Opini

Opini: Bullying Merupakan Ancaman Nyata Bagi Masa Depan Anak Bangsa

Padahal, bullying bukan candaan. Ia adalah luka yang dalam, yang diam-diam menggerogoti masa depan anak-anak bangsa.

|
Editor: Dion DB Putra
FREEPIK.COM
ILUSTRASI 

Oleh: Irenius Castanheira Bere
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Dalam dunia pendidikan, setiap anak berhak merasa aman dan dihargai ketika mereka datang ke sekolah. 

Pendidikan seharusnya menjadi wadah pembentukan karakter, tempat tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan, dan ruang bagi anak untuk mengenal jati dirinya secara utuh. 

Namun, realitas di lapangan jauh dari harapan. Tidak semua anak bisa menikmati hak tersebut. 

Banyak sekolah di Indonesia, bullying atau perundungan masih menjadi masalah serius yang sering diabaikan, bahkan dianggap wajar oleh sebagian masyarakat.

Secara etimologis, kata bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bully, yang berarti orang yang suka mengintimidasi, menindas, atau menyakiti orang lain, khususnya mereka yang dianggap lebih lemah. 

Irenius Castanheira Bere
Irenius Castanheira Bere (POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI)

Dalam bahasa Indonesia, bullying dikenal sebagai perundungan, yakni suatu bentuk kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan berulang, baik secara fisik, verbal, emosional, maupun sosial terhadap seseorang yang tidak mampu membela dirinya (KBBI Daring).

Banyak orang  menganggap bahwa  bullying sebagai hal biasa, bagian dari "proses pendewasaan", atau bahkan sekadar "candaan anak-anak". 

Padahal, bullying bukan candaan. Ia adalah luka yang dalam, yang diam-diam menggerogoti masa depan anak-anak bangsa.

Perundungan yang Semakin Merajalela

Fenomena bullying di sekolah bukan hal baru. Namun yang membuatnya semakin mengkhawatirkan adalah sifatnya yang kini semakin kompleks. 

Selain bentuk fisik seperti memukul, menendang, atau mendorong, bullying juga hadir dalam bentuk verbal seperti hinaan, ejekan, dan label negatif. 

Bahkan di era digital ini, bullying bisa terjadi melalui media sosial — dikenal sebagai cyberbullying — yang dampaknya tak kalah menyakitkan.

Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk sekolah, madrasah, dan pesantren. 

Dari jumlah tersebut, perundungan merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi.

Luka yang Tak Terlihat

Yang paling menyedihkan dari perundungan adalah luka yang tidak kasatmata. Luka fisik mungkin bisa sembuh dalam waktu beberapa hari. 

Namun, luka psikologis dapat tertanam dalam jiwa korban selama bertahun-tahun. 

Anak yang mengalami bullying sering kehilangan rasa percaya diri, mengalami depresi, bahkan pada beberapa kasus mengalami trauma jangka panjang.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, korban bullying berpotensi mengalami gangguan kecemasan dan depresi yang berpengaruh pada perkembangan sosial emosionalnya, seperti menjadi murung, pendiam, dan emosi tidak terkontrol.

Ketika Sekolah Gagal Melindungi

Sekolah seharusnya menjadi rumah kedua yang aman, nyaman, dan membangun. Namun, bagaimana jika justru di sanalah anak-anak merasa paling terancam? 

Banyak sekolah yang masih belum memiliki sistem pengawasan dan pelaporan kasus bullying yang efektif. 

Bahkan, tidak sedikit pihak sekolah yang berusaha menutupi kasus demi menjaga nama baik institusi.

Sikap semacam ini sangat disayangkan. Ketika sekolah lebih mementingkan reputasi daripada keselamatan anak, maka fungsi pendidikan sebagai pembentuk karakter dan pelindung tumbuh kembang anak pun gagal total.

Di sisi lain, guru yang seharusnya menjadi pembimbing justru kadang tidak menyadari atau bahkan ikut melanggengkan budaya perundungan, misalnya dengan memberikan label negatif, mempermalukan siswa di depan kelas, atau membiarkan kekerasan antar teman seolah-olah hal biasa.

Mengapa Kita Harus Peduli?

Pertanyaan ini mungkin muncul: “Bukankah semua orang pernah di-bully dan tetap bisa bertahan hidup?” 

Pernyataan ini tampak sederhana, tapi sangat keliru dan berbahaya. 

Tidak semua orang memiliki ketahanan mental yang sama. Apa yang bisa dianggap ‘biasa’ bagi satu orang, bisa menjadi beban besar bagi orang lain.

Kita tidak bisa terus membiarkan perundungan menjadi warisan budaya yang dilestarikan. 

Jika hari ini kita diam terhadap satu kasus perundungan, bisa jadi esok anak kita, saudara kita, atau bahkan kita sendiri menjadi korbannya.

Perundungan bukan hanya menyakiti individu, tapi merusak kualitas generasi bangsa. 

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan akan sulit berkembang secara sehat, baik secara mental maupun emosional. 

Mereka akan merasa takut untuk mencoba, ragu untuk tampil, dan enggan untuk bermimpi besar.

Peran Orang Tua, Guru, dan Teman Sebaya

Mengatasi bullying adalah tanggung jawab bersama. Orang tua perlu menjalin komunikasi yang hangat dan terbuka dengan anak-anak mereka. Tanyakan bagaimana hari mereka di sekolah. 

Dengarkan cerita mereka tanpa menghakimi. Perhatikan perubahan sikap atau ekspresi yang bisa menjadi tanda-tanda adanya tekanan.

Guru, sebagai figur dewasa di lingkungan sekolah, harus memiliki kepekaan sosial dan kepedulian terhadap kesejahteraan siswa. 

Guru perlu membangun kelas yang aman secara emosional, mendidik dengan empati, dan tidak membiarkan tindakan perundungan sekecil apa pun berlalu begitu saja.

Teman sebaya juga memiliki peran besar. Dalam banyak kasus, keberanian satu teman untuk membela bisa menyelamatkan korban dari penderitaan berkepanjangan. 

Maka, penting untuk membentuk budaya solidaritas dan kepedulian sejak dini — bahwa menjadi penonton pasif sama berbahayanya dengan menjadi pelaku.

Membangun Sekolah Ramah Anak

Sekolah ramah anak bukan sekadar jargon. Ini adalah sistem yang harus dibangun dengan kesadaran kolektif. 

Dibutuhkan regulasi yang jelas, sistem pelaporan yang aman dan rahasia, serta edukasi berkala bagi seluruh warga sekolah tentang dampak buruk bullying.

Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). 

Kebijakan ini dimaksudkan untuk memperkuat tindak pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dengan memastikan agar warga satuan pendidikan aman dari berbagai jenis kekerasan.

Jangan Diam

Bullying bukan masalah kecil. Ia adalah momok besar yang mengintai masa depan anak-anak bangsa. 

Jika hari ini kita memilih diam, maka besok kita akan menuai generasi yang tumbuh dengan luka, marah, dan kehilangan harapan.

Sudah waktunya kita berkata cukup! Cukup sudah tawa di atas penderitaan orang lain. Cukup sudah pembiaran atas kekerasan yang dibungkus canda. 

Mari kita bangun sekolah-sekolah yang benar-benar mendidik — bukan hanya dari buku dan angka, tetapi juga dari cinta dan kepedulian. 

Karena setiap anak berhak untuk merasa aman. Setiap anak berhak untuk tumbuh tanpa takut. Dan setiap anak, adalah masa depan kita. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved