NTT Terkini
Regulasi untuk Mengatur Belis di NTT, Emi Nomleni Sebut Belum Waktunya
Tetapi kalau dalam budaya yang lebih terbuka kepada perempuan itu menjadi sebuah kebanggaan karena perlakuan-perlakuan tersebut.
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
Anak laki-laki kami juga sama berharganya dengan anak perempuan bapak-mama. Tetapi yang kita lakukan ini adalah mari kita bersepakat sebagai keluarga laki-laki dengan budaya dengan adat kami datang untuk meminta anak perempuan secara resmi dan itu akan menjadi tanggung jawab kita untuk kita juga menjaga anak perempuan ini sebagai bagian dari keluarga.
Saya ingat betul ibu saya seperti itu jadi bapak saya tidak ribut, ibu saya yang ribut. Bukan hanya anak perempuan yang minum air susu ibu. Anak laki-laki kami pun juga menyusu dari ibunya dan itu yang sampai sekarang terngiang di kepala saya.
N : Bagaimana kakak Ansy?
A : Ma Emi, ini yang namanya ketidakadilan gender, juga kekerasan berbasis gender. Kenapa? Kita membedakan seseorang karena gendernya?
Belis itu seolah-olah ditujukan untuk perempuan padahal melahirkan kekerasan berbasis gender karena laki-laki itu seolah-olah tiba-tiba turun dari langit.
Bukankah dia juga orang tua bekerja keras, mendidik, membesarkan dia hingga dia ada seperti itu, jadi kita harus melihat antara laki dan perempuan itu harus setara makanya tadi saya bilang, belis itu nilai, harus diadaptasikan, dilihat kembali, diformulasikan kembali cara pandangnya sehingga tidak membuat seolah-olah belis ini ditujukan kepada perempuan, kita beli, kita bayar, supaya dia bisa ikut masuk ke dalam keluarga kita. Jadi yang ma Emi sampaikan itu adalah dampak dari belis kepada ketidakadilan gender dan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berbasis gender karena value-value yang tadi disampaikan itu.
Karena itu saya kira hari ini juga kenapa saya terus gencar bilang belis boleh ada terus dilanjutkan tapi harus adaptif. Tadi saya bilang gading, Moko, segala macam itu raib, tidak ada. Jadi kita adaptif dengan situasi hari ini, saya mengagumi ada proses dimana orang belis hari ini dalam bentuk sertifikat tanah, rumah dan seterusnya, uang tabungan, untuk kehidupan dua orang kedepan.
Jadi omong belis fokusnya di dua orang jangan sampai dalam konteks pernikahan, yang menjadi utama adalah belis atau adat istiadat kemudian dua orang ini menjadi subordinasi di belakangnya bukan kita support mereka berdua yang akan menikah tapi aturan adat ini yang memberatkan.
Itu fakta yang kami tangani akhirnya dua orang yang sudah menjalin relasi bahkan sampai sudah punya anak tidak jadi menikah karena urusan belis yang harus dipenuhi dulu.
Yang kedua ada lagi isteri mengalami berbagai persoalan di dalam rumah tangga, kekerasan, macam-macam, itu hanya karena pemahaman "saya sudah belis kalian" kemudian dalam konteks bermasyarakat pun melihat bahwa belis itu ditujukan kepada perempuan karena konteks kepemilikan itu sehingga pemberiannya itu diasosiasikan pada bentuk kerja rumah tangga, lemari, pakaian, mesin cuci dan lain-lain, bukankah perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang setara dan sama baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Itu yang tadi saya bilang selain adaptif tapi juga ada penyesuaian melihat kembali bagaimana belis yang kita maknai sebagai pemberian nilai itu betul-betul adil gender, tidak melahirkan kekerasan baru, dan seterusnya, dan itu harus dikomunikasikan lintas generasi. Seperti itu. (uzu)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.