkan surat edaran yang mengimbau masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan dan memakai pelindung saat beraktivitas di luar rumah. 

Akan tetapi tanpa tindakan yang konkret di lapangan seperti foging sarang tikus, edukasi langsung door to door ke rumah – rumah dan pemeriksaan tikus oleh dinas terkait, maka himbauan tersebut bisa jadi akan menjadi angin lalu. 

Kesehatan masyarakat bukan hanya menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan semata, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup, perangkat kelurahan, lembaga pendidikan, universitas hingga organisasi masyarakat sipil juga harus ikut terlibat aktif dalam upaya bersama mengendalikan penyebaran penyakit ini. 

Program sederhana seperti Gerakan “Gertak Tikus” (Gerakan Basmi Tikus) atau “Desa Bebas Lepto” bisa menjadi solusi berbasis komunitas yang efektif. 

Selain itu kita juga perlu mendorong tentang penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk leptospirosis tersebut apabila angka kematian terus meningkat. 

Dengan ditetapkannya KLB, maka sumber daya baik dana, tenaga kesehatan maupun edukasi Kesehatan bsia digerakkan lebih maksimal. Hal ini dikarenakan mencegah satu kematian berarti menyelamatkan masa depan sebuah keluarga. 

Masyarakat harus menyadari bahwa melawan leptospirosis bukan hanya tentang membunuh tikus saja, akan tetapi juga membangun budaya hidup bersih dan waspada. 

Edukasi sejak dini di sekolah, peran aktif kader kesehatan tingkat daerah serta kampanye yang massif dimedia sosial perlu digerakkan secara serentak. 

Hari ini terjadi di Kota Yogyakarta, bisa jadi besok bisa terjadi di kota Anda. Tikus–tikus pembunuh tersebut juga hidup di selokan yang sama, dibawa kaki kita yang sama. Maka jangan hanya menunggu hingga nyawa melayang baru kita peduli. 

Solusi untuk Mengakhiri Ancaman Leptospirosis

Untuk mengatasi kasus leptospirosis secara berkelanjutan, diperlukan pendekatan secara komprehensif yang mencakup aspek promotif, preventif dan kolaboratif. 

Edukasi masyarakat menjadi Langkah awal yang paling mendesak. Tenaga kesehatan juga perlu memperkuat sosialisasi tentang gejala dan risiko leptospirosis, baik melalui pelayanan primer maupun melalui media komunikasi publik yang masif dan mudah untuk dipahami. 

Sosialisasi ini tentunya harus menyasar kepada semua lapisan Masyarakat, mulai dari anak sekolah, ibu rumah tangga hingga pada pekerja sektor informal. 

Selain itu juga perlu dilakukan peningkatan sanitasi lingkungan sekitar, pemerintah daerah juga harus lebih tegas dalam menangani permasalahan drainase, pengelolaan sampah serta keberadaan selokan terbuka yang menjadi habitat ideal bagi tikus. 

Upaya yang lain tentang pengendalian populasi tikus tidak cukup hanya dengan imbauan saja, akan tetapi juga melalui tindakan yang nyata seperti perangkap tikus berbasis rumah tangga, program fogging serta inspeksi berkala ke wilayah padat penduduk dengan langganan banjir.

Hal lain yang tdiak kalah penting adalah kolaborasi lintas sektor. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. 

Perlu adanya sinergi antara Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup, perangkat kalurahan, komunitas local dan sektor Pendidikan. 

Pembentukan satgas terpadu yang bergerak cepat dan adaptif dalam menangani kasus, melakukan tracing lingkungan serta menyalurkan edukasi akan menjadi langkah yang sangat signifikan yang mampu menekan angka kejadian leptospirosis. 

Penetapan status kejadian Luar Biasa (KLB) untuk wilayah yang mengalami lonjakan kasus juga penting untuk segera dilakukan. 

Dengan status ini maka intervensi akan lebihh cepat dilakukan, alokasi anggaran khusus dapat digerakkan dan masyarakat pun akan lebih peka terhadap pentingnya perubahan perilaku hidup sehat. 

Dengan pendekatan yang terintegrasi seperti ini, maka ancaman leptospirosis dapat ditekan, bahkan dihilangkan dari pemukiman warga. 

Karena pada akhirnya, kesehatan lingkungan merupakan fondasi bagi kesehatan masyarakat secara keseluruhan. 

Leptospirosis bukan sekadar penyakit infeksi, melainkan cermin dari pola hidup kita bersama. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved