Paskah 2025

Jumat Agung di Cafe

Sampai di kasir, Papa minta kursi. Kasir dengan ramah memberikan kursinya. Mereka mengerti, tanpa penjelasan. Terima kasih. 

Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
Dominggus Elcid Li 

Oleh: Dominggus Elcid Li
Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM  - Rangkaian tri hari suci Paskah memanggil untuk sembayang bersama. Di sela hujan deras, orang bergegas pergi. Tenda dan kursi pun tak cukup. Jalanan padat dengan motor dan beberapa mobil. 

Papa tak cukup kuat berjalan jauh selepas operasi hernia beberapa tahun lalu. Kami yang terlambat dan tak bisa lewat pun bergerak mundur 200 meter dengan mobil. Kami tak ikut Jumat Agung di Kapela di atas bukit.  

Ikat pinggang untuk Papa

Sebelum jalan dari rumah Papa minta ‘tolong kencangkan ikat pinggang ini’. Saya yang tak terbiasa menggunakan ‘ikat pinggang resmi’ juga bingung. 

Ada besi yang hilang rupanya. Seperti melipat sarung, Papa melipat celana bagian atas dan ditutupi kemeja. Untuk sementara.

Tinggal 200 meter dari halaman Kapela. Kami tak meneruskan masuk sore itu. Selain karena sudah terlambat satu jam, saya takut Papa jatuh karena tersangkut ujung celana, dan mobil tak bisa masuk lebih dekat. 

Jalan dalam perumahan semakin sempit dengan ratusan motor yang diparkir di dua sisi. 

Kami berdua pergi mencari ikat pinggang. Saya tanya lagi. ‘Apa masih kuat jalan?’ Papa mengangguk. Kami pun masuk dalam mall pertama di kota ini.  

“Tidak usah beli yang mahal,” ucapnya ketika kami sedang memilih. 

Sampai di kasir, Papa minta kursi. Kasir dengan ramah memberikan kursinya. Mereka mengerti, tanpa penjelasan. Terima kasih. 

Kami tak jadi ke lantai dua untuk beli sepatu, karena eskalator hanya ada untuk naik, dan yang turun dimatikan. 

Efisiensi anggaran. Seperti Papa, saya tak begitu pusing dengan sepatu atau sendal jepit. Hari Jumat itu, ia memakai sendal jepit.  

Cafe

Kami pun duduk berdua di café untuk istirahat. Parkiran mall masih kosong, banyak orang masih di gereja. Papa pesan kopi susu, saya pesan teh. 

Komentarnya singkat, “Dengan segala kemewahan ini, anak muda kota sekarang tak mungkin ke desa.” Kujawab sekenanya, “anak muda desa sekarang yang ke kota”. 

Dalam benak, konsumerisme dan ‘kenikmatan kota’ membawa orang pergi. Sebagai pensiunan pamong praja lama di benaknya selalu kewajiban orang kota membantu orang desa. 

Seperti dia juga terlibat membuat sawah dari tanah nganggur, berkebun kacang tanah, pelihara kuda, atau babi di desa. 

Beberapa batang rokok dengan bau tembakau yang khas habis. Dua potong roti juga. Kami bercerita. Sesuatu yang jarang saat Papa masih jadi pejabat di kabupaten. 

Di pintu parkir, Papa bilang kalau ini pertama kalinya ngopi di café. Jumat Agung. Papa jarang sekali mengiyakan untuk sekedar makan dan minum di luar rumah. 

Sesampai di rumah Mama yang sudah pulang gereja bertanya, “Kamu dua misa di mana?” Papa hanya tertawa. 

Paskah

Keesokan harinya (Sabtu) Papa tidak kirim pesan, jadi saya tak jemput. Saya juga tidak membayangkan apa Papa kuat duduk 4 jam. Hujan begitu deras, satu jam sebelum misa. Tapi Kapela sudah penuh. 

Kapela ini agak kecil dari yang diinginkan Papa. Ia pernah memulai sebagai ketua panitia pembangunan. Harapannya sewaktu membangun, agar Kapela ini bisa tampak dari laut di tengah Teluk. 

Tapi di tengah jalan rencana itu berganti. Lewat 30 tahun, los (rumah bedeng) tempat tukang berdiam sudah menjadi Gua Maria. Kapela sudah berdiri, meski agak padat, dan kalau Paskah pasti umat sampai ke jalan. 

Romo Amandus yang jenaka di ujung salam Paskah cuma bilang ‘tolong bilang yang di rumah kalau mau jalan (mati), tolong jangan minggu ini, kasi verei kami satu minggu, karena sejak kematian Uskup kami belum istirahat’.

Memang benar, suaranya sempat hilang saat pimpin misa. “Dan jangan lupa datang misa besok hari minggu”. Umat pun tertawa. 

Usai misa, kita saling memberi selamat. Senang ke gereja dan masih banyak yang dikenal. 

Beberapa sahabat masa kecil, dan adik bungsu, sudah berpulang. Nama mereka disebut di awal misa.

Minggu Paskah

Hari minggu. Ada tiga panggilan tak terjawab dari tiga nomor berbeda. Pesannya singkat ‘Jemput Papa ke gereja’. Hari ini suasana lebih longgar. 

Papa duduk di kursi plastik di bawah tenda, depan Kapela. Sudah lama kami tak ke gereja bersama. Terakhir seingat saya sewaktu Natal tahun 2023 saat Uskup Turang memimpin misa di Katedral. 

Uskup Turang sudah berpulang beberapa minggu lalu. Papa ingin melayat, tapi saya bilang ‘padat sekali’. 

Ia ingat Uskup Turang, sebab enam minggu sebelumnya, saya sempat membawa sekaleng bir untuk Papa dari Jakarta. ‘Ini bir dari Uskup!’ Dalam perjamuan makan siang terakhir bersama Romo Marsel siang itu, kami bertiga makan. 

Ia keluarkan tiga kaleng bir. Bir bagian saya, saya simpan. Uskup Turang, guru, dan sahabat saya berpulang dua minggu menjelang Paskah.

Tenda di depan Kapela tak terlalu penuh. Beberapa anak kecil main game HP selama misa. Entah apa yang dipikirkan para orangtua sekarang. 

Papa diam mengikuti misa Paskah. Saat komuni, saya bertanya ‘kuat ko naik tangga’. 

Hari ini tak ada Suster yang membagikan komuni keluar Kapela, mungkin karena umat sedikit. Pelan-pelan kami naik tangga. 

Saya pegang tangannya.  Jarak dari tempat duduk ke tempat sambut (penerimaan komuni) agak jauh. Pastor agak menunggu kami, dibanding baris di samping kiri. 

Ia pasti tak tahu Papa tak begitu kuat jalan, bukan karena lambat.  Setelah sambut Papa tak segera kembali ke tempat duduk, ia butuh istirahat di bangku depan pintu Kapela, sebelum kami turun tangga dan kembali duduk bersama Hanah, anak dari adik bungsu.

Paskah 2025 punya kenangan tersendiri. Uskup Turang berpulang. Papa ikut misa Paskah. Selamat Paskah!  (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved