NTT Terkini
UMKM Sambal Asett dari Pelosok NTT Menembus Pasar Luar Negeri
Kelompok yang sama juga digerakkan membangun Dapur Hijau yang menanam cabai. Konsep ini agar mendukung produksi Sambal Asett.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Oby Lewanmeru

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Jemarinya tidak berhenti mengetik di papan android. Sesekali dia menerima panggilan dari seseorang. Berbicara sebentar lalu menutupnya.
Setelah sebuah tulisan terpublikasi, notifikasi muncul. Ada yang bertanya, ada yang langsung ke inti percakapan, memesan sejumlah paket.
Media sosial (medsos) dipenuhi pertanyaan dan permintaan. Interaksi tanpa bertemu berlangsung.
Rupanya, Yarni Nabuasa seorang tenaga kesehatan di Desa Sais Ana Kecamatan Noebeba Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang memasarkan produknya, Sambal Asett.
TTS adalah salah satu Kabupaten di NTT yang letaknya lebih dari 100 kilometer dari Kota Kupang, Ibukota Provinsi NTT. Butuh 2-3 jam untuk tiba di pusat Kota TTS.
Baca juga: Gubernur NTT Melki Laka Lena Beli Jas Tenun Produk UMKM Yeti Djami Saat Launching OVOP
Yaya (25), perempuan pemilik brand Sambal Asett ini sudah memulai usahanya sejak Januari 2023 lalu. Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini memiliki bahan dasar cabai. Ada alasan pribadi yang mendorongnya untuk memulai bisnis ini.
Dari alasan itu, dia bekerja pada salah satu restoran di Kota Kupang. Seorang pengunjung tempat dia bekerja memesan tambahan sambal saat menikmati kuliner di restoran tersebut.
Berawal dari pesanan pengunjung ini, sesuatu terpikirkan. Yaya seperti mencicipi sambal yang dibuat koki pada restoran itu. Dia lalu berujar kalau sambal buatannya pasti lebih enak.
"Ide jualan sambal muncul di situ. Saya suka sambal tapi tidak tahu itu bisa dijual. Chef-nya tertantang. Tiga hari kemudian saya bawa sambal, ketika semua mencicipi mereka bilang enak. Chef bilang, sambal ini bisa dijadikan ide jual. Coba saja," katanya, Sabtu (31/5/2025).
Setelah itu, mendengar perkataan chef, Yaya memulai olahannya. Bermodal Rp 150 ribu, Yaya memberanikan diri untuk menjual. Produk yang diproduksi dipasarkan melalui medsos.
Alhasil, produk yang ditawarkan banyak peminat. Ada yang memulai memesan. Per toples dihargai Rp 35.000. Cita rasanya, menurut orang-orang yang pernah memesan, sangat berbeda dari sambal umumnya.
Bahkan, rasa dari Sambal Asett ini di-riview oleh sejumlah teman-teman chef. Beberapa kerabatnya yang juga pengusaha kuliner, memberikan masukan agar rasanya tetap dipertahankan.
Baginya itu merupakan agenda pematenan rasa. Ada lebih dari empat hingga lima kali rasa dari Sambal Asett di coba agar tetap mempertahankan keasliannya.
Sebagai seorang pekerja kesehatan di Desa setempat, Yaya punya waktu untuk membuat produk pada saat libur. Biasanya, ia menerima libur sehari setelah seharian piket. Waktu luang itu dimanfaatkan.

Jual Online
"Jadi di hari libur, menjual juga. Biasanya menjual juga di online. Ada tik-tok, Facebook, Instagram. Semua nama sosial medianya itu namanya Asett Sambal. Semua lebih ke jual online," katanya.
Meski, terkadang dia harus menjual secara tatap muka. Yaya mendatangi perkantoran untuk menawarkan produknya. Sambal Asett sendiri memiliki makna pedas. Kata Asett merupakan bahasa lokal, tempat Yaya berasal.
Yaya cenderung memanfaatkan akses digital yang ada untuk menjual produknya. Dia mencontohkan, pada platform penjualan seperti shopee tersedia keranjang kuning yang bisa digunakan pembeli untuk memesan produk Sambal Asett.
Demikian juga medsos. Semua akun medsos dengan nama Sambal Asett dicantumkan nomor telepon sebagai penghubung. Biasanya pembeli langsung menghubungi lewat saluran platform medsos yang ada.
"Di tiktok itu ada keranjang kuning, shopee. Di media sosial itu saya cantumkan ke nomor handphone. Pengiriman lewat jasa pengiriman. Penjualan sekarang bukan cuman di NTT, sudah sampai ke Timor Leste juga," ujarnya.
Satu kali produksi, Yaya bisa menghasilkan lebih dari 50 toples per pekan. Pemesanan pun bervariasi. Kadangkala ada yang memesan hingga 100 paket. Produk ini, mampu bertahan 1-6 bulan.
Yaya tidak mengalami kesulitan lebih berat terhadap akses internet yang kerap dialami. Sekalipun TTS punya sisi geografis yang sulit terhubung ke jaringan komunikasi. Dia tetap berusaha untuk memasarkan produk lewat medsos.
Setiap hari dia rutin memasarkan produknya lewat medsos. Sehari sebelum produksi, Yaya sudah lebih dulu menginformasikan ke pembeli. Cara pasar Yaya ini manjur. Pembeli sigap untuk memulai pesanan.
"Saya punya komitmen. Ada penjual pasti ada pembeli. Di desa jaringan terbatas. Saya upayakan pakai modem, jadi puji Tuhan teratasi," katanya.
Produk Sambal Asett ini memiliki tiga varian rasa. Level 1 adalah Sambal Asett dengan tingkat pedas standar dan bisa dikonsumsi anak-anak hingga dewasa. Sementara level 2 adalah menengah.
Sedangkan, Sambal Asett original memiliki rasa pedas lebih tinggi dengan sasaran konsumen penyuka pedas. Level 1 dan 2, menurut Yaya, diolah dengan bahan lain agar mengurangi rasa pedas.
Paling banyak pelanggan Yaya berasal dari luar NTT seperti Kalimantan dan Timor Leste. Sekali pesan, biasanya lebih dari 30 hingga 100 toples. Dia sering mengurangi harga bila pembeli memesan lebih dari satu buah.
Pertanian Milenial
Selain sebagai tenaga kesehatan dan menjual Sambal Asett, Yaya juga menggerakkan anak muda setempat untuk membuat pertanian milenial. Kebanyakan pemuda yang dilibatkan adalah yang putus sekolah.
Yaya mengajak mereka untuk membangun
Apotik Hidup yang menanam sayur hijau untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Pemerintah Pusat.
Kelompok yang sama juga digerakkan
membangun Dapur Hijau yang menanam cabai. Konsep ini agar mendukung produksi Sambal Asett.
Hasil dari Dapur Hijau ini digunakan Yaya untuk membuat Sambal Asett, selain membelinya dari masyarakat ataupun petani milenial lainnya. Sekali produksi, Yaya bisa menghabiskan 6-10 kilogram (kg) cabai.
Mereka juga membangun kerja sama dengan kelompok petani milenial yang ada di TTS. Kelompok ini diberi nama Gejala atau Gerakan Menjaga Alam dan Air.
"Desa kita itu terbatas air. Sumur kita tiga. Dua itu musim kemarau, surut. Hanya satu yang digunakan warga. Dengan keterbatasan ini, tidak menjadi halangan, kita kelola untuk kehidupan," katanya.
Usaha seperti yang dijalankan Yaya perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan. Di tengah keterbatasan, produk lokal seperti Sambal Asett mampu menembus pasar luar negeri, sekalipun berada di wilayah pelosok NTT.
Paling penting, cita rasa dan keberanian memulai usaha. Jauh dari akses telekomunikasi tidak menjadi penghalang, sebuah kuliner lokal bisa mendunia. Orang-orang seperti Yaya, harus diberdayakan dan difasilitasi.
Pelatihan
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan NTT Zeth Sony Libing berkata, Pemerintah sedang melakukan pelatihan bagi pelaku UMKM. Gerakan Beli NTT yang digelorakan Gubernur NTT Melki Laka Lena adalah simbol agar produk lokal bisa dinikmati dan punya nilai jual lebih.
"Kita menyiapkan hulu. UMKM kita bagaimana cara mengelola, manajamen usaha dan cara memasarkan. Pemerintah sedang, telah dan akan melakukan pelatihan digitalisasi bagi pelaku UMKM," kata Sony Libbing.

Pemerintah Provinsi NTT pada tahun 2025 melatih 50 pelaku UMKM agar memanfaatkan digital untuk membuat dan memasarkan produk lokal. Ia mengeklaim sudah lebih dari ribuan pelaku UMKM yang dilatih.
Pada tahun-tahun mendatang, program yang sama juga akan kembali dilakukan. Sonny Libbing menyebut, pelaku UMKM yang sudah dilatih agar terus berusaha atau tidak berhenti.
Pemerintah, kata dia, berharap platform yang ada bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMKM untuk memasarkan produknya. Kini, pihaknya juga sedang membangun platform baru bernama Beli NTT.
"Dengan demikian, orang-orang NTT, diaspora bisa membeli produk lokal lewat platform yang ada," kata dia.
Baginya ini sejalan dengan upaya hilirisasi yang ditekankan Pemerintah. Digitalisasi menjadi penting karena merupakan tuntutan zaman. Produk yang ada bisa dibeli oleh semua orang dengan kemudahan digital yang tersedia.
"Hari ini kita tidak cukup menjual secara manual. Kita harus digital. Tuntutan zaman, jadi bukan saja dibeli orang NTT tapi semua orang," katanya.
Data dari Pemerintah Provinsi NTT, hampir 70 persen UMKM merupakan pemula. Ada 98.270 UMKM yang terdata hingga tahun 2021 lalu. Jumlahnya bertambah hingga 366.960 unit UMKM.
Dari jumlah ini, 5-10 persen UMKM naik kelas seperti ekspansi maupun digitalisasi. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menyebut ada lebih dari 65 juta UMKM. 64 persen merupakan penyumbang PDB nasional.
Namun, hanya 12 persen yang memulai upaya peningkatan atau tranformasi ke digital secara efektif. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.